Chereads / GIRL DRUMMER / Chapter 10 - Kak Azam dan Mbak Vio

Chapter 10 - Kak Azam dan Mbak Vio

"Jika sampai itu terjadi, berarti Papa sudah siap kehilangan anak-anak Papa" ucap Azam tanpa melihat ke arah Rahardja, kemudian pria tersebut melanjutkan langkahnya meninggalkan ruangan sang Papa.

Rahardja terdiam sejenak mendengar ucapan anak tertuanya, Rahardja menjatuhkan tubuhnya di atas kursi dan mengusap wajahnya kasar. Dia tau kerasnya Azam seperti apa, sedikit banyak Azam mewarisi sikap kerasnya. Dan Azam tidak pernah main-main dengan ucapannya, dia ingin mengabaikan ucapan Azam tapi dia juga tak siap jika harus kehilangan anaknya.

Azam melajukan kendaraannya dengan perasaan marah, kepalanya terasa panas karena amarahnya yang sudah sampai di ubun-ubun.

Arghhhh....

Geram Azam sambil memukul stir mobil berkali-kali.

Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttttt....

Suara derit rem yang di injak Azam dengan keras, pria tersebut menepikan kendaraanya. Nafas Azam memburu, dadanya naik turun.

Argghhh...

Teriak Azam lagi sambil mengacak rambutnya, 'kenapa harus pria brengsek itu, yang jadi Papa ku' teriak Azam lagi, sungguh jika boleh memilih. Azam tak ingin memiliki Papa seperti Rahardja, tapi dia juga tak bisa merubah bahwa kenyataan pria tersebut adalah Papanya.

Azam menarik nafasnya dalam kemudian menghembuskan perlahan, dia melakukannya beberapa kali. Setelah merasa cukup tenang, Azam pun meraih ponselnya hendak menghubungi Zia-adiknya. Azam tersenyum tipis, ternyata adiknya mengirim pesan.

Adik Kesayangan : Kak, aku kangen. Kalau Kakak sudah tidak sibuk telpon aku ya, ada yang ingin ku tanyakan.

Azam pun langsung menekan panggilan pada nomor Zia, beberapa kali tersambung namun tak ada jawaban.

'Kok tidak diangkat' gumam Azam, dia pun kembali mencoba menghubungi Zia lagi.

Beberapa kali menghubungi Zia tapi tetap tak ada jawaban, Azam melihat jam ternyata sudah jam tiga sore.

'Ah..ya, dia pasti sedang belajar. Lebih baik aku ke rumah saja menemuinya.' Gumam Azam lagi, kemudian kembali menghidupkan mesin mobil dan melaju membelah jalan raya.

Tak sampai tiga puluh menit Azam sudah sampai di depan rumah yang dulu adalah tempat ternyaman bagi pria berwajah tampan yang mewarisi wajah Papanya. Azam menghela nafas sebelum membuka pintu mobilnya, kemudian keluar dan melangkah menuju pintu rumah besar tersebut.

Saat hendak masuk, terlihat Zia keluar dengan seorang wanita berambut panjang yang di ikat setengahnya. Azam menghentikan langkahnya, dan menatap ke arah dua wanita berbeda usia tersebut.

Zia yang menyadari kehadiran Kakaknya, langsung tersenyum dan sedikit berlari menubruk tubuh Azam.

"Kakak, aku kangen." Ucap Zia sambil memeluk Azam, pria tersebut mengusap kepala adiknya sayang. Namun tatapan matanya masih menatap ke arah wanita yang masih berdiri mematung, keduanya saling tatap. Tatapan penuh kerinduan, seperti sedang berbicara melalui tatap mata kedua anak manusia tersebut.

"Kakak sudah pulang kerja? Kok cepat?" tanya Zia, namun Azam masih terdiam.

Zia yang tak mendengar jawaban dari Kakaknya, mengurai pelukannya dan menatap ke arah Azam yang masih menatap wanita yang masih berdiri di ambang pintu. Zia mengerutkan keningnya heran, 'kelihatannya Kak Azam kenal sama Mbak Vio' gumam Zia.

Ehm...

Zia berdeham memutus tatapan antara Azam dan Vio, "Kak Azam kenal sama Mbak Vio?" tanya Zia.

"Kamu sudah selesai privat?" ucap Azam balik bertanya, dia mengabaikan pertanyaan Zia. Lebih tepatnya, Azam tak tau harus menjawab apa. Ingin menjawab kenal, tentu saja dia kenal. Tapi, apa wanita di hadapannya juga masih ingin mengenalnya. Mengingat bagaimana dulu akhir hubungan mereka yang kurang baik.

Viollen melangkah dengan anggun dan tersenyum tipis ke arah adik beradik tersebut, "apa kabar Zam?" sapa Vio dengan senyum tipis, Azam sedikit terkejut karena wanita cantik tersebut menyapanya lebih dulu.

"Jadi benar Kak Azam dan Mbak Vio, saling kenal?" tanya Zia antusias.

Vio mengangguk, "iya, kami teman lama" ucap Vio, Azam mengerutkan keningnya 'teman? Jadi dia tak menganggap hubungan itu ada' gumam Azam dengan hati miris.

"Wah ternyata dunia sempit, Mbak Vio jangan pulang dulu deh. Kita ngobrol dulu ya" rengek Zia sambil menyentuh lengan Vio, wanita tersebut tersenyum lembut ke arah Zia.

"Maaf Zia, sepertinya aku tidak bisa. Karena harus mengajar di tempat lain" tolak Vio lembut, sambil mengusap lembut kepala wanita muda tersebut. Anehnya mata Vio malah menatap lekat ke arah Azam, meski bibirnya bicara dengan Zia.

"Ehm.., setidaknya tinggallah sebentar karena kita baru bertemu" ucap Azam, dari ucapannya Vio tau pria tersebut ingin bicara dengannya setelah sekian lama tidak bertemu. Namun Vio mengabaikan hal itu.

"Maaf, aku benar-benar tidak bisa. Lagian meski baru bertemu, sepertinya juga tidak ada hal penting yang perlu kita bicarakan. Jika sekedar basa basi, rasanya sudah cukup" ucap Vio menolak sambil menyindir, Azam paham wanita tersebut pasti masih menyimpan rasa sakit hati padanya.

Zia yang memperhatikan tatapan keduanya yang terlihat tajam, dapat melihat ada aura tidak nyaman diantara mereka. Terlebih lagi pada wanita cantik tersebut, dari tatapan Vio, Zia dapat melihat ada rasa sakit yang dipendamnya. Tapi apa, Zia juga tidak tau.

Setelah kepergian Vio, Azam mengajak Zia untuk duduk di teras samping rumahnya yang menghadap kolam renang yang lumayan luas.

Azam menghela nafas dalam, dia tak menyangka ternyata selama ini wanita yang di carinya berada dekat dengan keluarganya sendiri. Viollen, yang biasa di sapa Vio, wanita itu adalah satu-satunya wanita yang sudah berhasil meluluhkan hati Azam. Lebih kurang tiga tahun mereka menjalin kasih, dan akhirnya berpisah hanya karena alasan yang tidak masuk akal bagi Vio.

"Kak Azam sudah lama kenal sama Mbak Vio?" Zia datang dengan membawakan minum untuk Azam, dia duduk di kursi satunya sambil masih menatap wajah Azam lekat.

Azam tersenyum getir, "iya cukup lama" ucap Azam lirih, membuat Zia semakin yakin ada hubungan yang tak biasa antara keduanya.

"Kamu masih ada les?" tanya Azam, mengalihkan pembicaraan. Terlihat gadis muda tersebut mengangguk lesu.

"Iya, nanti jam empat" ucap Zia dengan tampang yang cemberut, dia benar-benar lelah, bagaimana tidak, karena dia harus tetap belajar meski sudah di rumah.

"Oh..ya, tadi kenapa menghubungi Kakak?"

"Hmmm... i-itu, ada yang ingin ku tanya kan" ucap Zia ragu, tapi dia tetap harus menanyakannya pada Azam.

"Ada apa?" tanya Azam menatap lekat adik kesayangannya.

"Papa" ucap Zia terjeda.

"Kenapa Papa? apa pria tua itu menyakiti mu?" sela Azam, terlihat Zia menggelengkan kepalanya.

"Tidak. Bukan itu"

"Aku ingin tanya, apa Papa sedang dekat dengan wanita?" sambung Zia, dia menunduk takut. Takut jika Azam akan marah dengan pertanyaannya.

Azam sedikit kaget, 'kenapa Zia tiba-tiba tanya soal ini' gumam Azam dalam hati, dia jadi berfikir bahwa adiknya mengetahui sesuatu.

"Kenapa tiba-tiba tanya itu? Kamu tau sesuatu?" tanya Azam menebak, Zia menatap ke arah Azam takut.

"Tadi siang, Papa bawa seorang perempuan" ucap Zia lirih, dan kembali menunduk.

Azam mengepalkan tangannya kuat, 'ternyata pria tua itu semakin berani' gumam Azam dengan masih menahan amarahnya.