"Parta, bagaimana? Apa kau sudah menemukan alasan yang tepat untuk rencana kita?" Pandu menemui sang adik kembali di kamarnya.
"Belum kanda,"
"Belum?" Pupil mata Pandu seketika melebar tak terima. "Kau ini, kenapa jadi lamban sekali?!" Umpatnya yang merasa tak sabaran.
"Astaga Kanda, ini belum genap sehari, tapi kau terus saja mendesakku." Protes Parta.
"Astaga... kenapa semuanya jadi tampak menyebalkan." Pandu merasa kesal dengan keadaan dan ketidak berdayaannya, terlebih lagi saat mengetahui sepertinya Sekar punya maksud terselubung pada Sagara. Dia jadi semakin mencampur adukkan masalah yang ada.
"Kanda, kanda sebaiknya bersikap tenang, Jagan bertindak gegabah, atau para tetua akan semakin mencurigai kita."
Pandu menarik napas untuk mengatur emosinya, "kau benar Dinda, aku harus bisa mengendalikan diriku."
"Memangnya, ada sesuatu yang membuat Kanda terusik atau tidak nyaman?"
"Ya... Sekar?"
"Sekar? Ada apa dengan Dewi Sekar?" Parta menautkan kedua alisnya heran.
"Aku curiga dia sungguhan menyimpan rasa pada Sagara, dan aku takut dia menjadi penghalang kita untuk menghabisi Sagara."
"Darimana Kanda bisa tahu semua itu?"
"Firasatku yang mengatakannya begitu, untuk itu kau harus menyuruh orang untuk terus mengawasinya."
"Baik Kanda, akan ku laksanakan."
"Bagus. Dan ku harap kau segera menemukan alasan untuk kita meninggalkan kerajaan kahyangan sementara waktu. Aku tidak sabar ingin turun ke bumi dan menggagalkan semua kebaikan yang hendak di lakukan Sagara, agar dia jadi lutung terkutuk selamanya. Jika tidak berhasil juga, kita akan pakai cara lain. Yaitu dengan cara menghabisi nyawanya." Pandu mengatakan semuanya dengan wajah penuh dendam dan Amarah.
"Itu ide yang sangat bagus Kanda. Aku juga ingin melihat dia menderita lebih dulu sebelum menemui ajalnya." Keduanya pun tersenyum licik.
***
Dewa mengajak Purba Ningrum dan Sagara ke bukit hijau untuk membicarakan keinginan Sagara yang ingin bersekolah.
"Jadi ini sepupu kamu itu?" Dewa mengulangi pertanyaannya hanya untuk memastikan. Matanya tak hentinya menatapi penampilan Sagara yang menurutnya sedikit aneh.
"Iya... kamu bisa bantu dia sekolah di sini kan?" Jawab Ningrum seraya bertanya.
"Hem... aku bisa saja membantumu, tapi dia tetap saja harus mengikuti prosedur sekolah ini jika ingin mendapatkan bea siswa di sekolah ini." Jelas Dewa. Matanya melirik tak yakin pada Sagara, "dia harus mengikuti serangkaian tes beberapa mata pelajaran, jika hasil nilainya memuaskan, baru pihak sekolah akan mempertimbangkannya."
"Itu masalah kecil, aku pasti bisa melewati semua ujian itu." Sahut Sagara penuh percaya diri.
Dewa langsung menatap tak percaya ke arahnya. "Kenapa? Kamu mau meremehkanku?!" Sagara merasa tak terima di pandangi seperti itu.
"Sebaiknya kamu jangan terlalu percaya diri, dan lebih baik kamu siapkan saja mentalmu." Ujar Dewa mencoba bersikap tenang.
"Kamu tidak usah meragukan lagi mentalku, aku ini adalah seorang Pang--" Sagara buru-buru menghentikan kalimatnya saat ia menyadari hampir ketelepasan menyebutkan jati dirinya yang sebenarnya. Sudah kebiasaan Sagara bersikap arogan dan menyombongkan diri, "aku adalah seorang yang pandai," ia meralat kata-katanya.
Sagara sadar, kali ini dia sedang asal jeplak saja. Tapi biarlah, dia tidak suka jika ada orang lain memandang remeh dirinya. Sama seperti kebiasaanya terdahulu, sombong saja dulu, Masalah pembuktian belakangan.
"Dalam mendapatkan bea siswa ini, kau tidak sendiri, ada kompetitor lain yang akan menjadi sainganmu, jika nilai mu menjadi yang terbaik, baru kau bisa mendapatkan bea siswa tersebut."
"Baiklah, tidak masalah bagiku," meskipun sebenarnya Sagara sedikit gugup, tapi ia enggan menunjukkan kelemahannya pada orang lain.
Dewa terdiam, menatap menilai pada Sagar, "bagus juga rasa percaya dirimu." Dewa mengakui.
"Tentu saja," Sahut Gara dengan tetap menampilkan wajah arogannya.
"Jangan sampai kamu mempermalukan dirimu sendiri."
Wajah Sagara berubah kesal, dia tahu ada nada sindiran di balik ucapan Dewa. Tapi kali ini dia memilih diam dan tak ingin menggubrisnya.
Liat saja, aku pasti akan menjadi pemenangnya, tekadnya dalam hati. Meskipun sebenarnya dirinya sedikit ketar-ketir dengan apa yang dia hadapinya nanti.
Belajar? Bukan hal yang di sukai oleh Sagara, tapi kali ini dia harus melakukannya dan berusaha keras demi membuktikan mulut besarnya yang terlanjur berkoar.
"Tapi aku yakin, kamu pasti bisa, katamu kan seorang yang pandai," Dewa menepuk pundak Sagara mencoba memberi semangat, tapi Sagara segera menepisnya. Dia tahu, pemuda itu diam-diam sedang mengejeknya.
Sialan!
Umpatnya dalam hati.
"Bentar lagi bel istirahat, kita balik ke kelas dulu, yuk." Ajak Dewa pada Purba Ningrum.
"Tapi... Sagara gimana?" Purba Ningrum menoleh ke arah Sagara merasa tidak enak.
"Dia sudah besar kan? Dan katanya pandai, aku rasa dia tahu apa yang harus dia lakukan." Lagi-lagi Dewa memberikan nada Sindiran.
Tangan Sagara seketika mengepal erat-erat menahan emosinya yang seakan ingin meluap, dia paling anti di rendahkan oleh siapapun itu. Tapi Sagara berusaha menahannya saat menyadari bulu-bulu halus dan panjang mulai bermunculan di sala-sela jari-jari tangannya. Dengan cepat ia sembunyikan tangannya di balik punggungnya.
Sekarang Sagara mengerti, selain matahari tenggelam, dirinya juga bisa berubah wujud saat dirinya merasa marah dan murka.
"Kalian pergilah, biar aku pulang ke rumah purba Ningrum sendiri saja." Ujar Sagara sembari menahan diri agar tetap tenang.
Purba Ningrum masih menatapnya merasa tidak enak, namun Sagara meyakinkan gadis itu untuk tidak mengkhawatirkannya.
Purba Ningrum mengangguk dan berjalan melangkah bersama Dewa meninggalkan Sagara seorang diri.
Saat keduanya tak terlihat lagi, Sagara segera mencari tempat sepi untuk bersembunyi. Dia menemukan pohon besar di dekat taman sekolah dam memutuskan bersembunyi di sana untuk sementara waktu, paling tidak sampai amarahnya mereda dan bulu-bulu yang bermunculan di kulitnya kembali menghilang.
"Sialan tuh, Dewa. Awas aja, aku akan balas pernyataanya, akan ku buat kamu benar-benar mengakui kepandaianku." Gerutu Sagara meluapkan rasa kesalnya.
Kini bulu-bulu lebat bewarna hitam malah makin bermunculan dan menutup sebagian wajahnya. Gara meraba wajahnya sendiri dan merasa kesal. "Aaaggrrhhh beneran sialan tuh Dewa, bikin aku emosi saja. Aku jadi berubah jelek lagi kan, dasar kunyuk!" Sagara tak hentinya mengumpat dengan suara lirih.
"Eh... coba liat, ada apaan tuh di balik pohon."
"Ada apa... ada apa?"
"Coba liat itu, ada sesuatu deh kayaknya di balik pohon."
Sagara segera mengatupkan rahangnya rapat-rapat dan memasang sikap waspada ketika mendengar beberapa siswa sedang membicarakannya.
Mati aku! Batinnya.
"Coba periksa sana, itu apaan?" Ucap salah seorang dari mereka.
"Lo aja coba yang cek, gue takut ah." Sahut temannya.
"Ah cemen Lo."
Seorang dari mereka kemudian memberanikan diri untuk mendekat ke arah pohon.
"BUUAAA!!"
"HUUUAAAAHHH... SE- SETAAANNN!!"
Teriak beberapa siswa pria tersebut sembari berlari tunggang langgang.
"Hahaha... Yach Cemen." Sagara tertawa terbahak-bahak karena telah berhasil menakuti mereka.
Bersambung