Hari ini Azel berangkat lebih pagi, dia muak berada di rumahnya pagi ini. Suara bising pertengkaran Papa dan Mamanya yang memicu pria berwajah tampan tersebut, untuk segera keluar dari rumahnya. Dia duduk di belakang gedung yang biasa di gunakan untuk acara sekolah, dari kejauhan dia melihat seorang gadis yang baru saja masuk ke gerbang sekolah dengan menunduk lesu.
Azel dapat melihat wajah gadis tersebut ditekuk cemberut, 'ternyata bukan cuma gue yang badmood pagi ini' gumam Azel, merasa ada kesamaan dia pun memiliki ide.
Kemudian Azel berdiri dari duduknya dan menghampiri Zia yang masih berjalan dengan menunduk tanpa memperhatikan sekitarnya.
***
"Bayar!" perintah Azel saat sudah menyelesaikan sarapannya, aku mengerjap beberapa kali.
Kenapa harus aku yang membayar, mungkin itulah arti tatapan ku pada Azel saat ini.
"Mulai hari ini, lo harus traktir gue kalau gue pengen makan sesuatu" ucapnya tegas.
"Tiap hari?" Azel menganggukkan kepala.
"Tapi kenapa? Gue kan gak punya hutang sama lo, kalau mau makan ya lo bayar sendiri lah" ucap ku menolak, entah keberanian dari mana yang aku miliki saat ini.
Azel tersenyum tipis dan membungkuk mencondongkan tubuhnya mendekat tepat di depan wajah ku.
"Karena gue, suka liat lo susah" ucapnya enteng tepat di depan wajah ku, hingga aku dapat merasakan nafas pria tersebut berhembus.
Kemudian Azel pun pergi meninggalkan ku yang mematung, sambil menatap punggung tegap tersebut berlalu.
Akhirnya aku terpaksa membayar makanan Azel meski tak rela, bukan karena aku tidak punya uang. Tapi aku tak suka pria tersebut berbuat sesuka hatinya, belum lagi saat mendengar ucapan terakhir pria tersebut. Apa itu artinya aku akan sering berurusan dengan pria tengil yang bernama Azel tersebut.
Setelah selesai membayar aku pun melangkah keluar kantin, aku mempercepat langkah menuju kelas karena sudah hampir bel. Tapi lagi-lagi ada seseorang yang menghalangi langkah ku, empat sekawan pelajar wanita yang terkenal centil di sekolah. Siapa lagi kalau bukan Rini dan ketiga dayangnya, Sinta, Lia dan Mira.
Rini menatap ku tajam, dan sudah mencekal tangan ku.
"Zia!" teriak seorang pria membuat aku, Rini dan ketiga temannya menoleh ke arah sumber suara.
Dalam hati aku merasa lega, Kak Alfa datang tepat waktu, batin ku. Rini pun secara spontan melepaskan tangan ku saat melihat Kak Alfa berjalan mendekat.
"Ngapain kalian?" tanya pria tersebut sambil menatap curiga ke arah Rini dan teman-temannya.
"Eh... Kak Al, gak apa kok Kak. Cuma ngajak Zia masuk kelas aja, iyakan Zi?" ucap Rini gagap, sambil menatap ku penuh maksud.
"Benar Zia?" tanya Kak Alfa mencari pembenaran, dengan terpaksa aku pun menganggukkan kepala agar tak memperpanjang masalah.
"Ya sudah, ayo Kakak antar ke kelas. Sekalian ada yang mau Kakak bicarakan sama kamu, soal eskul" ucap Kak Alfa, aku pun mengangguk setuju dan berjalan beriringan di sebelahnya.
Aku merasa lega, karena bisa terbebas dari Rini dan gengnya. "Kak Alfa mau bicara apa?" tanya ku sambil berjalan.
"Ini tentang eskul, semua pelajar sudah mengumpulkan lembar persetujuan eskul. Hanya kamu saja yang belum, kamu sudah punya pilihan Zia?" tanya Kak Alfa, sebenarnya aku sudah punya pilihan, tapi belum berani meminta persetujuan Papa. Karena aku yakin sekali pria paruh baya tersebut akan menolak.
"Ah..i-itu, iya Kak. Sudah ku isi kok, cuma lupa minta tandatangan wali muridnya" ucap ku dengan nyengir kuda.
"Ya sudah, kalau gitu. Kakak tunggu besok ya, masuk gih. Sudah bel" ucap Kak Al, sambil mengelus kepala ku lembut. Seketika membuat jantung ku seperti mau melompat, karena perlakuan manis pria tampan di hadapan ku.
Aku memang mengagumi Kak Alfa sejak dulu, sikapnya yang ramah dan selalu hangat pada ku membuat Kak Alfa memiliki tempat istimewa di hati ku.
"Cie...yang dianterin Kak Al" ucap Mita mulai mengejek, aku hanya menanggapinya dengan senyum malu-malu.
"Sok polos" ucap Azel lirih, namun masih dapat ku dengar. Aku menatap ke arahnya yang juga menatap ku dengan tatapan tak suka.
"Kenapa? merasa tersindir?" ucap nya menantang, aku memilih mengabaikannya dan duduk di bangku.
'Ya Tuhan, sepertinya sekolah sudah bukan tempat yang aku sukai sekarang, semenjak ada pria ini' gumam ku dalam hati.
Sebelum pulang sekolah, aku sudah menelpon Kak Azam. Aku mengatakan padanya akan mampir ke kantor, untuk membicarakan sesuatu dan Kak Azam pun tak keberatan akan hal itu.
Aku sudah sampai di parkiran kantor Kak Azam, "Mang Tunggu sebentar ya, aku gak lama kok" ucap ku berpamitan pada Mang Jaja, terlihat pria tersebut mengangguk sambil tersenyum.
Aku pun langsung menuju ruangan Kak Azam, "Kak Azam ada?" tanya ku pada sekretaris Kak Azam yang mejanya tak jauh dari pintu ruangan Kak Azam.
"Eh...Zia, sudah lama tidak ketemu. Kamu makin cantik aja" Ucap wanita tersebut sambil tersenyum ramah, aku pun membalasnya dengan senyum.
"Pak Azam, ada kok. Masuk aja, sudah di tunggu" ucapnya mempersilakan ku, aku pun mengangguk. Kemudian berpamitan menuju ruang Kak Azam.
Ceklek
Aku membuka pintu tanpa mengetuk, Kak Azam tersenyum melihat kehadiran ku di ambang pintu.
"Masuk" ucapnya yang langsung berdiri, menghampiri ku.
Aku masuk dan dituntun Kak Azam untuk duduk di sofa, "So..., apa yang membawa Adik Kakak yang cantik ini berkunjung?" ucap Kak Azam sambil mengusap sayang puncak kepala ku.
Aku mengeluarkan selembar kertas dan menyodorkannya pada Kak Azam, pria tersebut langsung membacanya tanpa bertanya.
Awalnya Azam terkejut, melihat formulir eskul yang Zia pilih. Tapi dia ingin mendengarnya langsung dari Zia, apa alasan adik perempuannya tersebut memilih eskul yang jauh dari kriteria gadis imut tersebut.
"Kamu yakin mau masuk eskul ini?" tanya Kak Azam, aku mengangguk penuh semangat.
"Iya Kak. Makanya, aku butuh persetujuan Kak Azam. Karena, Papa pasti tidak setuju." ucap ku menjelaskan, terlihat Kak Azam mengangguk mengerti.
"Kamu pernah coba main drum?" Aku menggelengkan kepala, tapi kemudian mengangguk. Membuat Kak Azam, mengerutkan kening.
"Aku pernah coba, tapi drum band sekolah. Bukan alat musik drum" jelas ku, Kak Azam langsung tertawa terbahak mendengar penjelasan ku. Aku langsung mengerucutkan bibir cemberut, melihatnya menertawai ku.
"Kak Azam juga gak setuju ya?" tanya ku dengan tampang cemberut, Kak Azam menggeleng masih sambil menahan tawanya agar berhenti.
"Enggak, bukan gitu. Kamu tau kan, drum band sekolah itu beda dengan drum alat musik?" aku mengangguk cepat, mendengar pertanyaan Kak Azam.
"Iya, aku tau kok Kak" jawab ku.
"Lalu? Apa yang membuat mu ingin masuk eskul musik? dan spesifiknya alat musik drum?" tanya Kak Azam.
"Aku ingat dulu, Kak Azam suka main drum saat masih SMA. Waktu itu, aku sering lihat Kak Azam main drum saat Kak Azam sedang kesal dengan Papa, kemudian Kak Azam terlihat lebih baik setelah bermain drum. Dan ku rasa, aku juga butuh pelampiasan seperti itu" jelas ku jujur, aku memang sering dulu memperhatikan Kak Azam.
Kak Azam tertegun mendengar ucapan ku, kemudian tanpa ku minta dia langsung menandatangani kertas tersebut. Aku tersenyum senang melihatnya, akhirnya... batin ku.
'Mulai hari ini sepertinya, petualangan hidup ku di mulai. Aku sudah punya banyak rencana, untuk menyalurkan semua keinginan ku yang selama ini terhambat karena Papa. Tapi aku tak akan menjadi Zia yang penurut lagi untuk Papa, setelah melihat kelakuannya yang membuat ku kecewa' gumam ku dalam hati, sambil berjalan riang meninggalkan ruangan kantor Kak Azam.