Resi Darma Warman tidaklah bodoh, sebagai resi tertua dan memiliki kesaktian tinggi, pastilah dia juga memiliki ilmu kebatinan yang sangat mendalam, sebab itu dia dapat merasakan jika ada sesuatu yang janggal di kerajaan kahyangan ini.
"... jadi kakanda curiga ada sesuatu yang mencurigakan tengah terjadi? Kenapa tidak coba membuktikannya, dan kenapa tetap mengutuk pangeran Sagara menjadi lutung dan mengirimnya ke bumi?" Tanya Trisna Warman tak habis pikir setelah mendengarkan penuturan dari kakak tertuanya.
"Aku yakin kakaknya Darma Warman memiliki pemikiran sendiri untuk masalah ini. Benar kan kakanda?" Mulya Warman memilih bersikap diplomatis. Karena dia yakin, akan sangat muda bagi kakaknya Darma Warman mengungkap apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa waktu itu pangeran Sagara bisa ada di dalam kamar Dewi Sekar?
Semua orang jadi menuduhnya yang tidak-tidak. Dan menyebabkan Pangeran Sagara menjadi orang yang tertuduh dan terpaksa harus menjalani kutukan dan terbuang di bumi.
Semua pasti ada sebab dan akibatnya. "Percayalah, apa yang aku lakukan ini, adalah bagian rencana dari sang Dewata untuk kehidupan pangeran Sagara yang lebih baik lagi ke depannya. Ini hanya sebagian ujian untuknya agar dirinya berubah dan bisa menjadi seorang raja besar kelak." Resi Darma Warman menjawab pertanyaan dari adik-adiknya dengan sangat bijaksana.
Setelah mendengar percakapan ketiga Resi. Parta buru-buru menemui sang kakak-Pandu Sona.
"Apa? Ternyata itu hanya akal-akalan ketiga resi itu saja? Jadi tidak akan terjadi apa-apa pada batu petuah dan kerajaan ini?"
"Benar, Kakanda."
"Lalu apa motif mereka mengelabui semua orang dengan cerita yang dia sampaikan kemarin di ruang rapat? Mengatakan jika Pangeran Sagara tidak bisa sembuh dari kutukannya, maka kerajaan kahyangan ini akan hancur?"
"Karena mereka tidak ingin musuh yang ingin mencelakai pangeran Sagara mengusik perjalanan Pangeran Sagara di bumi. Dengan mengatakan itu, otomatis para musuh pangeran Sagara tidak akan berniat membunuh pangeran Sagara, karena itu dapat mengakibatkan hal fatal bagi kerajaan kahyangan ini. Itu lah yang ku tangkap dari pembicaraan mereka kali ini."
"Apa mereka mencurigai kita sebagai orang yang menjadi musuh pangeran Sagara?" Tanya pandu Sona.
"Sepertinya begitu, kakanda. Tapi mereka tidak ingin terlalu terbuka."
"Hem... kalau begitu aku punya rencana."
"Apa kakanda?"
Pandu menyuruh Parta mendekat padanya dengan isyarat, kemudian dia mulai membisikkan pada adik satu ayahnya itu.
"Bagaimana menurutmu?" Ujar Pandu dengan senyum penuh arti.
"Tapi Kakanda, bagaimana caranya kita bisa pergi ke bumi? Mereka pasti akan curiga tanpa keberadaan kita di kahyangan." Sanggah Parta.
"Kau kan pandai membuat alasan dan siasat, kenapa kau tidak katakan saja kita pergi kemana untuk mencari apa begitu. Kenapa kau tidak memikirkan caranya?" Ucap pandu kesal.
Parta terdiam, wajahnya kini terlihat berpikir keras. Masalahnya dia harus memiliki alasan yang masuk akal agar para tetua di kerajaan ini tidak ada yang mencurigai mereka.
"Apa kau sudah menemukan ide?" Desak Pandu.
Parta menggeleng pelan. Dia tahu jawabannya ini pasti akan membuat sang kakak bertambah kesal.
"Kalau begitu pikirkan lagi, aku ingin menemui Sekar sekarang."
Pria itu memilih melenggang pergi meninggalkan Parta yang kini pusing sendiri.
"Dasar egois!" Umpat Parta saat sang kakak menghilang dari pandangannya.
***
Seorang gadis berlari-lari kecil tanpa memperhatikan langkahnya. Tanpa sengaja di menabrak dada bidang seseorang di hadapannya. "Maaf... maaf...." Ujar gadis itu gugup tanpa berani mendongakkan kepalanya menatap wajah cowok yang ada di hadapannya.
"Ningrum?"
Mendengar suara yang tak asing lagi di telinganya, barulah gadis itu memberanikan diri mendongakkan kepalanya. "Dewa?" Diam-diam Purba Ningrum menghela napas lega karena cowok yang di tabraknya adalah sahabatnya sendiri.
Bayangkan saja jika itu murid lain, pasti dia sudah di buly habis-habisana saat ini.
"Lain kali kamu hati-hati, ya. Coba kalau tadi bukan aku, nggak tau deh bakal gimana?" Ujar Dewa saat mereka sudah menjauh dari keramaian. Saat ini mereka berdua sudah ada di taman belakang yang agak jauh dari sekolah. Mereka menamainya bukit hijau. Itu tempat dimana mereka sering menghabiskan waktu bersama saat jam istirahat tiba.
"Maaf, tadi itu karena aku ingin buru-buru menemui kamu." Ujar Purba Ningrum dengan suara lirih.
Mendengar itu Dewa terkekeh kecil. "Loh... bukannya setiap hari kita ketemu, ya? Kenapa kamu ingin menemuiku buru-buru gitu? Sampai aku di tubruk gitu."
"Iya... maaf," Purba Ningrum ikut terkekeh. "Abisnya hari ini aku lagi seneng banget dan mau minta bantuan kamu."
Kedua alis Dewa saling bertaut bertanya, ekspresinya terlihat penasaran, "seneng? Seneng kenapa?" Karena dia jarang sekali melihat wajah Purba Ningrum yang sumringah seperti pagi ini. "Dan... kamu mau minta bantuan apa sama aku?" Sambungnya.
"Iya... aku seneng soalnya sepupuku mau ikut sekolah di sini. Tapi... dia nggak punya biaya, kamu bisa bantu nggak?"
"Kamu punya sepupu?" Dewa malah balik bertanya, karena selama ini dia tidak tahu kalau Purba Ningrum ternyata memiliki seorang sepupu. Karena biasanya Purba Ningrum selalu menceritakan apa saja tentang dirinya. Kecuali sepupunya ini.
"Iya... aku mungkin belum pernah cerita sama kamu. Soalnya kami baru saja ketemu. Dia kasihan, sama kayak aku, dia lagi hilang ingatan dan nggak tahu orang tuanya dimana." Jelas Purba Ningrum.
"Dia hilang ingatan? Terus gimana ceritanya kamu tahu kalau dia sepupu kamu?"
Mata Purba Ningrum sontak mendelik, dia jadi tampak salah tingkah. Benar juga apa yang di katakan Dewa. Darimana dia tahu jika Sagara sepupunya? Sedangkan Sagara saja hilang ingatan.
Bodohnya aku!
Umpat Purba Ningrum dalam hati pada dirinya sendiri.
Ayo... berpikir, berpikir!
"Aku tahu karena dia bawa foto keluarganya. Di dalam foto itu, ada papa mama ku dan kedua orang tuanya. Dan ada foto kami berdua juga saat kami kecil."
Dewa mengangguk-anggukan kepalanya paham. Sedangkan Purba Ningrum diam-diam menghela napas lega dalam hati. Untung saja pemikiran itu terlintas begitu saja dalam benaknya.
"Jadi kamu butuh bantuan aku untuk apa?"
Teeetttt....
Bel sekolah malah berbunyi, membuat Purba Ningrum tidak sempat menjawab pertanyaan Dewa.
"Sudah bel masuk, gimana kalau kita lanjut lagi di jam istirahat nanti?"
"Oke..."
Keduanya pun beranjak berdiri dari rerumputan yang tadi mereka duduki. Purba Ningrum mengibas-ngibaskan kotoran yang ada di roknya kau berjalan menyusul Dewa yang sudah melangkah lebih dulu.
Bersambung