Parta Sona kembali menemui sang kakak setelah ia mendapatkan sebuah ide di kepalanya. "Kak... aku punya ide agar kita bisa turun ke bumi."
"Apa-apa?" Pandu terlihat antusias.
"Bagaimana kalau kita beralasan pergi meninjau daerah selatan yang katanya akan ada pembangunan besar-besaran di sana."
"Ide bagus, tapi bagaimana kalau ada seseorang yang memata-matai kita?"
"Itu masalah gampang, belakangan aku mempelajari ilmu seribu rupa. Agar tak mencurigakan, aku bisa menyuruh bayangan diriku berada di sekitar sana untuk mengelabuhi mereka."
"Kau sudah menguasai ilmu itu? Bukankah guru kita belum mengajarkan ilmu itu pada kita?"
Parta tersenyum penuh arti, "aku mencuri kitab guruku dan menyalinnya. Bahkan aku juga sudah menguasai ilmu transparan agar tak terlihat."
Mata Pandu membelalak lebar, "wah... kau sungguh jenius, dalam waktu singkat kau bisa mempelajari semua itu. Apa aku juga boleh mempelajarinya?"
Wajah Parta tampak berpikir sejenak, "tapi kakak juga harus mengajari aku ilmu memindahkan benda dari kejauhan dan kekuatan super yang bisa menghancurkan apapun." Tawar Parta.
"Untuk itu, sepertinya tergantung keahlian kita masing-masing. Aku sebenarnya juga ragu bisa mempelajari ilmu yang kau miliki. Begini saja, kita saling membagi tugas sesuai kekuatan kita masing-masing demi melancarkan rencana kita ini. Bagaimana?"
"Setuju, Kanda."
"Lalu ... kapan kita akan pergi ke bumi?"
"Bagaimana kalau besok saja?" Usul Parta.
"Bagaimana kalau aku saja yang pergi ke bumi? Sedangkan kau berjaga di sini, mengawasi Dewi Sekar dan keadaan di sini. Aku tidak ingin siapapun menggagalkan rencana kita."
"Itu ide bagus, Kanda."
"Jika terjadi sesuatu padaku, aku akan menghubungimu lewat telepati." Parta mengangguk setuju.
***
Sesampainya di rumah Bi Lilis, Sagara tak hentinya berpikir. Dia sedikit menyesali ucapannya pada Dewa tadi. Bagaimana jika dirinya gagal dalam tes bea siswa kali ini? Bukankah itu sangat memalukan? Sedangkan dia tahu seperti apa kemampuan otaknya yang hanya sebesar biji sawi. Ya... itu karena dia malas berpikir.
"Sial... Sial... Aku harus gimana sekarang?" Gumamnya frustasi. Dia tidak menyadari jika ada sepasang mata yang tengah mengawasinya saat ini. Bahkan Orang tersebut sudah mengawasinya sejak di sekolah tadi.
Pria itu memiliki ilmu transparan hingga Sagara tidak menyadari keberadaan pria itu di sekitarnya.
Dalam kebingungannya, Sagara tiba-tiba di kejutkan dengan suatu benda yang baru saja menjatuhi kepalanya.
"Aduh! Kurang ajar siapa nih yang melempar kepalaku?!" Murkanya sembari celingukan menatap kesekeliling, tapi tak ada siapa-siapa di sana. Kemudian tatapannya jatuh pada benda yang tergeletak di lantai.
Tangan Sagara kemudian terulur meraih benda yang ternyata sebuah botol. "Ini apa?" Sagara menimang. "Ramuan penajam ingatan," Sagara mengeja tulisan yang ada do botol tersebut. Pupil matanya seketika melebar.
Benar juga, ini dia yang ia butuhkan saat ini. Tapi... siapa kira-kira yang memberikan ini padanya, ya? Sagara membatin. Tapi sedetik kemudian dia mencoba untuk melupakannya.
"Terserah siapa yang memberi, demit kek, iblis kek, terimakasih, ya?" Ucap nya senang.
"Aden... Aden ngomong sama siapa barusan?"
Sagara buru-buru menyembunyikan benda yang ada di tangannya ke balik punggungnya saat Bi Lilis tiba-tiba muncul dari arah dapur.
"Em...itu--" Sagara menggaruk lehernya yang tak gatal, ia salah tingkah. "Tadi ada nyamuk, jadi aku omelin aja deh, abisnya ganggu aku banget." Ujarnya beralasan.
Kekehan riang langsung terdengar oleh BI Lilis, "Aden ini aneh-aneh saja, masa Nyamuk di omelin kayak gitu?"
"Ya... abisnya nyamuknya bandel sih, gangguin orang ganteng kayak aku, kalau naksir bilang dong, jangan malah colek-colek kulit aku."
Bi Lilis makin terpingkal mendengar celotehan Sagara yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Astaga... Aden, perut Bibi sampai sakit karena ketawa." Bi Lilis menggelengkan kepalanya merasa heran.
"Nggak apa-apa, Bi. Ketawa aja, biar awet muda." Timpal Sagara.
"Aden benar."
"Aku pulang..."
Bi Lilis dan Sagara menoleh ke asal suara yang baru datang. "Non udah pulang." Sambut Bi Lilis hangat.
"Udah, Bi. Tadi di antar Dewa sampai depan gang, jadi cepet deh pulangnya." Sahut Purba Ningrum sembari melepas sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu dekat pintu.
Mendengar nama Dewa di sebut, Sagara langsung melengos. "Ngapain kamu minta di antar dia segala, nanti kamu di apa-apain lagi sama cowok tengil itu." Sungut Sagara kesal. Sepertinya dia memang punya dendam tersendiri dengan Dewa.
"Dia bukan cowok seperti itu kok, Dewa itu cowok yang baik, dia yang selalu semangatin aku dan nelgelindungin aku di sekolah." Purba Ningrum bicara penuh nada emosional. Dia seperti tidak terima jika ada yang menjelek-jelekkan cowok itu.
"Hem... Tapi kayaknya dia punya maksud terselubung sama kamu." Sagara menimang.
"Terselubung apa maksud kamu? Maksudnya dia mau manfaatin aku? Tapi untuk apa?"
"Mungkin saja kan? Namanya juga manusia." Sagara terbiasa bersikap realistis, dan dia tidak percaya jika semua orang itu baik.
"Kamu ngomong katak gitu, karena kamu belum kenal Deket sama Dewa. Kalau emang dia berniat jahat, apa untungnya buat dia deketin cewek kayak aku. Aku kan... udah nggak cantik lagi." Wajah Purba Ningrum mendadak berubah sedih.
Melihat itu, Gara menjadi tidak tega. Memang sudah kebiasaanya kalau bicara hanya menuruti kata hatinya saja dan tanpa memikirkan perasaan orang lain. Mungkin purba Ningrum benar, dan dirinya yang salah mengenai Dewa. Dia berkata seperti itu karena dia sedang kesal dengan cowok itu.
"Yaudah... maafin aku. Aku nggak akan ngomong kayak gitu lagi tentang Dewa." Ini pertama kalinya juga Sagara meminta maaf pada orang lain. Biasanya dia tidak pernah melakukan ini.
Ningrum mengangkat kepalanya dan tersenyum pada Sagara. "Nanti setelah kamu kenal dekat sama dia, kamu pasti akan tahu kebaikan Dewa. Dia itu baik banget." Jelas Purba Ningrum antusias.
Sagara hanya tersenyum tipis, entah kenapa dia tetap memiliki firasat buruk tentang cowok yang satu itu.
Sagara seolah bisa merasakan ada aura gelap yang menyelubungi Dewa.
***
Bunyi khas laboratorium terdengar di dalam rumah besar. Dewa melempar tasnya ke sembarang arah dan menjatuhkan dirinya di sofa yang ada di ruangan itu.
Itu adalah ruangan Laboratorium yang di buatkan oleh ayahnya khusus untuk dirinya.
Ada satu hal yang menjadi objek penelitiannya. Yaitu Purba Ningrum. Dewa sedang menyelidiki penyakit aneh yang tiba-tiba menimpa Purba Ningrum beberapa bulan terakhir ini.
Tapi dia belum mendapatkan petunjuk apapun. Bahkan dia curiga ini semua ada hubungannya dengan legenda tentang lutung kasarung dan juga Purba Sari.
Ini masih menjadi teka-teki baginya. Untuk itu dia harus bersabar untuk penelitiannya kali ini.
Kecurigaan Dewa makin bertambah dengan kemunculan sepupu Purba Ningrum yang berpakaian aneh di sekolah tadi. Dewa merasa jika pemuda berpakaian pangeran itu bukanlah pemuda biasa.
Asal muasal Dewa memiliki pemikiran semua ini adalah, saat dirinya menemukan sebuah buku tua di loteng rumah keluarganya. Buku tersebut di simpan di sebuah peti kayu kuno, dan buku itu di tulis pula dengan huruf sangsekerta kuno. Dan di buku tersebut terdapat lukisan wanita mirip sekali dengan purba Ningrum.
Dewa baru menerjemahkan sebagian dari buku tersebut, di sana di tulis tentang legenda Lutung Kasarung, dan Dewa semakin terobsesi akan hal itu.
Terlebih lagi cita-citanya adalah menjadi ilmuwan yang mendapatkan Nobel dan di akui seluruh dunia. Jika penelitiannya kali ini berhasil, harapannya itu bisa saja terwujud dalam waktu dekat ini.
"Dewa... kapan kamu pulang?"
Teguran dari arah pintu membuyarkan lamunan Dewa. Seorang pria paruh baya berjalan mendekat ke arahnya.
"Baru saja, Pi. Belum lama." Pria dengan setelan jas itu mengangguk.
"Tumben Papi sudah pulang jam segini? Biasanya sore atau malam baru pulang?" Dewa menatap menyelidik ke arah ayahnya.
"Ya... tadi papi ada sedikit urusan di luar, jadi papi sekalian mampir saja ke rumah."
"Urusan apa?"
Pria paruh baya itu terdiam sejenak, seolah sedang mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan putranya itu.
"Biasa, urusan bisnis dengan mitra bisnis papi."
"Oh..." Dewa mengangguk. Wajah Dewa tiba-tiba berubah, dia seolah teringat sesuatu. "Oh... iya, papi sudah punya kabar lagi tentang Papa dan Mama Ningrum belum? Apa jasad mereka belum juga di temukan?"
Pria yang di panggilnya Papi itu menggeleng, "Papi juga terus memantau perkembangannya, tapi sepertinya belum ada kabar apapun dari pihak maskapainya."
"Bagaimana dengan korban kecelakaan yang lain? Apa mereka ada yang sudah berhasil di temukan?"
"Papi juga tidak tahu. Nanti setelah ada kabar, Papi pasti akan memberitahukannya padamu." Tuan Aditya sepertinya enggan membahas hal itu. "Kita lupakan sejenak masalah orang tua Purba Ningrum. Bagaimana kalau kita makan siang saja bersama, mumpung Papi di rumah." Ajaknya mengalihkan perhatian putranya.
"Baiklah, ayo." Keduanya beranjak dari sofa dan meninggalkan ruangan laboratorium.
***
"Oh... ya Ningrum. Kapan aku bisa mengikuti ujian untuk mendapat bea siswa di sekolahmu?"
Malam telah menjelang, dan seperti biasa Sagara berubah wujud kembali menjadi lutung. Tapi tentu saja Sagara dan Purba Ningrum menyembunyikan ini dari Bi Lilis. Mereka sedang ada di kamar Purba Ningrum dan berbicara dengan suara lirih.
"Kata Dewa, bea Siswa di buka untuk umum mulai bulan depan, jadi kamu ada waktu untuk belajar semua mata pelajaran yang akan di ujikan."
"Kalau boleh tahu, ada berapa mata pelajaran?"
Wajah Purba Ningrum terlihat berpikir sejenak, "mungkin sekitar 10 atau 12 mata pelajaran."
"Apa? Sepuluh?" Pupil mata Sagara membelalak lebar tak percaya. Mendadak wajahnya berubah pucat.
"Memangnya kenapa?"
Sagara menggeleng tak yakin, "bukannya itu banyak banget, ya?" Membayangkan harus mempelajari pelajaran sebanyak itu dalam waktu singkat membuat perut Sagara mual.
Melihat Ekspresi Sagara yang seperti itu, membuat Purba Ningrum tersenyum. "Katanya tadi kamu pandai, harusnya kamu nggak masalah dengan hal itu kan?"
Wajah Sagara seketika berubah masam. "Kenapa kamu jadi nyebelin kayak Dewa, sih? Aku ngomong kayak gitu karena nggak mau aja keliatan bodoh di depan cowok singing itu." Sungut Sagara kesal.
Mendengar itu Kekehan Ningrum makin membahana, "oh... jadi kamu tadi cuma pura-pura pandai?" Sagara menghela napas jengah.
"Kan masih ada waktu satu bulan untuk belajar, aku yakin kamu bisa." Ucap Purba Ningrum menyemangati.
Sagara terdiam berpikir, kemudian wajahnya mendadak berubah sumringah saat teringat botol obat yang dia temukan tadi siang. "Baiklah... tapi kamu ajarin aku, ya?"
"Boleh...boleh. Nah... gitu dong, Semangat." Keduanya tersenyum senang.
Sepasang mata yang sejak tadi mengamati mereka ikut tersenyum senang.
Bersambung