Chereads / GIRL DRUMMER / Chapter 11 - Keinginan Zia

Chapter 11 - Keinginan Zia

Azam mengeraskan rahangnya mendengar ucapan Zia yang mengatakan, jika sang Papa membawa wanita yang bernama Elsy tersebut ke rumah. Azam mengumpat habis pria yang sangat di bencinya, dan sialnya darah pria tersebut mengalir di dalam tubuhnya.

"Kak..." panggil Zia lirih, dia yakin saat ini Azam pasti sedang menahan amarahnya.

Azam menoleh ke arah Zia dengan senyum tipis, "Kak Azam, jangan berantem sama Papa gara-gara ini. Zia takut" ucap Zia lirih, tentu saja dia takut jika sampai hubungan Papa dan Kakaknya semakin memanas karena hal ini.

"Kamu jangan mikirin itu, jangan takut" ucap Azam sambil mengusap lembut rambut adiknya.

"Kakak janji" ucap Zia menatap lekat Kakaknya, terlihat pria tersebut mengangguk sambil tersenyum.

"Tenang saja. Pokoknya kalau kamu mulai tertekan dengan Papa, beritahu Kakak." Ucap Azam, tentu saja dia ingin Zia hidup bahagia. Terlebih lagi setelah kepergian Mamanya, Azam sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi perisai bagi adik kesayangannya.

Zia pun mengangguk tersenyum, dia pun merasa lega. Setidaknya dia punya Kakak yang dapat di andalkan, kemudian tiba-tiba saja Zia ingin memberitahu Azam tentang keinginannya mau ikut les musik.

"Kak.." panggil Zia ragu, Azam pun menatap lekat ke arah adiknya.

"Ada apa?"

"Ada yang kamu butuhkan?" sambung Azam bertanya, Zia menelan salivannya takut jika Azam juga tidak setuju seperti Papanya.

"A-aku, aku ingin les musik" ucap Zia, kali ini dia memberanikan diri menatap ke arah Azam.

Azam menatap heran ke arah Zia, "musik?" tanya Azam dengan nada yang masih tak percaya, dia tak percaya jika Zia ingin les musik.

Zia menganggukkan kepalanya mantap, "aku ingin bermain drum" ucap Zia lagi, Azam semakin menatapnya heran.

"Kamu yakin?" Zia menganggukkan kepalanya.

"Gak boleh ya Kak?" tanya Zia dengan tatapan penuh harap, Azam tersenyum.

"Tentu saja boleh, Kakak hanya tak menyangka jika adik Kakak yang pemalu ini tertarik dengan drum." Ucap Azam dengan senyum, binar bahagia terlihat jelas dari raut wajah Zia. Namun detik kemudian dia menjadi murung, mengingat sang Papa yang tak menyetujuinya.

"Kenapa malah murung? Kan sudah Kakak izinkan" ucap Azam yang melihat wajah Zia berubah murung.

"Tapi, Papa tidak mengizinkan ku Kak" adu Zia, dia masih ingat bagaimana tadi pagi Papanya sangat marah saat Zia meminta izin untuk ikut les tersebut.

"Kamu tenang saja, Kakak yang akan mengaturnya. Ini rahasia kita" ucap Azam dan sedikit berbisik di akhir kalimatnya.

Zia pun kembali tersenyum bahagia, dia percaya Kak Azam tak kan mungkin mengecewakannya.

Lebih kurang satu jam Azam berada di rumahnya, kemudian pria tersebut pamit untuk kembali ke apartemennya. Meski berat hati, Zia harus melepaskan Kakaknya. Karena dia tau, Azam tak mungkin mau tinggal apalagi masih hari kerja. Azam pun berjanji, wekend nanti akan datang menemani adiknya.

Seorang pria perawakan tinggi dengan sorot mata yang tajam, masuk ke dalam rumahnya. Seperti biasa, rumahnya selalu sepi karena kedua orang tuanya selalu sibuk di luar. Sang Papa selalu sibuk dengan alasan urusan bisnis, sementara Mamanya sibuk arisan. Entah arisan apa, hingga setiap hari tidak ada di rumah. Bahkan tak jarang Mamanya pulang dengan keadaan mabuk, keluarganya benar-benar kacau.

"Sudah pulang Den" sapa wanita tua yang memang sudah bekerja di rumahnya sejak lama, karena sejak kecil dia sudah melihat wanita tersebut bekerja di rumahnya.

"Hmm..." gumam Azel dengan malas.

"Mau langsung di siapkan makan Den?" saran wanita tua tersebut.

"Gak usah Bik, aku mau langsung ke kamar. Nanti kalau lapar, aku akan cari sendiri" ucapnya yang langsung melangkah menuju kamarnya.

Azel masuk ke dalam kamarnya, dan melemparkan tasnya asal. Dia melempar tubuhnya di atas ranjang besar tanpa melepaskan sepatu sekolahnya. Dia pun memainkan gawainya, dan membuka game online untuk menghilangkan rasa bosan.

Tak lama ponselnya berdering, 'Bayu' gumam Azel membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Dengan malas dia menggeser tombol hijaunya, untuk menjawab panggilan telpon tersebut.

"Halo, ada apa?" tanya Azel datar.

[Ck, ketus amat bro. Lagi di mana lo?] tanya suara di seberang.

"Di rumah, jangan banyak basa basi. Mau ngapain nelpon gue?" tanya Azel tak ingin berbicara panjang.

[Malam ini ke markas] ucap pria tersebut.

"Jam berapa?"

[Biasa jam tujuh]

"Cepet amat, gak terlalu siang?"

[Lagian lo ngapain di rumah, mending cepetan ke sini dari pada sendirian di rumah] ucap Bayu, Bayu adalah salah satu dari sahabat Azel yang tau bagaimana kehidupan keluarganya.

"Ok. Nanti malam jam tujuh" ucapnya, kemudian langsung memutus panggilannya dan melanjutkan game online yang sempat tertunda.

Mata hari sudah mulai turun, ingin bersembunyi di balik awan hingga menimbulkan cahaya memerah yang terlihat indah. Zia menatap langit yang terlihat memerah, dia baru saja selesai mandi. Karena tepat jam enam sore les visikanya usai, dia sengaja berdiri di balkon untuk menghirup udara segar. Setidaknya Zia masih dapat melihat dunia luar, meski hanya lewat balkon kamarnya.

'Pasti senang jika bisa jalan-jalan sore seperti orang itu' gumam Zia, sambil menatap gadis seusianya yang sedang mengendarai motor. Ada beberapa orang yang di lihatnya, ada laki-laki dan juga perempuan.

'Andai saja, aku bisa seperti mereka' gumam Zia lagi, selama ini Zia memang tak pernah keluar dari rumahnya. Hidupnya terlalu sibuk hanya untuk belajar, pulang sekolah Zia akan selalu di sibukkan dengan agenda les privat di rumahnya. Dia hanya punya waktu untuk makan dan beristirahat sebentar, bagaimana mungkin dia bisa menikmati hidupnya jika semuanya telah di atur oleh sang Papa.

Papa Zia memang sudah menyiapkan segalanya untuk Zia, pria dewasa itu menganggap semua yang dia lakukan dan berikan adalah yang terbaik bagi putrinya. Padahal bukan itu yang Zia inginkan, memang Zia akui hidupnya terlihat sangat sempurna dari luar. Tapi Zia merasa tidak bebas, bahkan untuk sekedar menikmati masa mudanya saja dia tidak bisa.

Beruntung Kakaknya Azam sesekali masih mau membawanya jalan-jalan, tapi itu juga tidak sering hanya sesekali jika Azam benar-benar sedang senggang.

'Aku ingin belajar naik motor, sama Kak Azam. Wekend ini sepertinya waktu yang pas.' Ucap Zia, dia harus melakukan hal itu. Dia tak bisa seperti ini terus, dia juga ingin seperti teman-temannya yang lain.

'Ya...harus!!' gumam Zia lagi, kali ini tekadnya sudah bulat. Dia tak perlu takut pada sang Papa, ada Azam yang akan selalu melindunginya.

Mata Zia menangkap mobil Mercedes Benz S-600 Pullman, milik sang Papa sudah memasuki gerbang rumahnya. Zia menghela nafas, entah kenapa setiap pria dewasa tersebut pulang Zia semakin merasa ruang geraknya terbatas. Bahkan untuk sekedar bernafas saja, rasanya sulit.