Chapter 6 - Hati yang Terluka

Air mataku terus mengalir. walaupun solusi bayar SPP anakku sudah ada solusi nya. namun sedih rasa hati ini, sakit banget aku gak tau harus bilang gimana rasa sakitnya ini, tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. cuma bisa aku rasakan saja, rasnya lebih sakit dari putus cinta dan lebih sakit dari khianati, memang betol kata orang kalau kita gak punya uang, kalau kita miskin, kalau kita kere jangankan manusia iblis aja jijik liat kita.

luka hatiku ini rasaya dalam banget, aku menangis terisak-isak dan terus menangis air mata ini tidak bisa kompromi ia terus bergulir tanpa bisa dihentikan bagaikan bom waktu yang terus meledak.

aku sudah berjanji sama Mak kalau keluar uang koperasi aku akan kasih Mak walaupun beberapa ratus ribu aja, namun sayang aku hampir tak bisa melakukannya.

kata-kata adek aku yang nomor 3 dibawah aku pedih banget, menusuk ke relung-relung hati.

"[dek gimana uangnya gak cukup tuk kasih Mak]"

"[kan Uda dibilang Mak mau kasih uang orang, kamu tu kalau untuk orang kasih terus, untuk Mak kamu abaikan]"

"mana ada kasih ke orang aku bayar SPP Arum kan.

"[ kamu tu mang gitu orangnya].

aku cuma bisa diam tanpa bisa berkata-kata lagi, lidahku Kelu rasanya gak bisa berucap lagi, air mataku sudah tidak bisa dibendung lagi karna sedih hati sakit tiada obat mendengar katanya aku langsung memutuskan telpon sepihak.

Aku bukanlah tipe orang yang malas bayar hutang. hutang aku sama Mak aku memang sudah bertumpuk, hampir gak mampu bayar. tapi kalau aku punya uang, aku bisa langsung nyicil sikit-sikit.

ini karna aku tak punya. makanya aku gak bisa bayar, aku sudah berusaha semampu aku setiap hari namun itu belum juga terkumpul

dan ini sudah diakhir kesabaran, aku hampir putus asa.

Sudah keluar kata-kata dari mulutku, terserahmu ya Rabbi aku sudah lelah dengan keadaan ini. jangan sampai gara-gara masalah ekonomi aku kalap, aku mengakhiri hidup gara-gara keadaan yang seperti ini. Nauzubillah...

Aku masih ingin melanjutkan hidup, aku masih ingin sukses dan menikmati indahnya dunia, aku masih punya cita-cita, aku masih ingin membesarkan anak-anak ku dan ingin melihat mereka sukses dan ingin Melewati masa tua bersama anak-anak dan suamiku.

Aku harus tegar aku selalu menyemangati diriku sendiri walaupun dalam keadaan rapuh dan goyah, aku rasa ini manusiawi banget.

Mata ku menatap kedepan dengan tatapan kosong, aku sibuk dengan duniaku sendiri tanpa mempedulikan disekitar aku, tiba-tiba pandanganku teralih ke Mereke yang sedang bermain dan kadang-kadang aku berteriak ke anak-anakku karna lari-larian dijalan takut diserempet motor yang lalu lalang karna jalanan lagi lumayan rame walaupun jalan kampung, ini waktunya orang pulang kerja.

entahlah dan entah apa yang aku pikirkan, sepertinya jalanan sudah buntu didepan aku hampir tidak ada solusi.

bersambung....