Sesuai janji Kak Azam, pria itu akan mengajarkanku naik mogenya mulai hari ini sepulang sekolah. Memang tidak lama, hanya sekitar satu jam. Karena, aku pulang dari sekolah sudah cukup sore.
"Coba lepaskan perlahan koplingnya" instruksi Kak Azam, saat ini aku bersama Kak Azam ada di sebuah lapangan yang cukup luas.
Perlahan aku mengikuti instruksi Kak Azam, pelan kulepas kopling yang ada ditangan kiriku. Kemudian kunaikkan gas ditangan kanan. Motor tersebut melaju, aku bersorak senang karena merasa berhasil. Saking senangnya, aku lupa menurunkan gas.
"Zia....turunkan gasnya!" teriak Kak Azam, aku menoleh ke arahnya. Tapi kemudian saat aku menatap lurus ke depan, aku oleh dan tidak bisa menguasai motor yang kukendarai.
BRAK...
BRUMMM
Suara motor yang bertabrakan dengan sebuah pohon akasia yang berada dipinggir lapangan, aku terjatuh karena hilang keseimbangan. Kak Azam berlari ke arahku, kemudian membantu mengangkat motor yang masih menimpa kakiku.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Kak Azam sambil menelisik seluruh tubuhku dengan matanya.
"Aku tidak apa-apa kok Kak" ucapku, kemudian Kak Azam membantuku untuk berdiri.
Akh...
Teriakku, saat mencoba berdiri dan terasa sakit dibagian kaki kiriku. Kak Azam kembali berjongkok dan melihat ke arah kakiku.
"Kakimu terluka" ucap Kak Azam, karena melihat ada luka robek dan lebam dibagian betis. Mungkin karena tertindih moto gede Kak Azam.
"Ayo kita bawa ke rumah sakit" ucap Kak Azam yang sudah berjongkok membelakangiku, aku yang mengerti maksud Kak Azam, langsung naik ke atas pundaknya.
Kak Azam sedikit berlari, membawa tubuhku yang digendong dipundaknya. Sampai dipinggir jalan, Kak Azam langsung menyetop taxi yang kebetulan lewat. Dengan hati-hati Kak Azam menurunkanku, kemudian membantuku untuk duduk dikursi penumpang. Setelah melihatku nyaman, Kak Azam ikut masuk.
"Rumah sakit terdekat Pak" ucap Kak Azam, mengintruksi pria dewasa yang mengendarai taxi tersebut.
"Baik Pak" jawabnya, dan langsung melajukan kendaraan menuju tempat yang Kak Azam minta.
Beruntung tidak jauh dari sini, ada rumah sakit yang cukup besar. Begitu sampai, Kak Azam langsung membopong tubuhku dan meletakkannya diatas kursi roda. Karena, memang hanya kakiku yang terluka.
Aku sedikit merasa bersalah, melihat Kak Azam yang begitu panik.
"Sust, tolong adik saya. Kakinya terluka," ucap Kak Azam pada seorang petugas rumah sakit.
Petugas tersebut, langsung mengambil alih kursi roda dan mendorongku ke arah ruangan UGD. Sampai di sana, aku dibantu untuk berbaring di atas ranjang pesakit.
"Apa terjadi kecelakaan?" tanya seorang pria dewasa yang bersneli, sepertinya dia seorang Dokter.
"Iya, tadi sedang belajar naik motor. Tapi tiba-tiba adik saya hilang keseimbangan, dan akhirnya menabrak pohon kemudian kakinya tertimpa motor." Jelas Kak Azam panjang, pria tersebut mengangguk mengerti.
"Beruntung tidak menabrak orang" ucap pria bersneli tersebut santai, kulihat Kak Azam mengeraskan rahangnya pasti dia kesal.
"Lain kali hati-hati, belajar naik motor harus fokus" sambung pria tersebut.
"Iya Dok" jawabku singkat, kemudian meraih tangan Kak Azam yang terkepal. Berharap bisa meredakan marahnya, "aku gak apa-apa kok Kak" ucapku dengan senyum, meski terasa perih saat lukaku dibersihkan dengan alkohol.
Kak Azam menoleh ke arahku, kemudian mengusap rambutku dengan sayang.
"Maafin Kakak, karena lalai menjagamu" ucap Kak Azam dengan wajah penuh penyesalan.
"Tidak perlu khawatir, hanya luka lecet. Dan memarnya juga tidak sampai ke dalam, karena kakinya masih bisa digerakkan dengan baik." Ucap Dokter tersebut menjelaskan, akhirnya wajah Kak Azam sedikit melunak mendengarnya.
"Bagaimana Kakak harus menghadapi Papa nanti?" ucap Kak Azam, sambil menatap ke arahku. Seketika aku merasa bersalah, pasti Papa akan menyalahkan Kak Azam nanti jika tau aku jatuh karena belajar naik motor.
Setelah menyelesaikan administrasi di rumah sakit, akhirnya Kak Azam mengajakku pulang.
"Kak..." rengek Zia, saat Kak Azam memapah tubuh adiknya.
"Sudah tenang saja, Papa tidak di rumah kok" ucap Kak Azam, aku menoleh ke arahnya seolah kembali bertanya.
"Papa ke Singapore, mungkin satu minggu." Aku sedikit bernafas lega mendengarnya, setidaknya satu minggu cukup buat menyembuhkan lukaku.
"Dari mana Kak Azam tau?" tanyaku kemudian.
"Mang Asep. Kakak menghubungi Mang Asep tadi, untuk memastikan Papa ada atau tidak di rumah. Ternyata Mang Asep, baru saja mengantar Papa ke bandara." Jelas Kak Azam panjang, aku hanya menganggukkan kepala mengerti.
Kemudian Kak Azam menuntunku masuk ke dalam mobilnya, kemudian kulihat Kak Azam mengitari mobil dan duduk dikursi kemudi.
"Pakai sabuknya" perintah Kak Azam, aku mengangguk sambil mengulas senyum.
Setelah terdengar bunyi klik, Kak Azam melajukan kendaraannya meninggalkan gedung rumah sakit. Tak butuh waktu lama, kendaraan Kak Azam sudah memasuki pekarangan rumah besar milik Papa.
Kak Azam memapahku masuk ke dalam rumah, Ambu yang pertama kali melihatku masuk sedikit terkejut. Karena aku berjalan dibantu oleh Kak Azam.
"Ya ampun...Neng Zia kenapa?" tanya wanita paruh baya tersebut dengan wajah khawatir.
"Tidak apa-apa Mbu, hanya luka kecil." Jawabku, namun tentu saja tak membuat wanita paruh baya tersebut langsung percaya.
Ambu langsung mengambil alih memapahku, tanpa bantahan aku menurut saja. Wanita paruh baya tersebut memang selalu lebih khawatir jika melihatku terluka.
"Sini, biar Ambu lihat" ucap Ambu sambil menuntunku duduk di sofa depan tv.
Ambu langsung memperhatikan bekas luka yang sebenarnya sudah mendapatkan perawatan tersebut.
"Tenang Mbu, Zia udah aku bawa ke rumah sakit kok." Ucap Kak Azam.
"Iya Mbu, semuanya sudah diobati. Zia baik-baik saja." Ucapku, kembali meyakinkan Ambu. Terlihat Ambu bernafas lega, aku hanya tersenyum melihatnya. Setidaknya, masih ada yang menyayangiku di rumah ini setelah Mama pergi, batinku.
"Ya sudah, kalau gitu. Ambu ambilkan minum dulu ya." Aku menganggukkan kepala, kemudian Ambu pergi menuju dapur.
Setelah Ambu meninggalkan kami, Kak Azam menatap ke arahku. "Apa masih sakit?" tanya Kak Azam.
Aku hanya mengulas senyum, "sakit sedikit. Namanya juga baru jatuh"
"Huh..., kalau sampai terjadi sesuatu padamu tadi. Kakak pasti tidak bisa memaafkan diri Kakak sendiri." Ucap Kak Azam, masih terlihat sangat menyesal.
"Buktinya, aku tidak apa-apakan Kak?!"
"Sudah. Tidak usah minta ajari naik motor lagi." Aku membola mendengar ucapan Kak Azam.
"Kak..." rengekku, dengan tampang memelas.
"Kakak hampir kehilangan kamu Zia, Kakak tak mau mengambil resiko" ucap Kak Azam, terdengar lebay.
"Gak usah lebay deh Kak. Namanya juga baru belajar, wajar kalau aku jatuh. Aku janji nanti akan lebih hati-hati lagi." Ucapku bersungguh-sungguh, sambil mengangkat satu tangan seperti orang yang sedang bersumpah dipengadilan.
Kak Azam memilih diam, dia hanya menghela nafas panjang sambil masih menatapku. Aku tau dia pasti sangat khawatir sekali tadi, tapi aku harus meyakinkan Kak Azam. Aku akan tetap meminta Kak Azam mengizinkanku memakai kendaraannya.
***
Dua hari setelah kecelakaan, akhirnya aku sudah mahir memakai motor Kak Azam. Dan atas persetujuan Kak Azam juga, motornya sekarang ada dirumah.
Dua hari ini juga Kak Azam menemaniku dirumah, tentu saja karena aku yang memintanya. Tapi sore ini, Kak Azam harus pulang ke apartemennya. Karena ada beberapa berkas kantor yang harus diselesaikannya.
"Kamu gak apa-apakan, Kakak tinggal?" ini sudah ketiga kalinya Kak Azam bertanya.
"Iya. Kakak tenang saja, aku sudah besar." Ucapku, Kak Azam tersenyum kemudian mengusap puncak kepalaku dengan sayang.
"Mbu, titip Zia ya" ucap Kak Azam pada Ambu, wanita tersebut tersenyum menganggukkan kepala.
"Iya Den."
"Oh...ya Kak, Kak Azam beneran mau pulang sekarang?" tanyaku, karena aku baru saja melihat Mbak Vio turun dari taxi online.
"Iya, memangnya kenapa?" Aku memanyunkan bibir menunjuk ke arah pintu gerbang, Kak Azam memutar kepala melihat ke arah yang kutunjuk.
Aku yakin sekali, ada sesuatu antara Kak Azam dan Mbak Vio. Karena hal itu terlihat jelas dari raut wajah keduanya yang sama-sama terkejut saat bertemu pandang.