Segalau-galaunya Hening, gak mungkin dia nangis darah akibat bentakkan Dimas yang mempermalukan dirinya. Buktinya sekarang dia udah gibah sama kawan sekelasnya di bawah pohon taman sekolah sambil makan baksp stik sama telur gulung.
Jajanan kesukaan Hening.
"Masa?" tanya Hening sedikit semangat.
Kawannya ngangguk, "iya, ibuku bilang bu Laila gak suka sama gadis kota itu. Bawaannya mau nempel aja kaya prangko, gak ada malu."
"Mungkin di kota udah biasa begitu, kan pergaulan kita beda. Gak bisa juga kita nilai dia buruk, belum tentu kita lebih baik dari dia kalo tinggal di kota," ucap Hening. Dia senang saat tau ibunya Dimas gak terlalu suka sama Shalom tapi, gak setuju alasannya karena gadis itu gak tau tata krama atau apalah namanya.
Abahnya selalu bilang kalo anak kota sama anak desa didikkannya beda. Anak kota lebih terbuka dalam menyampaikan apa yang di pikirkan sama yang di lakukan, bukan berarti mereka kaya gitu karena gak didik.
Kecuali anak setan itu, bukan cuma terbuka tapi kelewat bablas. Kalo ngomong gak di saring, segala sampah di keluarin. Cuma Dipta anak kota yang nista di mata Hening.
Tapi, Hening gak lupa sama kebaikkan pemuda itu. Kalo gak ada Dipta tadi malam, entah kaya mana Hening bisa nahan malunya. Dimas kelewatan tapi, entah kenapa Hening gak gitu sakit hati, sedihnya ilang gitu aja padahal nyes kali.
"Gak usah kelewat positif jadi orang, anak itu mang gak ada tata krama. Masa iya berani gandeng tangan cowok duluan? Di depan keluarganya lagi! terbuka sih terbuka tapi, gak gitu juga." Timpal Nur. Dari awal dia emang gak suka sama Shalom, jadi mau kaya manapun gadis itu gak ada bagusnya dimata dia.
Hening membalas malas, "bukannya sok positif. Kita kan gak tau gimana pergaulan orang kota, mungkin aja sentuhan fisik kaya gitu normal. Bukan sesuatu yang tabu, kita gak bisa nyamain tata cara hidup kita dengan orang lain. Gadis kota gak biasa berkebun, cuci baju di sungai dan membantu orangtua disawah tapi, bagi kita? Itu hal biasa, dari situ aja udah beda dan harusnya kitab isa pahami juga yang lainnya."
"Tumben waras! Dan tumben gak merana, semua orang tau apa yang terjadi semalam dan aku yakin bentar lagi sampe ke kuping ibu sam abah." Nur menatap heran teman dari lahirnya ini, santai kalia setelah di permalukan sama Dimas kaya gitu.
Hening tersenyum cantik, "kalo aku merana banyak yang sedih, belum lagi kau dan Bayu bakal ngedumel sepanjang hari sambil ngatain aku bodoh lah, idiot lah, gila lah … dan lain sebagainya. Jadi, aku putusin buat masa bodoh, sedih bakal berlalu dengan sendirinya. Aseeekkkkkk!"
Ati menatap Hening sambil ngunyah somay, "udahlah, neyrah aja! anak juragan itu gak punya hati, perbuatannya udah kelewat batas. Mana boleh kaya gitu sama perempuan, sok ganteng! Lama-lama muak juga liatnya."
Sebelum Hening membalas ucapannya, Atik melanjutkan, "emang betul kau itu buat naik darah kalo udah jumpa dia. Jangankan dia, kami yang ngeliat aja muak tapi, semuak-muaknya dia mana boleh gitu. Yang iya mau keliatan kaya pahlawan di depan kekasihnya yang sok cantik itu."
"Dia memang cantik." Timpal Ratmi. Si lugu yang selalu beda pendapat dengan mereka.
Hening menyeruput minuman perasa yang segernya buat tenggorokkan sariawan tapi, gak bisa berhenti munumnya, enak tenan kalo kata Bayu.
"Tapi, aku gak bisa nyerah sekarang. Dimata aku dia masih yang terbaik, terlepas apa yang dia lakukan tadi malam. Aku sama sekali gak perduli, sedihnya udah ilang."
Nur mengabaikan kalimat itu, dia berkata dengan serius, "mas Jin kayanya marah besar sama Dimas." Dia menghela napas lalu melanjutkan, "oh … aku gak bisa lagi manggilnya mas atau akang. Rasa hormatku lenyap."
Hening mengedikkan bahunya, "bukan cuma sama mas Dim, dia selalu marah sama semua orang. Jiwanya terganggu kayanya. Sama orang gak bisa bersikap lembut, apalagi sama aku, mustahil bisa bagus."
"Seenggaknya dia gak kasar sama perempuan." Timpal Nur yang gak senang Dipta di nistain.
"Bilangin aku kalo suka gak pake otak lah … kau? Lebih gak ada otak, anak setan itu buruknya melebihi anak setan. Kalian gak tau karena gak serumah, coba serumah! Yakin aku, bakal ngumpatin dia lebih dari aku!"
"Masa?" tanya Nur dengan senyum jahilnya.
**
Hening pulang sendiri siang ini, kedua temannya punya urusan di kantor desa. Bayu sama Nur panitia acara jadi, banyak hal yang harus di lakukan sepulang sekolah. Kalo dia gak di kasi jadi panitia karena akan menjadi peserta lomba.
Kedua temannya gak bisa ikut karena dia ikut, kalo mereka bertiga gabung udah pasti keluar jadi pemenang. Para peserta protes karena mereka-mereka aja yang menang jadi, taun ini Bayu dan Nur gak di libation sebagai peserta.
Hening gak menemukan siapapun di kebunnya, tumben. Harusnya ibu udah nyiapin makan siang sambil menunggunya. Tapi, sekarang terlihat sangat sepi.
Tanpa berpikir panjang dia langsung pulang, perutnya udah lapar. Bekal yang di antar abahnya dirampas Bayu. Pemuda itu gak sarapan dan lupa bawa uang jajan, sebagai teman yang baik, Hening Cuma bisa menghela napas.
"JANGAN MEMBANTAH DIPTA!" Teriakkan seseorang membuat Hening memelankan langkahnya. Dengan sangat perlahan dia mendekati pintu rumahnya untuk mendengar apa yang sedang terjadi di dalam rumah.
Terdengar dengusan kasar Dipta, "aku bukan boneka yang bisa kalian kendalikan." Pemuda itu menatap kakek yang baru saja membentaknya, "kenapa gak dia aja yang kakek jadikan pion? Gak tega karena dia cucu tersayang? Ah … pewaris semua kekayaan kakek kecuali desa kumuh ini."
Tuan Bramantyo menggeram namun belum sempat dia bicara, Dipta langsung melanjutkan ucapannya, "apa karena dia lahir dari anak kesayangan kakek sementara aku lahir dari anak yang kakek benci? Kalo iya itu gak adil. Harusnya yang kakek benci itu mereka bukan aku. Kalo emang benci sama aku, lepasin aku! Biar aku hidup sendiri, hidup atau mati aku gak usah di perdulikan."
"Dipta!" tegur sebuah suara berat tapi terdengar amat lembut. Suaranya asing, Hening gak pernah dengar.
Gadis itu semakin penasaran, kupingnya semakin dekat di dinding rumah.
Dipta menatap tajam pria yang duduk di depannya dengan tatapan marah, "gue muak banget, sumpah! Nyesel gue pernah nganggep lo saudara."
Pria berusia tiga puluhan itu menatap tajam Dipta, "sederhana, kalau kamu mau terima perjodohan yang kakek ajukan. Dengan begitu, kau memiliki kesempatan untuk mendapatkan apa yang kau inginkan selama ini."
"Memangnya lo tau apa yang gue inginkan?"
Dipta tersenyum iblis lalu melanjutkan, "lo udah ngambil semuanya."
Dipta menatap kakeknya dengan intens, "kali ini apalagi niat kakek?"
"Terima gadis yang akan ku jodohkan padamu, dan kau bebas melakukan apapun termasuk kuliah di Oxford."
Tuan Bramantyo melanjutkan, "tapi kalau kau menolak, selamanya kau akan jadi pecundang."
"Siapa?" tanyanya. Setidaknya dia bisa memanfaatkan gadis itu untuk mencapai tujuannya.
"Hening."
"APA!!!" Teriak Dipta dan Hening berbarengan.
Pria asing itu menoleh dan terpaku saat melihat Hening.