"Mas Dimas!" Jani Jana langsung berlari menedekati kakak lelaki mereka. Walau ngeselin tetap aja Dimas kakak mereka.
Dimas meringis sambil bangkit dan duduk, bagian bawah bibir kirinya pecah, darah segar keluar, "mas gak papa?" tanya Jani dengan raut wajah panik.
"Gak," jawabnya singkat sambil nyeka darah dan buang ludah. Gak ada yang berani nyamperin dia kecuali kedua adiknya dan Shalom. Johanes aja cuma bisa liat dengan pias, kalo di tanya di kasian gak sama Dimas maka jawabannya gak.
Menurutnya temannya itu sudah sangat kelewatan sama Hening, pekara lemparan gak sengaja aja bisa mempermalukan gadis itu kaya gitu.
Dimas menatap semua yang menyaksikan tindakkan tadi, "jangan ada yang berani mengadukan ini." Tentu aja ancamannya berlaku, mana ada yang berani ngelawan ucapan anak juragan Bimo.
Dimas menatap kedua adiknya, "pulang." Jana Jani mengangguk patuh.
Sebelum meninggalkan tempat itu, Bayu berkata, "gak nyangka kalo anak berpendidikkan tinggi kaya kamu berani main fisik sama perempuan. Salah Hening suka sama kamu sampe segitunya tapi, dia gak pernah berniat jahat sama orang."
Dimas menatap Bayu dengan rahang mengeras, terlihat tangannya mengepal. Dia bukan marah sama Bayu tapi, sama dirinya sendiri. Perlakuannya sama Hening memang sangat keterlaluan, menarik napas pelan akhirnya dia memutuskan untuk pergi.
Shalom bertanya dengan hati-hati, "kamuy akin gak mau adukan ini sama bapakmu? Yang salah bukan kamu atau Dipta, yang salah cewek itu. Dia harus …."
"Please … jangan menambah masalah. Sekarang lebuh baik kita pulang dan liat bekas lemparan di kepalamu, luka apa gak."
Akhirnya semua orang bubar dengan perasaan dongkol sama Dimas. Mereka semua setuju kalo Hening kelewatan dalam menunjukkan rasa suka tapi, gak pantas juga gadis itu di permalukan kaya gitu. Apalagi kata-kata yang Dimas ucapkan kasar banget, sebagai temannya Hening mereka jelas gak terima.
*
Sepanjang jalan pulang kerumahnya, Hening diam seribu bahasa. Bahkan dia gak nampik tangan Dipta yang megang tangannya, kesannya kaya kakak laki-laki lagi nuntun adiknya pulang sehabis bermain. Hening gak nangis tapi, dari raut wajahnya jelas dia terlihat sangat terluka.
Untuk pertama kali dalam hidupnya dia merasa malu. Bukan hanya malu untuk dirinya sendiri tapi juga untuk orangtuanya. Udah pasti dia menjadi bahan gosip besok.
Dipta berhenti, Hening menabrak punggung lebar pemuda itu, "kenapa berhenti?" tanyanya polos.
Dipta berbalik, sedikit menunduk untuk bisa melihat Hening. Wajah gadis itu tampak pucat, mendengus kasar Dipta berkata, "lain kali kalo di permalukan itu, permalukan balik! Sama gue lo garang sama dia kok kaya anak kucing? Suka boleh, idiot jangan. Kalo suka sama orang ngerugiin diri sendiri itu namanya bukan suka."
Hening menaikkan kepala, bertemu tatap dengan Dipta, "terus namanya apa? Yang aku tau namanya suka, gak perduli mas Dimas menolakku ribuan kali, sekali suka ya selamanya begitu."
"Bego!" Dipta berbalik pergi meninggalkan Hening sendiri. Sejenak gadis itu menatap punggung Dipta setelah itu dia mengejarnya. Sekiranya berada beberapa langkah dari Dipta, gadis itu berjalan pelan.
"Makasi," ucap Hening, membuat langkah Dipta terhenti. Pemuda itu berbalik sambil menaikkan alisnya, "makasi karena gue udah nonjok dia atau karena gue bawa lo pergi dari tempat itu?"
"Karena kamu membalas rasa maluku. Walau aku gak membenarkan pukulanmu, besok wajah tampannya pasti membiru." Menarik napas lalu membuangnya pelan, Hening melanjutkan, "ada cewek itu yang bakal ngobatin lukanya."
"Kalo lo masih mikirin kondisi dia, mending gak usah bilang makasi ke gue. Apa hebatnya dia sampe lo segitu idiotnya?"
Hening mengedikkan bahu, "gak tau. Pokoknya di mataku hebat aja."
Dipta enggan mendengar lebih jauh, pemuda itu langsung berbalik pergi. Sebelum masuk kamar dia mencuci muka tangan dan kaki. Sedangkan Hening memilih duduk di bawah saung.
Dipta melihatnya dari depan pintu, cukup lama pemuda itu berdiri disana, menikmati angin malam dengan pikiran yang berkelana jauh. Dia beranjak dari tempatnya begitu melihat Hening turun dari saung.
Di dalam kamar, Dipta dapat mendengar isak tangis Hening yang perlahan hilang dan menjadi senyap. Setelah mendengar isak tangis Hening seperti orang bodoh, baru dia memutuskan untuk tidur. Entah jam berapa abah dan ibu pulang, mereka gak tau.
*
Sementara itu didalam kamarnya, Dimas sedang mengompres lukanya dengan air dingin. Dia gak ngizinin Shalom membantunya. Dalam kesunyian dia kembali mengingat apa yang dia lakukan pada Hening tadi.
Seketika rasa bersalah bergelayut di hatinya.
Dia gak pernah di ajarin untuk berbuat kasar sama perempuan tapi, entah kenapa dia gak bisa ngontrol diri sama Hening. Setiap melihat gadis itu, emosi selalu berhasil menguasai dirinya, dan itu terjadi sejak mereka masih kecil.
Hening selalu menyapanya dengan senyum menyebalkan, penolakkan apapun yang dia berikan gak mempan sama gadis itu. Bertahun-tahun di kejar gadis itu membuatnya semakin benci tapi, gak pernah sekalipun dia main fisik sama ngucapin kata-kata kasar.
Paling yang dia lakukan menatap tajam gadis itu atau kalo gak mengabaikannya. Tapi, beberapa hari ini di lepas kendali setelah puluhan tahun. Sungguh luar biasa kekanakkan dirinya.
Yang menyaksikan dirinya mempermalukan Hening bukan hanya anak desanya aja tapi, anak desa tetangga juga. Dapat di bayangkan gimana malunya Hening.
**
"HENING!!" Susi berteriak sambil menggedor pintu kamar anak gadisnya itu. Sejak subuh gadis itu belum keluar kamar. Sholat subuh terlewat begitu saja.
Susi menempelkan telinganya di pintu kamar Hening, "ibu ngapain?" tanya Banyu tiba-tiba.
"Abah bikin kaget saja." Kesal Susi yang di tanggapi Banyu dengan tertawa kecil.
"Ibu ngapain?" tanya Banyu sekali lagi.
Susi berdecak, "anak gadismu belum bangun juga. Udah jam berapa ini, apa gak sekolah dia? Coba abah yang panggil."
Banyu mengernyitkan alis, "loh, ibu gak tau kalau Hening pergi lebih awal? Piket katanya."
"Apa? Kapan? Kok gak pamit? Kebiasaan!" Susi mengingat-ngingat ini hari apa. Dan bener aja, ini hari piket anak gadisnya itu. Hening selalu pergi awal kalo piket, saking rajinnya ya begitu.
"Ibu buatin bekal Hening, nanti abah anta rya? Uang jajan mana sanggup ganjel lambung itu anak." Banyu terkekeh sambil mengangguk.
Dipta keluar dari kamar dengan mengalungkan handuk di leher, "mau kesungai?" tanya Banyu. Dipta hanya mengangguk kecil setelah itu berlalu. Kalo ingat kejadian semalam, dia lagi mode marah sama pria paruh baya itu.
"Setelah mandi, mari kita bicara sembari pergi ke kebun." Dipta gak jawab.
Susi yang melihat itu hanya bisa mendesah pelan, "udah tau dia anaknya begitu. Abah pake acara nyuruh dia ngomong di mimbar semalam. Tau gak? Dia jadi bahan gosip ibu-ibu, mereka penasaran sama orangtuanya, pasti sangat cantik dan tampan. Mereka nanya ke ibu, ibu jawab lah kalo ibu gak tau, gak pernah jumpa. Mereka gak percaya."
"Dia harus belajar menjaga apa yang seharusnya menjadi miliknya. Juragan menitipnya dengan kesungguhan hati. Abah harus melaksanakannya dengan kesungguhan hati pula."