Aku menutup mulut ku dengan kedua tangan agar tak berteriak saat menyaksikan pemandangan yang merusak mata ku. Dan parahnya lagi, hal itu di lakukan oleh Papa ku sendiri.
'Kenapa Papa jadi seperti ini?' gumam ku yang kini menyandarkan tubuhnya di dinding, aku belum beranjak dari sana. Tapi tak lama aku pun berjalan gontai menuju ruang makan, terlihat Ambu yang sedang menyiapkan makan malam.
"Neng Zia, mau makan duluan?" tanya Ambu, aku mengerutkan kening. 'Memangnya boleh aku makan lebih dulu, bukannya harus menunggu Papa dulu' batin ku.
"Tuan bilang, Neng Zia makan dulu saja. Karena Tuan lagi ada pekerjaan katanya" sambung Ambu seolah mengerti dengan tatapan ku yang penuh tanya.
'Pekerjaan? apa itu pekerjaan yang pria tersebut maksud' ucap ku berdecih dalam hati.
"Mbu" wanita tua tersebut menoleh dengan senyum ke arah ku.
"Iya Neng, butuh sesuatu?" aku menggeleng, membuat Ambu menatap heran.
"Ambu tadi lihat, Papa pulang dengan siapa?" tanya ku.
"Iya Neng, dengan Non Elsy sekertarisnya Tuan" ucap Ambu.
"Ambu yakin, Mbak Elsy itu cuma sekertarisnya Papa?" Ambu menatap ku sejenak, tapi kemudian wanita tersebut terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaan dapur. Sepertinya Ambu sedang menyembunyikan sesuatu, batin ku.
"Maaf Neng, kalau gak ada yang dibutuhin lagi Ambu ke dapur dulu ya" aku pun terpaksa menganggukkan kepala, selera ku untuk makan pun menghilang tiba-tiba. Aku memilih kembali masuk ke dalam kamar dengan membawa segelas susu, kali ini aku tidak ingin melalui ruang kerja Papa. Tentu saja aku tak ingin kembali melihat adegan tak senonoh yang merusak mata ku lagi.
'Kenapa Papa tega sih, sebenarnya sudah berapa lama Papa memiliki hubungan dengan wanita tersebut' gumam ku yang kini sudah duduk di kursi balkon kamar.
'Jika Papa saja bersikap seperti sekarang, maka tidak ada salahnya jika aku juga ingin melakukan hal yang ku inginkan. Tapi, bagaimana caranya' gumam ku, sambil berfikir.
Aku pun meraih ponsel dan menghubungi Azam-Kakak ku, beberapa kali terdengar nada tersambung.
"Halo Kak" sapa ku saat panggilan sudah di jawab.
[Iya, dek. Ada apa? tumben nelpon Kakak]
"Kak, weekend jadi bawa aku jalan kan?" tanya ku to the point.
[Iya. Kamu pengen ke mana memangnya?]
"Pokoknya aku pengen jalan-jalan sama Kak Azam, aku bosan di rumah. Apalagi kalau Papa...." ucapan ku terjeda, hampir saja keceplosan.
[Papa kenapa? dia macam-macam sama kamu?] aku menggelengkan kepala seolah terlihat oleh Azam.
"Gak ada Kak, gak ada apa-apa kok" ucap ku cepat.
[Ada yang kamu sembunyikan Zi...?] tanya Azam mulai mengintrogasi, membuat aku merutuk diri sendiri yang hampir saja kelepasan bicara.
[Papa bawa perempuan itu lagi ke rumah?] sambung Kak Azam dan kali ini terdengar dingin.
Zia hanya mampu menghela nafas dalam, dan Azam yang di seberang sudah tau jawabannya tanpa Zia menjawab. Dari nafas berat adiknya, Azam yakin sekali jika pria tersebut memang membawanya ke rumah.
Azam langsung mematikan sambungan telponnya, dia ingin sekali langsung datang ke rumahnya. Tapi pesan Zia yang baru masuk mencegah Azam, Zia langsung mengirimkan pesan kepada Azam saat panggilan mereka terputus.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah berada di ruang makan, aku ingin cepat berangkat sekolah pagi hari ini. Tentu saja karena aku tak ingin bertemu dengan Papa, tapi sialnya malah bertemu dengan seorang wanita yang baru saja keluar dari kamar utama. Yaitu kamar Papa, wanita itu berjalan santai menuju ke arah ku.
Aku bahkan mengalihkan pandangan, karena merasa jijik dengan pakaian yang di kenakan wanita yang bernama Elsy tersebut. Gaun tidur yang menerawang, dengan belahan dada yang hampir separuh memperlihatkan isinya.
"Pagi Zia" sapanya santai, dan menarik kursi lalu duduk seperti sedang berada di rumahnya sendiri.
"Apa yang Mbak lakuin di kamar Papa dengan pakaian seperti itu?" ucap ku dengan menatap tak suka ke arah Elsy, terlihat wanita tersebut hanya terkekeh kecil.
"Aku rasa kamu bukan anak SD lagi Zia, kamu pasti sudah tau apa yang sudah kami lakukan" ucap Elsy santai, aku mencengkram erat gelas yang berisi susu saat mendengar ucapan Elsy. Bahkan wanita tersebut, tanpa dosa mengatakannya. Seolah itu adalah hal yang biasa, aku memilih menyudahi sarapan.
Aku pun melangkah meninggalkan sarapan yang baru di sentuh, selera ku hilang tiba-tiba.
"Habiskan dulu sarapan mu Zia?" ucap Papa saat melihat ku melangkah pergi.
Aku enggan menoleh, "selera makan ku hilang, karena pemandangan yang tidak mengenakkan" ucap ku menyindir, aku pun berlalu dan segera masuk ke dalam mobil. Kemudian memerintahkan Mang Ujang agar segera melajukan kendaraannya.
Ini pertama kalinya Zia membantah Papanya, Rahardja bahkan mematung mendengar ucapan Zia. Pria dewasa tersebut tau, putrinya pasti sedang marah. Tapi dia ingin Zia terbiasa dengan kehadiran Elsy, dengan cara membawa wanita tersebut ke rumahnya. Rahardja menganggap ini adalah tindakan yang benar, karena dia sudah menikah siri dengan Elsy. Meski belum resmi secara hukum, tapi mereka sudah resmi secara agama dan tentu saja dia tidak salah.
Tapi lain halnya menurut Zia, dia kecewa dengan sosok pria yang selama ini sangat di hormatinya. Apapun alasan pria tersebut, tetap saja Papanya sudah kelewat batas bahkan Zia kecewa ternyata Papanya sama saja dengan pria hidung belang di luar sana. Seenaknya berbuat mesum, bahkan hal itu di lakukan di saat Mamanya baru saja meninggal.
Zia melangkah lesu menuju kelas, tanpa menyadari ada yang memperhatikannya dari jauh. Pria tersebut melangkah sedikit berlari mendekatai Zia, dan tiba-tiba berhenti di hadapan gadis tersebut. Zia sampai tersentak dan hampir menabrak tubuh pria tersebut, beruntung dia bisa menghentikan langkahnya dengan cepat.
"Traktir gue" ucap pria tersebut dan tanpa permisi menarik lengan ku paksa, hingga tubuh ku sedikit terseret mengikuti langkah lebar pria tersebut.
Apalagi ini, batin ku yang masih menatap bingung ke arah pria yang kini sedang menarik lengan ku. 'Aku buat salah apalagi, kenapa pria ini selalu bertindak seenaknya' gumam ku, ingin sekali aku bertanya pada pria tersebut. Tapi aku tak berani, melihat tatapannya saja sudah membuat nyali ku menciut.
Jangan lupakan tatapan para pelajar, terutama wanita. Semua seolah menatap tajam ke arah ku saat ini.
"Lo... ma-mau bawa gue ke mana?" ucap ku, seperti orang tuli. Jelas-jelas tadi aku mendengar pria tersebut minta traktir, tentu saja dia akan di bawa ke kantin sekolah.
Azel menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap tajam ke arah ku.
"Kuping lo masih fungsi kan?!" ucap Azel sekenanya.
Aku hanya bungkam, kemudian Azel kembali menarik ku hingga sampai ke kantin. Azel pun memerintahkan ku untuk duduk, setelah melihat ku duduk dia pun ikut duduk berhadapan dengan ku, dengan tatapan lekat ke arah ku sampai membuat ku merasa risih.
"Bude Nasi goreng pake telor dua" ucap Azel sedikit berteriak, terlihat wanita paruh baya yang biasa di panggil Bude tersebut mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.
Tak lama pesanan yang diminta Azel pun tiba, dia dengan santai mulai memakannya. Sementara aku hanya menatap ke arah nasi goreng yang tersaji, "makan!" perintahnya, membuat ku sedikit tersentak dan mengalihkan pandangan ke arahnya.
Aku masih bingung dengan sikap pria di hadapan ku ini, 'kenapa harus memesankan nasi goreng, aku sedang tak ingin makan nasi goreng saat ini' gumam ku tentu saja hanya dalam hati.
Melihat Zia hanya diam, Azel menghentikan suapannya dan menatap tajam ke arah Zia.
"Makan! Gue bilang!" sentaknya sedikit keras, membuat ku mengerjapkan mata dan langsung menurut.
Azel menyunggingkan bibirnya tersenyum tipis, sangat tipis bahkan tak terlihat.