Chapter 22 - suamiku mulai goyah

hari ini aku sangat lelah baru pulang sekolah dan sangat banyak kerjaan di kantor (ruang TU), aku betul-betul lelah semuanya terkuras energi dan juga fikiran sampe-sampe aku pulang Uda jam 15.00, yang biasanya jam 12.00 kamu semua Uda pulang tapi tidak kali ini, maklumlah itu tahun ajaran baru ditambah lagi dengan kepala sekolah baru, hari pertama aku pulang telat suami lumayan marah-marah karna aku gak sempat ngabarin sangking sibuknya dengan kertas -kertas, pulang kerumah disambut dengan amarah kecil sang suami, kenapa aku tidak ngabari kalau plg telat, jangankan untuk ngabarin pegang hp aja gak sempat, aku buru-buru kerjain kerjaan biar cepat siap dan bisa pulang cepat, gitu kataku ke mas Umang.

aku mulai sedih dan agak sedikit ngambek dalam bukan dibaik-baikin istrinya pulang kerja, malah marah-marah gak jelas, aku terduduk lemas dilantai sambil nonton YouTube agar tidak terbawa emosi karna memang betul-betul capek dan lelah, kepala aku Uda nyut-nyutan, aku diam aja dan fokus ke hp, mungkin mas Umang merasa bersalah atas perlakuan dan sikapnya tadi aku duduk dilantai dan bersandar ke tepian tempat tidur, rupanya diam-diam beliau duduk diatas tempat tidur sambil mijit-mijitin pundak aku, aku merajuk aku bilang jangan pegang-pegang pergi sana jauh-jauh, kan Uda rapi mau pergi kemana pergi aja gak usah peduliin adek kataku, dia memaksa agar aku mau dipijitin dia, aku melawan sambil meronta-ronta dan akhirnya aku mengalah juga.

hari keberikutnya lagi-lagi aku pulang telat, telat sebenarnya disini bukan aku sengaja padahal aku Uda berusaha agar bisa cepat pulang namun keadaan yang buat aku dan terpaksa harus telat pulang, karna aku orangnya gak bisa tenang kalau pekerjaanku belum selesai, aku gak mau nunggu besok, aku takut besoknya entah rusak printer atau ada halangan lainnya pas diminta sudah siap.

sampai dirumah aku duduk ranjangku suami Uda aiap-uda rapi, tanpa basa-basi beliau langsung ngomong tanpa aku bertanya

" dek, Abang Uda gak betah lagi, Abang gak bisa bertahan lagi dengan keadaan seperti ini"

aku hanya diam, dan juga hening beberapa saat setelah itu beliau melanjutkan lagi kata-kata.

" jangankan tuk yang lainnya rokok aja gak mampu kebeli kata"

" dalam hatiku pasti ini masalah uang lagi, aku pun nyelutuk, terus Abang mau ngapain"

"Abang mau pergi, mau cari kerjaan"

"emangnya Abang mau kemana, mau ke batam lagi, ke jakarta, atau ke karimun lagi,"

"entahlah dek Abang gak tau mau kemana, kemana aja yang penting bisa menghasilkan"

"adek dan anak-anak gimana"

" adek dan anak-anak disini aja"

" adek gak mau, ambil aja satu seorang anak, padahal dalam hati sungguh aku tak tega jika harus berbagi anak"

"gimana mau kerja kalau bawa anak-anak, agak sedikit ngegas"

jadi Abang gak mikirin kalau adek juga kerja, gimana adek kerja. beliau diam lagi sesaat dan meneruskan kata-katanya, kalau Abang ngikuti maunya adek kita begini-begini terus.

aku jawab silahkan Abang pergi adek gak akan larang.

bagiku biarlah kami sama-sama walaupun hidup kami pas-pasan Karna bagiku kebersamaan yang paling utama, uang bisa dicari sama-sama, tuk apa punya banyak uang hidup selalu terpisah, aku sudah tidak tahan selalu terpisah jarak, dulu masih satu anak oke -oke aja sekarang anak sudah dua rasanya aku belum mampu menjadi orang tua tunggal sendiri karna aku juga berkarir.

aku tidak mau kejadian masa lalu terulang lagi pas awal-awal nikah aku Uda hamil 2 bulan sang suami pergi merantau lagi ke kota Batam bekerja di perusahaan aku ditinggal disini, pas umur kehamilan 7 bulan aku dijemput kesana dan melahirkan disana, setelah itu aku kembali lagi kekampung halaman melanjutkan kuliah dan juga melanjutkan karirku, aku sendirian membesarkan anak semata wayanku walaupu dibantu kedua orang tuaku dulu masih tinggal sama mereka, nah sekarang aku sudah terpisah, rasanya aku memikirkan hidup terpisah lagi kayak dulu demam rasanya, apalagi menjalannya.

kasian juga mengingat nasib Arum dulu selalu jauh dari ayahnya, cuma bisa liat ayahnya lewat Vidio call aja, aku gak mau lagi anak-anak ku terpisah dari ayahnya, memang waktu itu dari segi ekonomi mencukupi dan kurangnya kasih sayang, bagi aku suami yang utama uang nomor sekian, tuk apa juga menikah kalau hidup terpisah lebih baik ngelajang aja Uda pasti sendirian terus.

disaat sang suami berkata seperti itu bayang-bayang masa lalu kembali terlintas, gimana sedihnya aku pas diantar ke bandara disaat detik-detik terakhir perpisahan dibandara aku menangis tersedu-sedu, sampe aku hampir nyerah gak mau kuliah lagi dan gak mau kerja lagi, mau disini aja di kota Batam kita sama-sama, namun sang suami rela ditinggal, katanya mau jadi sarjana tapi kok lemah, kalau begini gimana mau jadi sarjana, dia terus memotivasi aku, padahal dia juga berat melepaskan aku dan anak kami, sebelum masuk keruang tunggu aku menangis sejadi-jadinya didalam pelukan suami, betul-betul hampir nyerah, karna motivasi yang kuat makanya aku bisa bertahan seperti ini, mengingat hal-hal yang begitu rasanya biarlah seperti ini dulu.

kami bukannya gak berusaha untuk mendongkrak ekonomi, segala cara sudah kami lakukan aku dan suami selalu bekerja sama, mulai dari jualan bakso, jualan donat jadul sampai donat kekinian, jualan online juga kami jalani, bahkan sampai sekarang kami masih jualan.

namun takdir berkata lain, sampai saat ini belum ada kemajuan masih disitu -situ aja, Mungin inilah titik terlemah dan terlelah bagi seorang lelaki ketika di uji dari segi ekonomi, sebenarnya kalau boleh jujur aku juga merasakan hal yang sama dengan suami, tapi aku tidak ngomong ke suami takutnya dia terbeban dan mengambil langkah untuk merantau lagi.

setiap aku pulang ambil uang kue selalu kusisihkan untuk uang rokoknya, yang penting beliau bisa beli rokok walaupun 3 batang jangan sampe putus, aku selalu berusaha sabar dalam menghadapi ekonomi yang semakin hari semakin sulit, semakin hari utang kami makin bertambah bukannya berkurang, aku tidak pernah negeluh sama suami, palingan aku bilang, Abang adek capek. banyak kali kerjaan tadi adek tidur lu ya. dia pun ngerti kondisi aku, dan selalu mendukung dalam segala hal yang bersifat positif dan demi kemajuan aku termasuk demi kemajuan karir aku.

mas Umang juga sering melalukan pekerjaan rumah tangga beliau setengah laki -laki dan setengah perempuan juga karna ringan tangan dalam membantu pekerja istri, kalau aku sakit mas Umang selalu sigap menjaga dan merawat aku sampai sembuh. ini yang tidak akan pernah terbayarkan dan tidak pernah tergantikan dengan apapun, karna mas Umang tau aku bukan tipikal wanita yang suka bermalas-malasan