"Kanda? Untuk apa kanda kemari?" Wajah Dewi Sekar tampak panik.
"Tentu saja untuk menemui kekasih ku ini." Pandu tersenyum penuh pesona. Namun raut wajah Sekar malah tidak suka saat di pandangi seperti itu.
"Seharusnya kanda tidak boleh kemari, kita tidak boleh sering-sering bertemu." Jawabnya dengan wajah menunduk.
"Kenapa? Apa ini karena Sagara?" Wajah Pandu berubah marah, rahangnya mengeras dan matanya melotot lebar.
Sudah sejak lama Pandu Sona curiga jika tunangannya itu menyimpan rasa pada sang adik. Oleh sebab itu, saat dirinya berencana menjebak Sagara. Sekar tampak senang dan tidak keberatan. Mungkin karena dia memiliki niat lain.
Dewi Sekar segera menggeleng kuat untuk menyanggah, "ini tidak ada hubungannya dengan pangeran Sagara. Aku hanya ingin melaksanakan peraturan yang ada di kerajaan kahyangan ini."
"Bohong!" Pandu terlanjur tak percaya, dia lebih percaya dengan kata hatinya sendiri. "Dimana-mana, seorang kekasih pasti akan senang jika kekasihnya mengunjunginya. Tapi kenapa kau tampak tidak suka padaku? Pasti semua ini karena Sagara kan? Kau menyukainya kan?"
Dewi Sekar yang terdesak memilih diam. Dia tidak ingin terpancing oleh kata-kata pandu Sona. Karena jujur saja, apa yang di katakan Pandu Sona, benar adanya. Ia menyimpan rasa pada Sagara sudah sejak lama. Tapi dia tidak menyangka dirinya malah di jodohkan dengan pandu Sona. Dan pria itu ternyata sangat peka dan mencurigainya.
"Aku tidak tahu apa yang kanda pikirkan, tapi ku rasa itu tidak benar." Dewi Sekar masih berusaha menutupi perasaannya yang sebenarnya.
"Hem... aku dan Parta berencana turun ke bumi dan berniat menghabisi Sagara..."
Mendengar itu, Dewi Sekar terperangah, tapi dia tidak mungkin bersuara mengatakan keberatannya, atau Pandu Sona akan semakin curiga padanya.
"Setelah Sagara lenyap, secara otomatis akan menjadi raja sungguhan di kerajaan ini. Dan kau akan menjadi permaisuri ku. Apa kau senang?" Pandu Sona sengaja mengatakan itu semua untuk mengetes kejujuran Dewi Sekar.
"Ten-tu saja aku senang yang mulia."
Pandu Sona melirik tajam ke arahnya menyelidik. Wanita itu terus menunduk sejak tadi, seolah sedang menghindari kontak mata dengannya.
"Baiklah, aku mempercayaimu." Ucap Pandu Sona akhirnya. Tapi dia akan terus mengawasi Dewi Sekar agar tidak mengatakan rencananya ini pada siapapun.
***
Begitu Purba Ningrum masuk kelas bersama Dewa, semua murid di kelas langsung menyingkir sembari menutup hidung mereka masing-masing. Seharusnya ini sudah menjadi pemandangan biasa selama beberapa bulan terakhir ini. Tapi entah kenapa perasaan Purba Ningrum tetap terasa sakit. Apa lagi jika ada yang terang-terangan mengejeknya.
Saat ini kebetulan dia sedang bersama Dewa, jadi mereka hanya diam. "Ayo masuk," Dewa langsung merangkul pundak Purba Ningrum dan menariknya masuk ke dalam kelas. Dia ingin menghilangkan rasa tidak percaya diri Purba Ningrum.
Purba Ningrum tersenyum. Setidaknya ada Dewa yang selalu bisa membuatnya bertahan di sekolah ini.
"Kamu nggak usah terlalu pikirin sikap mereka. Tenang... ada aku yang akan selalu jagain kamu. Jadi kamu fokus belajar aja, ya?" Ujar Dewa entah sudah yang ke berapa kali. Dia akan mengatakan hal itu saat Purba Ningrum terlihat down.
Purba Ningrum mengangguk seraya tersenyum. "Makasih, ya? Kamu temen yang baik. Aku nggak tahu deh, bakal bisa bertahan atau nggak kalau nggak ada kamu." Ucap Purba Ningrum jujur.
"Jangan ngomong gitu, kita kan emang udah temenan dari kelas satu. Lagian aku yakin, suatu hari nanti penyakit kamu itu bakalan sembuh, dan kamu bakal balik kayak dulu. Dan semua orang juga akan menyesal karena udah berlaku buruk sama kamu. Jadi... kamu yang sabar aja, ya?" Dewa menepuk pundak Purba Ningrum bermaksud menguatkan.
Justru, karena dirinya terkena penyakit aneh ini. Purba Ningrum bersyukur, dia jadi tahu mana yang sungguh-sungguh teman, dan mana yang bukan. Karena geng cewek-nya semenjak kelas satu, kini malah ikut-ikutan menjauhinya dan bahkan membuli-nya.
***
"Eh... itik buruk rupa!"
"Hahaha..."
Purba Ningrum ingin lanjut berjalan dan tak ingin menggubris tiga cewek yang tiba-tiba menghadang langkahnya.
"Eh... berhenti, Lo. Udah buruk rupa, bau busuk, sekarang pura-pura budek lagi." Ucap salah satu dari mereka yang tentu saja sangat melukai perasaan Purba Ningrum.
Ketiga cewek itu menariknya dan melemparnya ke dinding. "Iuh... tangan gue jadi kotor deh, jijik banget." Ejek cewek lainnya.
"Kalian mau apa sih? Kenapa ganggu aku? Emang aku salah apa sama kalian?" Purba Ningrum memberanikan membuka suara.
Padahal dulu ketiga cewek di hadapannya itu adalah teman satu geng-nya. Mereka selalu bersama-sama. Dan sekarang sikap mereka jauh berubah.
Karina, cewek rambut panjang dan ikal, dulu adalah teman sebangku Purba Ningrum. Dia cewek yang manis dan baik. Tapi sejak Purba Ningrum tertimpa penyakit aneh, Karina jadi menjauhinya dan menghasut kedua teman mereka yang lain, yaitu Luna dan Serly untuk ikut menjauhi Purba Ningrum.
"Lo masih nanya apa salah Lo?" Karina berkata dengan nada penuh penekanan. "Luna... kasih tahu apa kesalahannya!"
Luna gadis berambut pendek sebahu itu pun maju ke arah Purba Ningrum sembari menutup hidungnya, "huek... bau banget sih badan Lo!" ejeknya sembari berlagak ingin muntah. "Oke... kesalahan Lo adalah, Lo udah berani deketin pangeran sekolah ini, yaitu Dewa. Nggak tau diri banget sih Lo!" Ejek Luna lagi.
"Aku nggak pernah bermaksud deketin Dewa, Dewa sendiri yang mau temenan sama aku." Jawab Purba Ningrum.
"Alaahh... diem Lo, pake segala bilang Dewa yang deketin Lo, Lo mau pamer, kalo Dewa lebih care sama Lo daripada sama Karina, gitu?" Bentak Luna lagi tak terima.
Rupanya mereka iri melihat kedekatan Purba Ningrum dengan Dewa. Untuk itu mereka selalu membuly Purba Ningrum seperti sekarang ini. Mereka selalu mencari kesempatan untuk membuly Purba Ningrum saat gadis itu sendirian tanpa Dewa.
Kali ini Purba Ningrum kembali apes, dia baru saja dari toilet sekolah dan tiba-tiba dihadang oleh mantan teman-temannya ini. Dan keadaan koridor dekat toilet sangat sepi karena sekarang jam pelajaran masih berlangsung, dan semua murid ada di kelas masing-masing.
"Pokoknya, Lo harus jauhin Dewa kalau hidup Lo mau aman." Ancam Luna lagi.
"Nggak... aku nggak kan jauhin dia." Sahut Purba Ningrum memberanikan diri.
"Dasar nggak tau diri, masih berani dia ngelawan," Luna yang kesal hendak melayangkan satu pukulan di wajah Purba Ningrum. Namun di tahan oleh Sherly yang sejak tadi memilih diam saja.
"Udah... udah, kenapa kalian nggak bosen buly dia terus?"
"Kenapa? Lo mau belain dia?" Sentak Luna tak terima dan hendak melanjutkan aksinya.
"Bukan gitu, tapi coba kalian pikir deh, kalau Dewa sampe tahu kelakuan kalian masih kayak gini ke Ningrum, aku yakin Dewa malah makin benci sama kalian." Jelas Sherly berusaha menyadarkan teman-temannya. Dan sebenarnya karena Sherly kasihan pada purba Ningrum. Dia tidak tega melihat purba Ningrum yang di jadikan bahan Bulian dan bahan ejekan kedua temannya itu.
"Hem... omongan Lo masuk akal juga," ujar Karina yang kini menjadi ketua geng mereka.
Dan cewek berambut panjang ikal ini memiliki alasan sendiri kenapa dirinya begitu membenci Purba Ningrum. Selain karena Dewa, juga karena hal lain, yang membuat Karina sangat kecewa pada Purba Ningrum.
"Ningrum!"
Semua orang jadi menoleh ke asal suara. Seorang cowok berlari mendekati purba Ningrum yang sedang di kelilingi tiga cewek.
"Kamu di apain sama mereka?" Tanyanya saat dia sudah berada di dekat Purba Ningrum.
Ketiga cewek yang ada di hadapannya memandang cowok itu dengan tatapan aneh, pasalnya cowok tersebut memakai baju ala jaman dulu.
"Nggak kok... mereka nggak ngapa-ngapain aku." Jawab Purba Ningrum. "Kamu ngapain ngusulin aku kemari?"
Sagara menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal sembari cengengesan, "aku bosen di rumah, jadi nyusul kemari."
"Kok kamu tahu tempat sekolahku? Aku kan nggak pernah ajak kamu ke sini?"
Sagara gelagapan, tidak tahu harus menjawab apa. Pasalnya tadi dia bisa sampai kemari karena melacak Purba Ningrum dengan baunya, tiba-tiba saja dia bisa mengendus bau seseorang dari radius puluhan meter. "Em... tadi aku nanya sama Bi Lilis aja, hehe." Sagara beralasan.
Sambil bicara, mata Sagara sesekali melirik ketiga cewek yang belum beranjak dari hadapannya. "Mereka siapa?" Tanya Sagara.
Ketiga cewek di hadapannya itu menatap aneh padanya. Sagar curiga jika ketiga cewek tadi baru saja membuly Purba Ningrum.
"Mereka temen-temen aku, mereka baik kok." Ujar Purba Ningrum menutup-nutupi.
"Kalo mereka baik, kenapa muka mereka pada judes gitu?"
"Siapa yang judes?" Sergah Luna yang merasa tidak terima di bilang judes.
"Nah... tuh barusan, keliatan judesnya," sergah Sagara.
"Lo--" Luna ingin membuka suara lagi, tapi tiba-tiba di tahan oleh Karina dan Sherly. Mereka memberi isyarat jika ada seseorang datang lagi menghampiri mereka.
"Kamu di sini? Aku khawatir kamu lama banget ke toiletnya." Ujar Dewa yang kini sudah turut bergabung di tengah-tengah mereka.
Dewa kemudian menatap ke arah tiga cewek yang juga familiar di matanya. "Kalian ngapain ada di sini juga? Kalian nggak maksud mau buly Purba Ningrum lagi kan?" Suara Dewa terdengar penuh penekanan.
"Nggak kok. Mereka semua cuma lagi nanya kabar aku aja." Ningrum lagi-lagi berusaha menutupi perbuatan mantan teman-temannya itu.
"Iya... kita cuma kebetulan aja juga lagi abis dari toilet, dan ketemu Ningrum di sini." Jawab Sherly seraya tersenyum.
Dewa mengangguk-anggukan kepalanya. "Yaudah ... kalo gitu kita mau pamit dulu ke kelas." Lanjut Sherly sembari menarik lengan kedua temannya untuk pergi dari sana.
Kini tersisa Purba Ningrum, Dewa dan Sagara. "Ini siapa?" Ujar Dewa yang baru menyadari ada orang lain di sisi Purba Ningrum. Dia menatap pemuda itu dengan tatapan heran.
"Udah deh, nggak usah liatin aku kayak gitu." Ketus Sagara.
Sagara kesal dengan pemuda di hadapannya itu karena menatapnya dengan tatapan tak biasa.
"Oh... ini sepupu aku yang aku ceritain ke kamu tadi, yang pingin sekolah di sini juga." Jelas Purba Ningrum. "Sagara... kenalin, ini Dewa. Dewa, kenalin, ini Sagara." Purba Ningrum memperkenalkan mereka berdua dengan antusias.
Namun keduanya malah saling menatap dengan tatapan curiga.
Oh... ini yang namanya Dewa? Batin Sagara.
Oh... jadi ini sepupunya Purba Ningrum. Aneh banget pakaiannya. Batin Dewa.
"Kok kalian diem aja? Ayo jabat tangan." Seru Purba Ningrum yang membuat lamunan keduanya seketika buyar.
"Sagara..."
"Dewa..."
Bersambung.