"Ki Sora... bagaimana keadaan putraku di bumi?"
"Kanjeng ratu pasti senang jika mendengar ini," pria dengan pakaian punggawa itu berkata dengan wajah berseri, "sepertinya pangeran Sagara akhir-akhir ini banyak mengalami perubahan, dia berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya?"
"Benarkah?" Mata Ratu Ambu berbinar senang. "Memang apa saja yang dia lakukan?"
"Dalam waktu dekat ini, Pangeran Sagara bertekad mengikuti ujian pelajaran yang ada di bumi. Sekarang pangeran sangat giat belajar."
Ratu Ambu tak bisa menutupi rasa senangnya hingga matanya berkaca-kaca karena terharu. Bagaimana bisa, putranya yang selama ini terkenal pemalas, kini bahkan ingin mengikuti sebuah ujian?
"Semua itu berkat gadis bernama Purba Ningrum. Pangeran Sagara bertekad ingin melindungi gadis itu."
"Purba Ningrum? Siapa dia?" Alis ratu Ambu saling bertaut bertanya.
"Dia adalah gadis malang yang memiliki penyakit aneh. Dan kebetulan di pertemukan dengan Pangeran Sagara. Setelah bertemu gadis itu, Pangeran Sagara mengalami banyak perubahan dalam hal positif, ya... meskipun sifat arogannya belum sepenuhnya hilang."
Mendengar penuturan Ki Ageng Sora, Ratu Ambu jadi terdiam, wajahnya tampak berpikir sejenak. "Mungkin kah dia gadis yang sengaja di pertemukan dengan Sagara oleh Dewata? Agar sifat Angkara murka Sagara berubah."
"Bisa jadi, Kanjeng Ratu."
"Hem... kalau begitu, awasi saja mereka. Dalam hal ini kau tidak boleh terlalu ikut campur. Aku ingin putraku bisa terbebas dari kutukan dari hasil usahanya sendiri."
"Baik, Kanjeng Ratu."
***
Sementara itu, di bumi. Sagara sedang belajar bersama Purba Ningrum. "Kamu harus baca semua buku-buku ini." Purba Ningrum membawa setumpuk buku ke atas meja makan. Mereka sengaja belajar di ruang makan karena hanya itu satu-satunya meja paling besar di rumah ini.
"Apa? Sebanyak ini? Apa nggak salah?" Perut Sagara langsung terasa mual melihat tumpukan buku tebal di hadapannya.
"Iya... ini semua buku cetak aku, aku yakin semua mata pelajaran yang akan di ujikan bulan depan untuk bea siswa ada di buku-buku ini semua."
"Ya... tapi ini banyak banget? Nggak bisa apa, dikit aja gitu?" Protes Sagara.
Mendengar itu, Purba Ningrum terkekeh geli sendiri. Pasalnya wajah lutung Sagara yang sangat, rasanya tidak pantas jika harus merengek seperti itu. Hari sudah menjelang malam, seperti biasa, Sagara berubah menjadi seekor lutung.
"Kenapa kamu malah ketawa gitu? Awas jangan kenceng-kenceng, nanti Bi Lilis bangun, bisa-bisa jantungnya copot liat aku."
Purba Ningrum buru-buru membekap mulutnya sendiri. Tapi ia belum belum bisa menghentikan tawanya. "Abisnya muka kamu lucu banget..."
Sagara jadi ikut tersenyum mendengar penuturan Purba Ningrum. Gadis itu selalu saja bisa menularkan kebahagiaan di hatinya. "Emang aku lucu banget, ya?"
"Iya," Sahut Purba Ningrum masih dengan tertawa.
"Udah-udah, jangan tertawa terus, katanya mau bantuin aku ngapalin materi." Sagara mencoba mengalihkan pembicaraan, karena entah kenapa dirinya mendadak salah tingkah. Bagaimana bisa, Purba Ningrum terus memujinya lucu tanpa merasa takut sedikitpun melihat wajahnya.
"Oh... iya, maaf... maaf."
Purba Ningrum kemudian meraih sebuah buku degan sampul warna hijau muda. Di sampulnya tertulis judul FISIKA, yang menggunakan huruf besar semuanya.
"Kamu coba pelajari ini? Biasanya jika kamu unggul di pelajaran, Fisika, matematika dan Kimia. Itu akan menjadi point nilai tambahan untukmu."
"Ini?" Sagara menelan ludah kasar saat membuka lembar demi lembar halaman dalam buku tersebut, banyak angka dan huruf dengan melihatnya saja sudah membuat kepalanya pusing.
"Iya... itu yang Fisika. Dan yang ini, Mate-matika dan kimia." Purba Ningrum kembali menyodorkan buku cetak tebal ke hadapan Sagara. Kepala Sagara seketika terasa pusing dan jika busa, ia ingin bumi menelannya saat ini juga.
Tapi tidak. Ia teringat akan tekadnya yang kuat. Dan kata-kata sesumbar yang telah terlanjur ia ucapkan pada Sadewa Atmajaya alias Dewa. Bahwa dirinya adalah seorang yang pandai. Jika ia menyerah sebelum bertempur, bukankah itu sangat memalukan?
"Sagara... Aku harap ini tidak perlu terlalu membebani pikiran kamu, ya? Bukannya aku meragukan kemampuanmu, hanya saja, jika kamu gagal nanti, walaupun aku berharap sebaliknya. Aku ingin kamu tetap semangat, tetap mau belajar dan jangan putus asa. Karena kegagalan bukanlah akhir, dan yang paling penting adalah, setidaknya kamu sudah mau berusaha dan mengupayakan yang terbaik, dan itu cukup. Jadi... kamu harus tetap semangat dengan apapun yang telah terjadi." Ningrum menutup kalimatnya dengan tersenyum hangat.
Rasanya, belum pernah ada seorang pun yang dapat menyentuh hatinya dengan kata-kata kecuali ibunya. Tapi kali ini, mendengar kalimat penyemangat itu dari Purba Ningrum, Sagara benar-benar merasa terharu. Padahal... Purba Ningrum juga banyak mengalami kesulitan dan masalah akhir-akhir ini. Tapi itu semua tidak mengubah kepribadian baiknya. Dia tetap gadis baik hati yang berhati lembut. Yang selalu ingin menyemangati orang-orang yang ada di sekitarnya. Dia juga pribadi yang tulus dalam membantu.
"Terimakasih," matanya lekat memandang Purba Ningrum.
Sagara merasa beruntung di pertemukan dengan gadis ini. Keduanya berjingkat kaget saat terdengar pintu kamar Bi Lilis berderit. Pemuda itu pun buru-buru mencari tempat persembunyian. Ia berlari ke bawah kolong meja. Sementara Purba Ningrum berusaha menguasai dirinya sendiri agar tidak panik. Dia tidak ingin pengasuhnya itu curiga.
"Non Ningrum... belum tidur juga?" Tanya Bi Lilis sembari menguap.
Purba Ningrum tersenyum kikuk, dia mencoba bersikap senormal mungkin. "Belum, Bi." Padahal saat ini jantungnya seolah ingin melompat dari tempatnya.
"Kok belum tidur?"
"Iya... soalnya ada banyak tugas sekolah yang harus di kerjain."
"Ooohh... mau bibi temenin?"
Purba Ningrum sontak langsung menggeleng, "nggak... nggak usah, Bi. Bibi tidur aja, lagian ini udah malem banget."
"Tapi--"
"Udah nggak apa-apa, bentar lagi Ningrum juga udah kelar kok ngerjain tugasnya."
"Oh... yaudah, kalau gitu, bibi lanjut tidur lagi ya, Non. Soalnya Bibi masih ngantuk." Wanita itupun kembali masuk ke dalam kamarnya.
Purba Ningrum menghela napas lega. "Udah aman belum?" Bisik suara dari arah bawah meja.
"Udah, kamu keluar aja."
Baru saja Sagara hendak keluar dari bawah meja, tiba-tiba Bi Lilis kembali keluar kamar.
Duk!
Purba Ningrum terpaksa mendorong Sagara agar tidak jadi keluar. Kepala pemuda itu pun jadi terantuk langit-langit meja.
Aduuhh... Sakit tauuu... keluhnya tanpa suara. Sementara Purba Ningrum tampak sibuk mengobrol lagi dengan Bi, Lilis. Wanita itu mengingatkan agar Nona majikannya itu jangan lupa mematikan lampu ruang tengah saat sudah selesai belajar.
"... Sip, beres, Bi." Purba Ningrum mengacungkan ibu jarinya ke arah Bi Lilis. Wanita itu tersenyum dan Beringsut kembali ke dalam kamarnya.
Sagara keluar dari persembunyiannya dengan wajah meringis kesakitan. "Kurang keras kamu dorongnya," sindirnya pada Purba Ningrum sembari mengusap-ngusap sebelah kepalanya yang masih terasa sakit.
"Maaf... maaf, aku nggak sengaja," wajah Purba Ningrum terlihat khawatir. "Sini... coba ku lihat, apa ada yang luka?"
Sagara menurut, ia mendekatkan kepalanya pada purba Ningrum. Ia merasa nyaman saat tangan gadis itu mulai menyentuh kepalanya dengan lembut. "Sedikit memar, tapi untuk nggak berdarah. Biar ku obati, ya?" Sagara mencekal tangan Purba Ningrum saat gadis itu hendak beranjak berlalu dari tempatnya.
Purba Ningrum terpaksa menghentikan langkahnya dan kini mata mereka bertemu. Keduanya mematung di tempat. Seolah tersihir oleh tatapan masing-masing. "Ini hanya luka kecil, kamu nggak perlu panik gitu, nanti juga sembuh sendiri." Sagara membuka suara lebih dulu. Ia tersenyum berkata sembari tersenyum lembut.
"Tapi kan--" Purba Ningrum masih merasa tidak enak, namun kalimatnya terpaksa terhenti karena Sagara meletakkan telunjuknya di sana. Sagara menggeleng, seolah memberi isyarat agar Purba Ningrum tidak perlu mengkhawatirkannya.
Purba Ningrum mengangguk mengerti, dan keduanya jadi canggung. "Yaudah... kita terusin belajarnya aja, keburu malem."
"Iya..."
Bersambung