Chereads / Lutung Kasarung Mileneal / Chapter 4 - Batu Petuah

Chapter 4 - Batu Petuah

Rapat pertemuan keluarga pun di mulai tanpa kehadiran Sagara. Seorang resi berpakaian serba putih, serta seluruh rambutnya juga berubah putih, kini tampak berdiri di atas podium. Pria itu juga lah yang telah mengutuk Sagara menjadi seekor lutung dengan kekuatan dewa yang di milikinya.

Resi tersebut bernama Darma Warman, merupakan Resi tertua yang ada di kerajaan kahyangan dan memiliki kesaktian yang paling tinggi di antara tiga resi lainnya. Darma Warman juga merupakan guru dari Pandu Sona.

Kesaktian Darma Warman tidak bisa di ragukan lagi, dia adalah satu-satunya resi yang memiliki batu petuah, dimana batu tersebut bisa menghadirkan sebuah kutukan pada seseorang. Namun batu petuah tersebut hanya bisa di gunakan setiap seratus tahun sekali untuk menghadirkan sebuah kutukan.

Batu petuah yang di beri nama batu Guruminda tersebut merupakan peninggalan leluhur mereka yaitu Pangeran Guruminda yang pernah menjadi seekor lutung demi mencari cinta sejatinya di bumi karena menolak di jodohkan dengan seseorang bidadari.

Resi Darma Warma juga memiliki dua orang adik yang juga merupakan seorang resi, yaitu Resi Mulya Warman yaitu guru dari Parta Sona, Dan Resi Trisna Warman guru dari Sagara Guruminda Sona. Dan keduanya juga turut hadir dalam rapat kali ini.

"Di karenakan Pangeran Sagara tengah menjalani hukumannya di bumi. Maka penobatannya sebagai Putra mahkota untuk sementara waktu di tunda dalam kurun waktu yang tidak bisa di tentukan. Dan untuk sementara waktu gelar Putra Mahkota akan di alihkan pada pangeran pertama kerajaan kahyangan yang tak lain dan tak bukan adalah pangeran Pandu Sona." Resi Darma Warman memberikan keputusan rapat kali ini.

Wajah Pangeran Pandu Sona dan Ibundanya-Selir Imas terlihat sedikit tidak senang dengan keputusan Resi Darma Warman yang menyatakan Pangeran Pandu Sona hanya menggantikan Pangeran Sagara sebagai putra mahkota sementara waktu saja. Sedangkan mereka berdua mengincar kedudukan sebagai putra Mahkota yang sebenarnya.

"Apakah itu artinya, Ananda Sagara masih memiliki kesempatan untuk kembali ke kahyangan dan memimpin kerajaan ini?" Berbeda dengan Ratu Ambu yang matanya tampak berbinar dan seolah memiliki harapan.

"Tentu saja kanjeng Ratu. Jika Pangeran Guruminda Sona bisa sabar melewati masa hukumannya, dan dia bisa menjadi orang yang lebih baik lagi dari sebelumnya, ada kemungkinan kutukannya akan memudar. Selain itu, Pangeran Sagara Guruminda Sona adalah keturunan asli Pangeran Guruminda, sudah jelas dia yang berhak menjadi putra mahkota di kerajaan ini, dan kelak menjadi Raja menggantikan Raja Widura."

"Resi... tapi apakah ada kemungkinan juga Adinda Sagara tidak bisa kembali seperti semula? Maksudku... apa dia bisa saja menjadi Lutung selamanya?" Celetuk Parta Sona tiba-tiba. Hingga membuat wajah-wajah yang ada di ruang rapat menjadi tegang.

Resi Darma Warman terdiam sebentar, membuat para peserta rapat jadi makin penasaran. "Bagaimana ya, aku menjelaskannya. Ini sedikit rumit. Batu petuah yang ku miliki memang bisa menghadirkan kutukan, namun jika seseorang yang terkena kutukan belum juga sembuh dari kutukannya, maka batu petuah juga tidak bisa di gunakan selamanya. Dan ku rasa itu bisa sedikit mengganggu kestabilan kerajaan kahyangan. Aku tidak tahu apa yang di tuliskan oleh sahyang Widi untuk takdir Pangeran Sagara Guruminda. Tapi aku hanya sedikit tahu jika pangeran bungsu dari kerajaan ini harus melewati tahap ini."

"Jika kutukan pangeran Sagara tak juga memudar, akan kemungkinan akan terjadi banyak bencana di kerajaan kahyangan tercinta ini. Untuk itu hendaknya kita semua berharap dan mendo'akan pangeran Sagara Guruminda agar lulus dalam ujiannya."

"Ujian? Maksudnya?" Kini Pandu Sona turut angkat suara.

"Iya... Semua yang terkutuk, akan mengalami ujian, ujian kebaikan dan keburukan. Jika sang terkutuk mampu mengalahkan keburukan dalam dirinya, dan mampu melakukan kebaikan dengan tulus, maka kutukan itu lambat laun akan memudar."

Mendengar penuturan terakhir sang Resi, Pandu Sona dan sang adik-Parta Sona saling pandang, seolah sedang menyelami pikiran masing-masing.

Selain itu, wajah Ratu Ambu berubah khawatir mengenai nasib putranya, namun dia yakin, sang putra pasti akan mampu melewati masa ujiannya, karena dia yakin, putranya sebenarnya adalah seorang yang baik.

Ratu Ambu juga diam-diam menyuruh seseorang untuk menyelidiki skandal yang telah di tuduhkan pada putranya. Nalurinya mengatakan, jika sang putra tidak bersalah.

***

Matahari mulai tergelincir ke arah barat, membuat langit menampakkan semburat jingga kemerah-merahan yang indah. Namun Bi Lilis malah buru-buru menutup jendela dan pintu.

"Kenapa Pintu dan jendelanya di tutup, Bi?" Sagara yang duduk di atas ranjang bambu merasa penasaran.

"Hari menjelang malam, Den. Jadi jendela dan pintu harus di tutup, karena biasanya kalau tidak di tutup nanti para iblis akan masuk ke dalam rumah dan mengganggu manusia." Setidaknya itulah yang Bi Lilis dengar sejak turun temurun.

Sagara jadi teringat akan ilmu pengetahuan yang di ajarkan oleh Resi Trisna Warman-Gurunya. Saat perubahan dari siang menjelang malam, alam akan berubah menjadi spektrum cahaya berwarna merah.

Cahaya merupakan elektro magnetis (EM) yang memiliki spectrum warna yang berbeda satu sama lain. Setiap warna dalam spectrum memiliki energi, frekuensi dan panjang gelombang yang berbeda.

Dan saat senja tiba, terjadi perubahan spectrum warna alam selaras dengan frekuensi jin dan iblis, yakni spektrum warna merah.

Pada waktu ini, jin dan iblis amat bertenaga karena memiliki resonansi bersamaan dengan warna alam. Pada waktu senja, banyak interfernsi atau tumpang tindihnya dua atau lebih gelombang yang berfrekuensi sama sehingga penglihatan terkadang kurang tajam oleh adanya fatamorgana.

Gurunya juga pernah menjelaskan, pada waktu senja, iblis bersamaan dengan datangnya kegelapan mulai menyebar mencari tempat tinggal, karena mereka tersebar dengan pemandangan luar biasa dan banyak.

Sebagian iblis takut dari kejahatan iblis yang lain, sehigga iblis harus memiliki sesuatu yang dijadikannya sebagai tempat berlindung dan mencari tempat aman.

Maka ia bergerak dengan cepat melebihi kecepatan manusia dengan kecepatan berlipat lipat, beberapa dari mereka berlindung dalam wadah kosong, berlindung ke rumah kosong, dan beberapa dari mereka berlindung kepada sekelompok manusia yang sedang duduk duduk.

Mereka tentu tidak merasakannya, mereka ikut menimbrung supaya menjadi aman dari penindasan saudara sesama iblis yang juga berkeliaran seperti angin di bumi karena yang boleh hidup hanya yang kuat saja.

Kadang kala iblis mengganggu anak kecil manusia untuk dijadikan tempat berlindung. Selain itu iblis juga berlindung ditempat yang kotor seperti pada popok bayi yang sudah kotor. Mereka lebih memilih popok bayi karena najis sebagai tempat persembunyian, sehingga mendorong mereka untuk tinggal.

Pada waktu senja, sebaiknya manusia menjauh dari hewan, seperti kucing, burung, dan mengurangi kecepatan saat mengemudi mobil karena dikuatirkan menabrak anjing atau hewan lain yang bisa jadi telah dirasuki iblis, dan tidak boleh jalan jalan di tempat sepi atau duduk di tempat itu, atau melempar batu ke dalam kamar mandi, kebun dan laut.

Itulah pelajaran yang di dapat oleh Sang Resi gurunya. Sekarang dia mengerti kenapa Bi Lilis menutup pintu dan semua jendela. Meskipun wanita paruh baya itu tidak tahu pasti tentang penjelasan ilmiahnya. Wanita paruh baya itu hanya berusaha melaksanakan apa yang sudah leluhurnya lakukan secara turun temurun.

Di saat yang bersamaan. Sagara merasakan suhu badannya meningkat, dan dia juga merasakan gatal di sekujur tubuhnya.

Merasa ada yang tidak beres, Sagara diam-diam melompat keluar jendela menuju kebun belakang.

Ternyata firasatnya benar, perlahan bulu-bulu hitam lebat mulai tumbuh di kulit tubuhnya, tak terkecuali wajahnya. Semuanya di tumbuhi bulu hitam yang menyeramkan.

Seperti penjelasan di atas, energi negatif selaras dengan pergantian senja menjadi gelap. Kini Sagara benar-benar berubah menjadi seekor lutung. Sekarang dia mengerti, kutukannya bereaksi saat matahari terbenam, karena energi iblis akan merasukinya. Dan dia sebisa mungkin harus mengendalikan dirinya sendiri. Atau kalau tidak, dia tidak tahan untuk mengamuk dan membuat kerusakan.

"AAARRRGGGHH!!" Sagara mengaung manatap ke atas langit, dia merasa dirinya sangat marah dan ingin menghancurkan benda-benda yang ada di sekitarnya.

Purba Ningrum yang sejak tadi mengurung diri di dalam kamar, kini buru-buru keluar mencari Bi Lilis. "Bi... bibi dengar suara tadi nggak? Kayak ada suara binatang lagi menggeram," ujarnya sembari bergidik ngeri, tiba-tiba saja bulu kuduknya meremang.

"Tidak, non. Bibi tidak dengar apa-apa." Ujar Bi Lilis yang merasa kebingungan melihat tingkah nona majikannya yang seperti ketakutan.

"Tapi aku dengar sesuatu Bi, masa bibi nggak denger?"

Bibi Lilis menggeleng pasrah, karena dia memang tak mendengar apapun sekarang.

"Oh... iya, Sagara kemana, Bi?" Tatapan Purba Ningrum jatuh pada ranjang bambu yang kini tampak kosong.

"Loh... tadi Den Sagara ada di sini, bibi tinggal ke dapur sebentar kok ngilang?"

Bersambung