Chapter 5 - Hati yang Berkelabu

Hati yang berkelabu

Pagi yang begitu cerah membuat kita semangat untuk bekerja namun tidak secerah secerah hatiku saat, hati resah dan sangan resah memikirkan bagaiman cara membayar spp anakku yang tinggal menghitung beberapa hari lagi, aku berharap Allah kasih jalan yang sangat membantu solusi yang sangat indah tidak dengan jalan pintas.

Harapan hati demi harapan setiap hari semoga menjadi lebih baik dari kemaren-kemaren, aku terus berusaha walaupun selalu dapat jalan buntu, kue jualan aku uda beberapa hari ini kurang laku. Jangankan dapat laba bahkan aku harus ngutang untuk nombok biar dapat modal untuk jualan besok pagi, karna kalau aku berhenti hari ini dan menghabiskan uang itu uda pasti besoknya tidak aka ada penghasilan lagi.

" gimana ini dek uang gak cukup tuk belanja besok"

"Tenang aja abang nanti adek ngutang dulu, besok kan uda laku kita bayar"

Jadi aku dan suami putuskan pinjam uang beberapa puluh ribu aja untuk modal tepung dan minyak biar bisa jualan besok lagi.

Ada satu tempat yang aku tarok kue belum aku ambil duitnya, karna pas ambil tadi orang nya gak ada. Dengan berat hati dan terpaksa aku mengambilnya, biar tidak terlalu banyak tuk ngutang. Rasa nya aku malu mengambil uang lagi walaupun itu hak aku, karna tempat kue uda duluan ambil.

" ini harus kita ambil sekarang uangnya tempat bu Ani"

" adek malu bang, gak berani"

Suamiku meberhentiin motornya dan bertanya" gimana ne dek ambil uangnya, kalau gak kita simpan aja tahunya dan bahan-bahan lainnya dirumah, karna adek malu" gak usa kita jualan aja besok

"Hehehe, apalah abang ne".

Yang buat aku sedih, beras uda habis, token listrik uda hamper habis juga, disini emosi dan fikiran betul-betul sangat diuji, kesabaran yang memang tiada duanya.

Kemaren terpaksa aku beli nasi bungkus yang harga dua ribuan, biar anak ku tidak kelaparan. Sore sudah menjelang malam aku masih menunggu keajaiban dari sang rabbiku, namun keajaiban tersebut tidak juga menghampiriku, aku lelah dengan rasa ini.

Setiap masalah yang aku hadapi jarang menceritakan ke orang tua ku, bahkan boleh kita bilang hampir tidak pernah, aku gak mau orang tuaku susah memikirkan nasib ku.

Kadang-kadang aku diam dalam diam, aku harus berbuat apa, aku harus bagaimana. Biasanya lelaki lebih kuat dan tidak boleh rapuh, aku takut suami ku akan rapuh, namun sejauh ini ia masih bisa aku jadikan sandaran ketika aku rapuh dan goyah, ia mampu menenangkan aku, ia juga mampu menghapus air mataku ketika aku menangis.

Suamiku adalah satu-satunya lelaki yang paling mengerti keadaanku, apapun keinginan ku yang bersifat posif selalu didukungnya, ia lelaki penyabar dan tidak pernah memarahi aku walaupun dengan sekali bentakan saja tidak pernah aku terima darinya. Pernah dulu ketika anak pertamaku masih bayi, dia uda bilang jangan tarok anak diatas kasur, anak lagi baru bisa merangkak, akhirnya sibaby ku jatuh kelantai, dengan suara benturan yang sangat kuat diiringi isak tangis yang sangat kencang, ia terkajet langsung besar suaranya tanpa ia sadari sudah ngebentak aku, setelah itu ia langsung minta maaf sama aku katanya kaget, akupun memakluminya, karna ia gak sengaja. Sebenarnya menurut aku dia bukan ngebentak suaranyanya juga gak sebegitu besar, dianya aja yang lebay hehehe.

Ia menyayangi aku dan mencintaiku dengan segenap jiwa dan raganya. Kami menikah hamper sepuluh tahu, aku belum pernah menerima perlakuan kasar darinya dia tidak pernah main tangan, dia adalah laki-laki yang paling lembut yang pernah aku kenal, bicaranya saja sangat pelan, kadang-kadang aku malu sendiri, aku sebagai wanita sering kali ditegurnya" dek jangan besar-besar kali suaranya, pelanin sikit volume suara adek, malu didengar tetangga".

Aku punya dua orang anak, yang tua perempuan dan yang paling kecil laki-laki, kan tau sendiri kalu uda jadi mak-mak suaranya gimana, apalagi seumuran anak aku lagi aktif-aktifnya, aku juga sering bilang kalau mau pergi kemana-mana bawa anak-anak hilang wibawaku gara-gara mereka. Tingkahnya selalu bikin kita gemes, ahh itulah yang namanya ibu-ibu, harus banyak-banyak bersabar.

Kepala ku tambah pusing yang aku harapkan pun tidak ada titik terang, penghasilan semakin hari semakin berkurang, akhinya oh akhirnya aku terjebak lagi dalam koperasi yang mencekek leherku. Mencekek leherku artinya aku sudah menambah beban hutang lagi, beruntung juga aku bisa mengenal anggota koperasi bisa membantu aku, dan ini sudah ditahap pencairan yang kedua, semog kedepan rezekiku lancer-lancar aja, dan bisa menutupi kebutuhanku.

Dan masalah Spp anakku selesai jika uang itu keluar.

Namun aku harus memikir gmn cara mendapatkan uang yang banyak untuk membayar cicilan disetiap minggunya. Ini beban yang bertambah dan bertubu-tubi, andainya gak ada storan tiap seminggu sekali dan dua minggu sekali, aku pasti bisa nabung uangnya disetiap hari..

Bersambung….