Chereads / Jodoh! Masa Gitu? / Chapter 31 - Bau-bau Asmara, ni!

Chapter 31 - Bau-bau Asmara, ni!

Senyum iblis Dipta tercetak dengan raut penuh kemenangan, "gimana masih mau manggil gue maling?"

Dipta maju satu langkah, menipis jarak antara dirinya dan Hening, kepalanya dia tundukkan sedikit, bibirnya tepat berada di dekat telinga Hening, "lo salah cari musuh."

Setelah itu Dipta menarik diri, memberi senyum termanis lalu mengusap kepala Hening dengan lembut. Dia lakukan ini bukan karena mau berdamai dengan Hening. Melainkan karena sedari tadi Dimas menatap kearahnya, memperhatikan apa yang dia dan Hening lakukan.

Tidak cuma Dimas, Nur dan Bayu yang baru tiba pun di buat terpukau dengan aksi Dipta. Bahkan Nur menutup mulut dengan kedua tangan sambil menahan napas.

Hening yang di gituin, Nur yang meleleh. Mau juga palanya di usap begitu sama mas jin.

"Bau-bau asmara ni." Celetuk Bayu. Mata Hening langsung terkesiap. Dia kaya orang kesurupan yang baru sadar setelah di ruqyah.

Bayu menaik turunkan alisnya, "benci jadi cinta?"

Bayu sempat melirik kearah Dimas, hatinya sangat puas karena melihat raut wajah pemuda itu yang berubah masam. Kaya gak terima Hening di perlakukan manis ama cowo lain.

Dipta pula orangnga, secara fisik dan materi lebih unggul dari siapapun. Udah pastilah Dimas merasa tersaingi, walau gak suka sama Hening tetap aja gak terima ada yang lebih dari dia.

Nur menyenggol bahu Hening dengab bahunya, "lagaknya benci, taunya kesemsem juga. Apa aku bilang, pesonanya sulit di hindari. Sekarang kita saingan secara sehat, siapapun yang di pilih mas jin harus terima."

Hening menatap malas temannya, "siapa yang terpesona? Dia itu setan, udah maling jambu malah ngancam yang punya jambu." Kesal Hening.

"Maling jambu?" Tanya Bayu.

Hening menoleh kearah Dipta yang sedang bejemur kaya bule. Telentang di pasir pinggir sungai dengan kacamata hitam. Dari rumah emang niatnya mau berjemur, biar kulitnya segeran dikit.

Tinggal di gubuk kecil yang lembab, kulitnya bisa jamuran kalo gak sering-sering di jemur. Ah ... kakeknya emang menyiksanya lahir dan batin.

"Jambu air aku di makannya, serangkai pula itu. Bukan dia gak tau kalo jambu air itu buah kesayangan aku, anak setan itu emang sengaja mau cari masalah. Demi alam semesta aku benci kali sama dia, saking bencinya sampe mau nangis kejer."

Dada Hening naik turun, matanya berkilat marah melihat Dipta yang tanpa dosa bejemur macam bule lagi liburan di pantai. Kaki kiri menumpang di kaki kanan.

Goyang-goyang pula tu. Nampak kali ngejeknya.

"Jangan kelewat benci nanti cinta." Celetuk Bayu yang di tanggapi Hening dengan dengusan kasar. Bayu terkekeh geli, "gak percaya? Buktikan sendiri. Silahkan benci sama dia sampe ubun-ubun, potong jariku kalo kamu gak jatuh cinta."

Hening melengos, gadis itu memilih naik kejembatab lalu salto. Suara jeburan air menandakan gadis itu sudah terjebur dalam air. Dan dia berenang dengan santai.

Nur menghele napas, "Hening gak kapok, baru aja kemarin hampir mati kelelep. Tapi, sekarang udah jebur aja."

"Emangnta Hening kenal kata kapok? Udah ah ... aku mau nyusul dia, badan udah lengket. Bau sama getah karet."

"Cuci ketek sampe bersih, jangan baunya kaya ketek abang-abang kuli."

Bayu mengangkat ketiak lalu menghirupnya, "kecutnya sedep. Mau coba gak?" Bayu menyapu tangan kanannya keketek kiri, melihat itu Nur langsung lari menjauh.

"NAJIS!" Teriaknya. Bayu emang jorok kali orangnya.

***

Hidup di desa itu sangat damai, suasananya membuat siapapun betah kecuali Dipta tentunya. Pemuda itu udah uring-uringan pengen pulang.

Rasanya udah gak sanggup tinggal di desa dengan fasilitas yang amat sangat terbatas. Dia kaya tinggal di jaman batu bersama orang-orang purba.

Dan dia gak sanggup lagi.

"Tolong hubungi kakek saya, bilang aja saya sakit parah dan harus di larikan kerumah sakit segera." Pinta Dipta pada Banyu, entah sudah yang keberapa kali.

Banyu tersenyum, "mana mungkin juragan percaya. Saya paling buruk dalam hal berbohong. Belum saya katakan kebohongan itu, juragan pasti tau. Yang rugi bukan saya tapi aden."

Dipta menyugar rambutnya frustasi, kalo cewe lain yang liat pasti udah klepek-klepek kaya ikan kurang air beda hal sama Hening yang mau muntah liat gaya si Dipta.

"Daripada aden mengajak saya kerjasama yang hasilnya sia-sia, lebih baik aden ikut Hening ke langgar. Lihat bagaimana anak-anak di desa ini bergaul, saya yakin aden bisa berbaur dengan baik. Dan perlahan akan betah tinggal disini. Tempat ini jauh lebih baik untuk aden sekarang, percayalah."

"Gak! Gak! Hening gak mau ngajak dia. Abah jangan ngada-ngada, kami gak pernah akur. Abah mau liat kami gelut di depan orang banyak! Dia ini anaknya gak tau diri, mau menang sendiri!" Sahut Hening tiba-tiba.

"Ning!" Tegur Susi. Dia melanjutkan, "ibu gak pernah ngajarin kamu bicara gak sopan begitu. Justru karena kalian gak pernah akur, abah meminta kalian pergi kelanggar bersama. Mana tau di langgar otak kalian waras, bisa saling memaafkan."

"Jangan panggil aku dengan nama itu, bu!" Muka Hening kesel kali. Dia paling gak suka di panggil seperti itu. Dipta yang mendengar itu tersenyum iblis.

Dia punya senjata lain buat nyerang si jenong.

Abah mendaamaikan, "sudah, jangan bertengkar. Kalau Hening ndak mau kelanggar bersama aden gak apa-apa. Abah yang akan bawa aden kesana, kebetulan abis Isya ada pengumuman tentang acara panen raya. Abah dan ibu juga harus hadir disana."

Hening mengangguk lalu beranjak dari tempatnta, namun langkahnya terhenti saat Dipta mengeluarkan suara dengan kalimat yang membuat Hening mau muntah darah.

"Bukan ide yang buruk. Saya pergi sama jenong saja."

Hening berbalik, "gak sudi!" Dipta mengedikkan bahu, "tunjukkan aja jalannya. Gue bisa pergi sendiri, kalo lo gak mau gampang kok, gue bakal ...."

Hening menggeram marah lalu berbalik pergi, Dipta mengikutinya dari belakang. Saat ini hatinya sangat kesal dan emosi tapi, gak mungkin dia lampiaskan dengan Banyu yang notabennya orangtua yang harus dia hormati.

Dan entah kenapa dia ingin menghormati Banyu padahal selama ini dia paling sulit menghormati orang lain. Dipta anak yang suka bertindak semaunya.

Banyu menghela napas melihat Dipta dan putrinya yang terus adu argumen. Kedua anak itu gak lelah sama sekali menabuh genderang perang.

"Menghadapi mereka bisa mati muda. Tapi, melihat mereka bertengkar kadang lucu juga. Apalagi aden bukan tipe pengalah, sama kaya Hening, walay ngenes agak terhibur juga," ucap Susi.

Banyu mengangguk, "kalau di lihat-lihat mereka cocok ya buk. Saling mengisi, semoga mereka bisa akur sampai waktunya aden pergi. Anak itu, butuh tempat dimana keberadaannya di akui."

Susi menatap suaminya, tanpa bertanya apapun dia tau kalau suaminya sedang menyembunyikan sesuatu yang besar tentang cucu juragannya itu.

"Dan menurut abah, tempat ini yang paling tepat untuknya?"

"Untuk sementara waktu iya. Kita harus menjaganya seperti kita menjaga Hening."

Susi mengangguk, "ya ... ibu gak pernah beda-bedain kok."

"Abah tau, ibu wanita yang luar biasa. Sekarang kita siap-siap pergi kelanggar."

**

"Gue punya penawaran buat lo ..., gue jamin lo bakal setuju."

Dipta memulai pembicaraan setelah beradu mulut dengan Hening sampe rahangnya pegel. Hening ini emang tipe cewe yang paling ngeselin.

Dipta yang notabennya orang paling gak punya sabar udah pasti ngerasa gregetan kali. Tapi, mau gimana? Dia harus tahan dengan sikap Hening.

Hening yang berjalan di depan Dipta bertanya dengan acuh, "tawaran apa? Kalo untungnya banyak di aku. Tapi, mana mungkin aku dapat untung. Masalag jambu aja aku rugi banyak."

"Masih bahas jambu?" Dipta gak percaya ada manusia perhitungan kaya Hening.