Sagara mengangguk lesu. "Aku sudah mencoba menceritakan yang sebenarnya pada mereka semua. Tapi tak ada satupun yang mempercayaiku. Dan malah mereka semua sepakat menghukumku kecuali ibuku." Keluh Sagara lagi.
"Kamu yang sabar, ya? Memang sangat menyakitkan ketika kita di tuduh melakukan apa yang tidak kita lakukan." Ucap Purba Ningrum seraya tersenyum agar Sagara merasa lebih baik.
"Tapi mungkin ini kesalahanku juga, selama ini aku memang terkenal bandel, aku susah di atur, tidak pernah belajar, tidak patuh pada orang tua, dan hanya suka bersenang-senang. Untuk itu, saat aku melakukan kesalahan yang mereka anggap fatal. Tak ada satupun orang yang mempercayaiku termasuk ayahku." Jelas Sagara lagi.
"Hem... aku bisa mengerti yang kamu rasakan. Pasti sekarang, kamu merasa asing, sendirian dan kesepian." Tatapan Purba Ningrum menerawang ke langit-langit rumah. Membayangkan wajah kedua orang tuanya yang tersenyum di atas sana. Karena sekarang, nasibnya tak jauh beda dengan Sagara. Merasa sendirian dan kesepian tanpa kehadiran kedua orang tuanya di sisinya.
Meski kadang Bi Lilis selalu menemaninya, tapi rasa rindu pada kedua orang tuanya tetap saja menyergap saat malam-malam panjang tiba.
Sagara menatap Purba Ningrum yang tampak sedang melamun. Dia merasa iba dengan tubuh Purba Ningrum yang di penuhi bintik-bintik merah yang juga mengeluarkan bau tak sedap. Apalagi setelah mendengar cerita Bi Lilis, dia sering di jauhi orang-orang karena hal itu. Bahkan kakaknya sendiri tega mengusirnya.
Andai saja Sagara memiliki sedikit kekuatan untuk membantu Purba Ningrum, dia pasti akan melakukannya. Tapi sayangnya dirinya sendiri saat ini juga dalam keadaan tidak berdaya.
Ceklek!
Pintu kamar Bi Lilis tiba-tiba terbuka. Wajah Purba Ningrum dan Sagara seketika berubah pias.
Purba Ningrum yang ingin menyembunyikan Sagara, reflek berdiri di depan Sagara untuk menutupi tubuh berbulunya itu.
"Non... kok non ada di situ? Belum tidur?" Tanya Bi Lilis sembari menguap. Wanita paruh baya itu terlihat masih tampak mengantuk.
"Ningrum belum namgantuk, Bi." Sahut Purba Ningrum salah tingkah. Takut kalau Bi Lilis curiga dengan apa yang ada di belakang punggungnya.
"Ooohh..." Bi Lilis berangsur menggelung rambut panjangnya yang tadi sempat tergerai. "Oh... ya, non. Den Sagara udah ada di rumah belum? Tadi bibi sempet cari di luar, tapi nggak ketemu. Karena bibi ngantuk, bibi pulang dan tidur aja, bibi kira nanti Den Sagara pulang sendiri." Jelas sang Bibi lagi.
Sedangkan Purba Ningrum hanya tersenyum kikuk. Bi Lilis Beringsut ke meja makan yang tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri, lalu menuang air putih di gelas dan meminumnya. "Haduh... tumben bibi haus banget, tadi bibi mimpi aneh banget, kayak di kejar-kejar binatang gitu." Keluhnya setelah menghabiskan satu gelas air putih hingga tandas.
"Bi-binatang apa Bi?" Suara Purba Ningrum terbata karena gugup. Sementara itu, Sagara berusaha duduk dengan tenang di belakang punggungnya.
"Nggak tahu, non. Binatangnya tuh aneh banget, bulunya lebat, item, mukanya serem. Hii... serem deh pokonya." Bi Lilis bergidik ngeri sendiri.
Mwndegar ucapan Bi Lilis. Sagara merasa sedikit tersindir, kenapa ciri-ciri mahluk yang di sebutkan Bi Lilis dalam mimpinya mirip dengannya?
Astaga... Emang aku jelek banget, yah! Batin Sagara sembari meraba-raba wajahnya sendiri.
"Kira-kira kemana perginya den Sagara, ya?" Wajah Bi Lilis tampak menimang. "Kenapa pergi nggak pamitan juga?"
"Mungkin Sagara cuma cari angin di luar sebentar, Bi. Kan seharian ini dia di rumah terus, pasti bosen." Jawab Purba Ningrum sedikit tidak yakin.
"Iya juga ya, non. Tapi kalau dia kesasar gimana? Soalnya udah jam berapa ini? Orangnya nggak balik-balik?" Bi Lilis melihat ke arah pintu.
"Bentar lagi kali, Bi. Udah bibi tidur lagi aja, biar Ningrum aja yang nunggu Sagara di sini." Ujar Purba Ningrum.
Bi Lilis menguap beberapa kali, wajahnya terlihat masih sangat mengantuk, "yaudah, Non. Bibi masuk lagi ke dalam ya? Ngantuk."
"Iya, Bi."
Sagara dan Purba Ningrum menghela napas lega ketika Bi Lilis kembali masuk ke dalam kamarnya.
"Yang tadi, hampir aja." Ucap Purba Ningrum sembari mengelus dadanya. Sejak tadi dia sudah menahan rasa was-was takut ketahuan.
"Benar juga, tapi kita nggak mungkin bisa terus-teruasan menutupi kenyataan ini dari Bi Lilis kan?"
"Benar juga, kamu. Tapi untuk sementara waktu, biarlah seperti ini dulu, sampai kita bisa menemukan solusinya."
Sagara mengangguk setuju.
***
Parta mengendap-endap mendekati ruangan para Resi. Dia sengaja ingin mencuri dengar apa yang telah di bicarakan para maha guru tersebut.
Dengan ilmu transparasi yang di pelajarinya sendiri, Parta menyamarkan warna dirinya dengan tembok ruangan tersebut. Sehingga prajurit yang lalu lalang di dekat sana tidak bisa melihat keberadaan dirinya.
Sebenarnya, ilmu itu belum sempat diturunkan oleh gurunya pada Parta. Namun Parta sengaja mencuri kitab catatan penelitian milik gurunya dan mempelajarinya sendiri. Ilmu transparasi adalah ilmu yang terinspirasi dari binatang bunglon yang bisa menyamarkan keadaan di sekitarnya. Butuh waktu ratusan tahun bagi Resi Mulya Warman mempelajari ilmu tersebut. Dan dia sengaja tidak menurunkannya pada Parta, karena merasa muridnya itu belum pantas untuk menerimanya.
Menurutnya, selain masih terlalu muda, Mulya Warman menilai murid-nya Parta belum terlalu bisa menyeimbangkan energi yang selaras dengan prilakunya. Karena jika sampai gagal dalam mempraktekan ilmu tersebut, akibatnya bisa fatal. Bagi yang mempelajarinya, bisa saja tubuhnya berubah menjadi transparan selamanya.
Namun Parta sepertinya salah mengartikan perhatian gurunya tersebut yang lebih mementingkan keselamatannya. Dia justru menilai sang guru sangat pelit berbagi ilmu dengannya. Untuk itu dia lebih memilih mencuri kitab penelitian tersebut, kemudian menyalinnya, setelah itu berusaha mempelajarinya sendiri.
Awalnya Parta merasa kesulitan, tapi setelah beberapa tahun, akhirnya dia berhasil juga menguasai ilmu tersebut. Meski kadang butuh waktu cukup lama untuk kembali ke wujud semula.
Dan sekarang, Parta benar-benar mempraktekannya.
Parta menyelinap masuk ke dalam ruangan, saat seorang abdi di persilahkan masuk ke dalam ruangan. Meski ini ilmu transparasi, bukan bearti dia dapat menembus dinding.
Parta memilih untuk tetap berada di sekitar dinding agar tetap aman. Sang abdi kembali keluar setelah meletakkan tiga cangkir teh bunga-bungaan di atas meja.
Parta menahan napas dan membatasi geraknya agar para maha guru tidak mencurigai keberadaanya yang diam-diam telah menyelinap.
"Aku masih sangat tergelitik dengan pertanyaan Parta tadi. Seandainya pangeran Sagara Guruminda benar-benar tak bisa mematahkan kutukannya dan selamanya terjebak di bumi. Apa kerajaan kahyangan akan tetap baik-baik saja? Sedangkan Kakanda mengatakan, kerajaan kahyangan akan terancam jika pangeran Sagara tak juga kembali. Karena hal itu berhubungan dengan batu petuah." Resi Mulya Warman membuka suara setelah menghirup teh dengan wewangian bunga kenanga miliknya.
"Benar, aku juga masih penasaran soal hal tersebut. Jadi mau tidak mau, kita harus membantu Pangeran Sagara Guruminda untuk mematahkan kutukannya, atau kalau tidak, kerajaan kahyangan ini akan terancam." Resi Trisna Warman ikut menambahkan.
Sementara itu, Resi tertua, yaitu Resi Darma Warman hanya tersenyum tenang. "Apa kalian sungguh mempercayai ceritaku?"
Resi Mulya Warman dan Resi Trisna Warman tampak terperangah mendapati pertanyaan dari kakak tertua mereka. Keduanya saling tatap dengan wajah bertanya-tanya. "Maksud Kakanda?" Tanya Keduanya secara bersamaan.
Bersambung.