"Kau dengar apa yang di katakan Eyang resi Darma tadi? Sagara masih ada kemungkinan terbebas dari kutukannya dan kembali lagi kemari. AAAARRGGHHH... sial!" Kesal Pandu Sona pada adiknya Parta Sona. "Susah payah aku menjebaknya agar dia mendapat hukuman ini. Tapi semua terasa sia-sia. Dan aku hanya bisa menggantikan sebagai putra mahkota sementara waktu saja."
"Kanda... tenanglah sedikit, dan pelankan suaramu, bagaimana nanti kalau ada yang dengar?" Parta Sona mencoba mengingatkan.
"Huh... aku tidak peduli!" Pandu Sona seolah tak bisa meredam emosinya.
"Kita masih bisa memikirkan cara lain agar Sagara tidak bisa kembali lagi kemari."
Pandu Sona seketika menoleh ke arah adiknya dengan alis bertaut, "bagaimana caranya? Apa kau tidak dengar tadi? Kata eyang Resi Darma tentang batu bertuah? Kerajaan ini akan terancam jika Sagara tak juga kembali kemari. Jadi percuma saja!"
"Kakak tenanglah, pasti semua ini ada jalan keluarnya." Sedangkan sang adik masih berusaha untuk bersikap optimis.
Lalu keduanya terdiam, sama-sama larut dalam pikirannya masing-masing.
"Ah... aku ada ide!" Pekik Parta dengan mata berbinar.
"Apa?"
Kemudian Parta mendekat pada sang kakak dan membisikkan sesuatu di telinganya. "Apa itu tidak berbahaya?" Wajah Pandu sedikit khawatir.
"Kakak masih ingin berambisi menjadi putra mahkota dan raja di kerajaan ini kan?" Parta malah balik bertanya seolah ingin menguatkan tekad sang kakak.
"Baiklah, aku akan ikuti rencanamu."
***
Suara-suara seperti binatang yang mengaung dan menggeram, masih sangat mengganggu Indra pendengaran Purba Ningrum. Membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Dan misteri menghilangnya Sagara secara tiba-tiba, masih menyisakan rasa penasaran di benaknya.
Purba Ningrum terpaksa bangun berjalan mengendap-endap keluar ruangan. Dia tidak ingin membangunkan Bi Lilis yang mungkin sudah tertidur pulas di kamarnya.
Setelah memastikan keadaan aman, Purba Ningrum melanjutkan langkahnya keluar rumah. Dia hendak mencari keberadaan Sagara, serta memeriksa suara berisik hewan buas dari arah kebun.
Berbekal senter kecil di tangannya, Purba Ningrum mulai menelisik keadaan kebun. Di edarkannya cahaya senter ke sekitar kebun yang gelap.
GRUSAK!
"Siapa? Siapa itu?" Purba Ningrum memberanikan diri untuk bertanya setelah mendengar suara langkah kaki yang bergesekan dengan daun kering.
Dia menajamkan kembali penglihatannya, menelisik setiap sudut kebun. Matanya tampak memicing ketika melihat ada ekor hewan menyembul dari balik pohon.
"Siapa di sana?" Ujar Purba Ningrum sembari melangkahkan kakinya ke arah pohon tersebut.
Keringat dingin mulai mengucur di sekujur tubuhnya, namun rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya, Dia tetap mendekat meski dia yakin ada sesuatu yang bersembunyi di balik batang pohon mangga besar di depannya itu.
Errrhhhgg....
Suara hembusan napas binatang buas kembali terdengar, membuat Purba Ningrum menghentikan langkahnya. Namun lampu senternya tetap menyorot ke arah objek yang sedang di tujunya.
"Ayo keluar... aku janji tidak akan berteriak, atau menyakitimu." Bujuk Purba Ningrum agar binatang aneh itu mau mendengarnya. Dia menawarkan sebuah pertemanan. Tak ia pedulikan lagi rasa takutnya.
Sekarang Purba Ningrum memiliki empati yang tinggi. Semenjak dia di buly di sekolah. Kini kepekaannya terhadap mahluk lain bertambah.
Purba Ningrum sengaja membuang rasa takutnya, karena dia merasa binatang yang sedang bersembunyi itu seolah butuh bantuannya.
Dia seolah dapat merasakan apa yang sedang binatang itu rasakan. Sendirian, kesepian. Sama seperti yang dia rasakan saat ini.
"Ayo... keluar, jangan takut. Aku janji nggak akan nyakitin kamu." Sekali lagi, Purba Ningrum berusaha meyakinkan.
Perlahan tapi pasti, binatang itupun mulai keluar dari balik pohon.
Pupil mata Purba Ningrum seketika melebar, terkejut, namun dia berusaha untuk tetap bisa mengendalikan diri. Dia tidak berteriak atau yang lainnya. Seolah sedang menepati janji. Gadis belia itu hanya menatap mahluk di hadapannya itu dengan tatapan terpana.
Mahluk berbulu hitam lebat, serta memiliki mata merah menyala itu juga menatapnya dengan tatapan yang sama.
Tadinya Sagara merasa sangat ingin mengamuk, namun setelah melihat gadis yang ada di hadapannya itu, tiba-tiba Angkara murka dalam dirinya mereda.
"Sagara?" Tebak Purba Ningrum setelah memperhatikan pakaian yang di kenakan mahluk aneh tersebut sama seperti yang di pakai oleh Sagara. "Kamu Sagara?" Tanya Purba Ningrum lagi ingin memastikan.
Mahluk itu terdiam tak menjawab, namun sorot matanya seolah memancarkan kesedihan.
Dari awal Purba Ningrum sudah curiga, pasti Sagara bukanlah orang sembarangan. Sebelumnya Purba Ningrum juga sudah sering mendengar kisah dongeng, tentang pangeran kahyangan yang menyamar menjadi seekor lutung demi mencari cinta sejatinya di bumi.
Kadang Purba Ningrum sering bertanya-tanya sendiri pada dirinya, mungkinkah kisah legenda yang sering dia dengar itu nyata? Sedangkan dirinya sendiri penggemar cerita bergenre fantasy. Untuk itu saat berhadapan dengan mahluk aneh yang ada di hadapannya saat ini. Dia tidak merasa takut sama sekali.
"Sagara... apa yang terjadi?" Ujar Purba Ningrum lagi tanpa menunjukkan raut ketakutan sedikitpun di wajahnya.
"Kamu nggak takut sama aku?" Akhirnya Sagara mau membuka suara, meski suaranya juga berubah berat.
Purba Ningrum menggeleng samar. "Tapi kamu sungguhan Sagara?" Purba Ningrum kembali bertanya untuk memastikan.
Mahluk aneh di hadapannya menganggukkan kepalanya pelan. "Apa kamu mengalami kutukan?"
"Darimana kamu tahu?" Sagara malah balik bertanya.
"Aku pernah mendengar cerita legenda tentang manusia yang di kutuk menjadi lutung. Legenda Lutung Kasarung." Jelas Purba Ningrum.
"Benarkah?" Sedangkan Sagara sendiri tidak tahu menahu soal itu. Mungkin gurunya pernah menceritakannya padanya. Tapi sepeti biasa, dia tidak pernah memperhatikan.
Yang Sagara tahu, rupanya saat ini mirip segerombolan iblis yang telah menjadi temannya selama dia tinggal di istana kahyangan.
"Apa kamu mau menceritakannya padaku? Dan bagaimana Lutung itu akhirnya bisa terlepas dari kutukan?"
"Ceritanya panjang. Bagaimana kalau kita masuk dulu dan aku akan menceritakannya di dalam."
"Tapi... bagaimana dengan Bi Lilis?" Wajah Sagara terlihat khawatir.
"Tenang saja, beliau sudah tidur."
Sagara pun akhirnya mengangguk setuju. Kemudian melangkah mendekat ke arah Purba Ningrum dengan melompat-lompat layaknya seekor lutung.
"Apa kamu sungguh datang dari kahyangan?" Purba Ningrum merasa penasaran.
Sedangkan Sagara sibuk menghirup makanan yang sudah di sediakan Purba Ningrum untuknya.
"Iya... aku adalah pangeran dari kahyangan."
"Lalu... kenapa kamu di kutuk jadi seekor lutung? Emang kamu ngelakuin kesalahan apa?"
Sagara berpindah duduk di dekat Purba Ningrum. Gadis itu tidak merasa canggung sama sekali.
"Ceritanya panjang."
"Aku siap kok dengerin." Kata Purba Ningrum antusias.
"Jadi... Malam itu, aku sedang bermain dengan teman-teman iblisku. Lalu aku mendengar suara teriakan seorang wanita minta tolong. Aku mengira wanita itu sedang ada dalam bahaya, jadi aku berusaha mencari asal suara. Sampai akhirnya aku sampai ke depan pintu sebuah kamar..."
"Suara teriakan semakin terdengar jelas dari dalam kamar tersebut. Tanpa pikir panjang aku segera mendobrak pintunya. Aku malah melihat bidadari yang sedang berganti pakaian. Dan di saat yang bersamaan. Orang-orang berdatangan dan mendapatiku sebagai orang yang bersalah."
"Aku sudah berusaha menjelaskan pada mereka, tapi tak ada satupun yang mempercayai ceritaku. Aku di tuduh ingin bertindak asusila pada bidadari tersebut yang tak lain adalah tunangan kakak pertamaku."
"Jadi mereka semua salah paham padamu?" Sela Purba Ningrum yang merasa prihatin mendengar kisah Sagara.
Bersambung