Aku mengangguk takut mendengar ucapan Azel, kemudian dia tersenyum penuh kemenangan. Dan sialnya senyum itu terlihat manis, menambah kadar ketampanan pria berahang tegas tersebut.
"Bagus! Jadilah anak penurut!" ucapnya sambil menepuk puncak kepalaku dua kali, kemudian berlalu meninggalkanku.
Aku meraba dada kiriku yang berdegub kencang, perlakuan Azel membuat kerja jantungku sedikit tak beraturan. Tapi aku bisa bernafas lega, akhirnya dia tak melakukan hal yang aneh-aneh padaku.
Aku pun memilih kembali melangkah keluar gerbang sekolah, dari jauh aku sudah melihat Mang Jaja berdiri di pinggir mobil. Pasti dia sedang menungguku, terlihat dari caranya sambil melihat ke kiri dan kanan mencariku.
"Maaf Mang, udah lama?" tanyaku, Mang Jaja menggeleng dengan senyum.
"Belum kok Non, ya udah yuk pulang" ucapnya sambil membukakan pintu penumpang untukku.
Setelah aku duduk dengan nyaman, Mang Jaja pun mengitari mobil dan segera duduk di kursi kemudi. Tak lama mobil pun melaju membelah jalan raya, "Mang, Papa udah pulang?" tanyaku.
"Tadi udah Non, tapi pergi lagi" aku mengerutkan kening, tumben Papa pergi setelah pulang ke rumah. Tapi akhir-akhir ini, Papa memang sering pergi, batinku.
"Mang Jaja tau, Papa ke mana?" tanyaku, terlihat Mang Jaja menggelengkan kepala.
"Enggak Non, Tuan juga gak mau diantar. Katanya pengen bawa mobil sendiri" jelas Mang Jaja, aku semakin curiga. Jangan-jangan Papa pergi sama...., ah...aku jadi kesal memikirkannya.
"Papa pergi sama siapa?"
"Kalau tidak salah tadi, Tuan pergi bersama sekretarisnya Non" aku meremas ujung rokku, ternyata benar dia sama perempuan itu lagi.
"Mang, jangan langsung pulang ya" pintaku, kulihat Mang Jaja melirikku dari kaca spion.
"Non Zia, mau kemana?" tanya Mang Jaja.
"Aku mau ketemu Kak Azam, anterin aku ke apartemennya Kak Azam ya Mang" terlihat pria paruh baya tersebut mengangguk mengerti, kemudian mengendarai mobil menuju tempat yang aku inginkan.
Tak butuh waktu lama, mobil yang aku tumpangi sudah sampai di parkiran. Aku melangkah menuju lift dan menekan nomor lantai unit apartemen Kak Azam. Begitu lift terbuka aku langsung menuju satu-satunya apartemen yang ada di lantai ini.
Kutekan tombol bel beberapa kali, tak lama terbuka. Kak Azam sedikit terkejut, melihat kehadiranku.
"Zia?!" aku mengabaikan ekspresi Kak Azam, dan memilih langsung masuk ke dalam.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Kak Azam, aku menatapnya tak suka. Harusnya Kak Azam senang kan aku datang, bukan malah bertanya seolah tak mengharapkan kedatanganku.
Aku tak menghiraukan pertanyaan Kak Azam, aku menerobos masuk dan menghempaskan bokongku di sofa. Ku jatuhkan tasku asal, ku raih remot tv dan menyalakan layar besar yang ada di hadapanku.
"Kamu kenapa?" tanya Kak Azam, yang kini sudah duduk di sebelahku, aku tak bergeming sama sekali.
Melihatku hanya diam, Kak Azam menghela nafas kemudian merebut remot tv dari ku dan langsung mematikan tv. Sontak membuatku menatapnya tajam, "Kak Azam apa-apaan sih" kesalku.
"Kenapa?" ulang Kak Azam.
"Apanya yang kenapa?" jawabku ketus.
"Kamu yang kenapa? datang-datang mukanya jutek, terus cemberut gini sama Kakak" ucap Kak Azam, mulai protes.
"Kakak Juga, aku baru nyampe langsung ditanyain ngapain ke sini. Memangnya gak boleh aku ke sini?" Kak Azam tersenyum tipis, kemudian mengusap rambutku lembut.
"Maaf, kalau kamu marah karena itu. Kakak cuma kaget, tiba-tiba kamu datang kemari, gak ngabari lagi." Jelas Kak Azam, sebenarnya aku saja yang terlalu sensi.
"Kamu gak ada les, sore ini?" tanya Kak Azam, aku tau dia mengalihkan pembicaraan.
"Ada" jawabku singkat.
"Trus, kenapa malah ke sini? Kamu gak takut dimarahi Papa?" Aku jadi semakin kesal mendengar pertanyaan Kak Azam.
"Kak Azam gak suka aku ke sini? ya sudah, aku pulang saja!" ucapku ketus, kemudian bangkit dari duduk hendak melangkah meninggalkan Kak Azam.
"Hei..., kenapa marah-marah sih." Tanya Kak Azam yang kini mencekal tanganku. Akupun kembali duduk di sofa panjang.
"Kenapa?" ualang Kak Azam bertanya.
"Kak, ajarin aku naik motor" ucapku tiba-tiba, membuat Kak Azam mengerjapkan mata beberapa kali.
"Kamu serius?" aku mengangguk mantap.
"Sebenarnya ada apa? Kenapa tiba-tiba pengen belajar motor?" tanya Kak Azam, sepertinya dia masih tak percaya jika aku ingin belajar naik motor.
"Aku bosan diantar jemput Kak, kalau pengen ke mana-mana harus pakai supir. Aku juga pengen kaya teman yang lain, bisa naik motor dan pergi kemanapun yang aku mau." Jelasku, semoga saja masuk akal bagi Kak Azam.
"Tapi kamu gak punya motor, mau Kakak belikan?" aku menggelengkan kepala, "gak perlu Kak, pakai motor Kak Azam aja" Kak Azam mendelik mendengar ucapanku.
"Enggak! Kakak gak mau ngajarin kamu naik motor gede Kakak." Tolak Kak Azam tegas, aku kembali mengerucutkan bibir. Tapi Kak Azam enggan melihat ke arahku, "Kak, aku mohon ajarin ya." Mohonku sambil menggoyangkan lengan Kak Azam.
"Kamu jangan gila Zi, mana mungkin Kakak ngajarin kamu naik motor sport itu. Kamu itu cewek, kalau mau naik motor pake yang matic atau motor bebek aja." Saran Kak Azam, aku menggeleng tegas.
"Kalau aku beli motor, nanti Papa pasti curiga. Motornya buat apa? Aku gak mau Papa tau, jika aku bakal naik motor. Memangnya Kak Azam mau, aku dimarahi Papa?" tanyaku dengan sedikit kesal, kulihat Kak Azam seperti sedang berfikir.
"Iya juga sih. Tapi, naik moge kamu juga gak mungkin." Ucap Kak Azam masih seperti menimbang keinginanku.
"Gak mungkin kenapa? Kan banyak cewek diluar sana, yang juga make moge." Ucapku lagi kekeh ingin tetap diajari naik motor sport milik Kak Azam.
"Iya, emang ada. Tapi, 1% aja Zia. Gak banyak!" ucap Kak Azam sedikit berteriak.
"Anggap aja aku dari satu persen itu!" tekanku tak mau kalah, Kak Azam menghela nafas. Akhirnya diam, tak ingin berdebat. Akupun memilih ikut diam, dan masih menatapnya dengan serius.
Tak lama Kak Azam menegakkan tubuhnya, dan menatap ke arahku?
"Kamu yakin?" aku menganggukkan kepala dengan mantap, sangat yakin dengan keputusanku. Hanya ini satu-satunya cara, agar aku bisa bebas untuk latihan drum.
"Baiklah, Kakak akan mengajarimu kalau begitu" ucap Kak Azam akhirnya, membuat senyumku merekah.
Aku melompat mendekati Kak Azam, dan memeluknya dari samping. Ku cium pipinya bertubi-tubi, hingga membuat Kak Azam merasa risih.
"Terima kasih Kak, aku sayang Kak Azam" ucapku dengan masih memeluknya.
Cup
Cup
Cup
Kembali ku cium pipinya, "iiih....risih Zia, tadi aja kamu ngambek sama Kak." Ucapnya mulai protes, aku hanya tersenyum mendengarnya.
"Kakak yang terbaik pokoknya" ucapku, Kak Azam mengusap puncak kepalaku sayang.
"Makanya, jangan suka ngambek sama Kakak." Ucap Kak Azam.
"Iya maaf, kan tadi karena Kak Azam gak mau." Ucapku tak ingin disalahkan.
"Bukan gak mau Zia, Kakak hanya mau memastikan. Jika, keputusan yang Kakak ambil itu tidak salah."
"Percaya sama Zia, Kak Azam gak mengambil keputusan yang salah. Ini juga demi kebaikan aku, aku hanya gak mau dirumah saja mengikuti keinginan Papa. Sementara Papa melakukan hal yang membuat hatiku sakit, apalagi dirumah. Sekarang Papa sering membawa wanita itu." Ucapku tertunduk, menahan air mata.