"Ya masih lah ... jambu itu kesayangan aku. Yang boleh makan cuma orang-orang terpilih. Bukan manusia berakal iblis!" Kalo ingat perbuatan Dipta, Hening bawaannya emosi aja.
"Lo ngatain gue? Mulut lo di filter dikit kalo gak mau gue katain balik. Pekara jambu bisa jadi lampir, bukannya enak kali rasanya. Jadi orang jangan kelewat kikir, matinya bisa kena azab! Walau ilmu agama gue cetek tapi, gue tau dosa. Lagian gue gak bisa di bilang nyuri, sebab bokap lo tau gue manjat tu pohon."
Hening mendengus kesal, "tetap aja nyuri, ngambil kok gak izin yang punya." Alis Hening mengkerut, "apa tadi? Bokap? Siapa itu? Ku gak punya anggota keluarga namanya bokap."
Dipta memutar jengah bola matanya, "bokap sama dengan ayah. Primitif banget lo." Hening melotot setelah itu berkacak pinggang, mirip emak-emak lagi marahin anaknya.
"Abah mana mungkin ngelarang, harusnya kau tau diri. Kan tau kalo jambu itu milik aku, bukan punya abah."
"Mana gue tau, pohon itu tumbuh di tanahnya itu artinya punya dia!" Dipta teringat sesuatu, "tanah bokap lo kan tanah kakek gue! Artinya pohon jambu laknat lo itu hidup di tanah gue."
Hening kelagapan sementara Dipta tersenyum puas, "kalo lo gak mau gue makan tu jambu. Lo pindahin ke tanah milik lo sendiri."
Hening menggeleng cepat, "gak semua tanah abah milik kakekmu ya! Dia punya tanah sendiri hasil jerih payahnya kerja banting tulang!"
Dipta mengibaskan tangan, "gak percaya gue. Yang jelas kebun itu milik kakek gue yang di rawat sama bokap lo! Artinya, tu tanah milik gue, dan apapun yang tumbuh disitu, ada hak gue!"
"Gak ...."
"Gak usah bahas jambu laknat itu lagi atau ...." Dipta memasang wajah iblis yang buat Hening kesal setengah mati, "besok lo bakal liat pohon itu tumbang!" Lanjut Dipta tanpa perasaan.
Mata Hening melotot, "awas kalo berani ngelukainya sedikit aja. Aku bakal gentayangan, gangguin kamu selamanya!" Kesal Hening setengah teria.
Untung mereka masih di jalan lintas yang sepi, jadi gak ada yang denger.
"Maka itu lo haris nurut sama gue! Gue jamin lo dan pohon laknat itu bakal aman." Hening gak jawab, dia berbalik pergi melanjutkab langkahnya.
"Yakinin abah lo buat mulangin gue. Demi Tuhan, gue gak bisa tinggal lebih lama di tempat ini, hidup gue terbatas banget." Hening gak bereaksi.
Ini anak dengar apa gak?
"Ee ... Pening!" Hening menggeram marah. Namanya dirumah seenak jidat pemuda itu.
"Pura-pura tuli sekarang? Gak masalah juga sih, lo gak bantuin gue juga bisa pergi dari sini." Dipta mempertahankan harga dirinya. Masalahnya dia gak bisa pergi karena gak punya uang sepeserpun untuk balik ke kota. Kalo luntang lantung di jalan gimana? Kaya gembel dong.
Mana perjalanan jauh
"Ya bagus ... datang sendiri pergi juga harus sendiri. Ngapain cari sekutu, kalo aku minta sama abah sama aja aku gak suka sama keputusannya dia nerima kamu. Dan itu buat aku merasa bersalah, walau kenyataannya aku mang gak suka kamu tinggal dirumahku. Ngabisin beras! Parahnya, gak ada manfaatnya kamu tinggal dirumahku."
Mak jleb kali ucapan si Hening.
Tapi apa Dipta sakit hati? Jawabannya gak ... pemuda itu gak perduli dengan umpatan Hening. Hatinya udah kebal.
"Gak masalah juga buat gue ... tapi lo bakal liat, pohon jambu lo jadi almarhumah." Setelah itu Dipta berjalan dengan cepat melewati Hening yang menghentikan langkah karena ucapannya.
Hening mengejar Dipta, dia terus mengomel dari sabang sampai marauke tapi, Dipta acuh hingga mereka tiba di langgar, semua warga udah berkumpul termasuk Dimas dan teman-temannya yang datang dari kota.
Kedatangan Hening tentu aja jadi pusat perhatian. Tapi, perhatiab itu bukab tertuju padanya melainkan pada Dipta. Semua mata tertuju padanya, sumpah dia ganteng maksimal, gak ada obat.
Gayanya juga kece parah, apa aja yang di pakeknya jadi keren aja gitu. Bahkan Bayu mengikuti gayanya dengan memasukkan tangannya kesaku sambil jalan mondar mandir dengan santai.
Bukannya keren malah jadi kaya anak oon.
Heninf yang sadar Dipta jadi pusat perhatian langsung melipir ketempat Nur. Males deket-deket Dipta nanti di kira mereka ada hubungan spesial.
Tapi, belum juga dia melangkah jauh, rambutnya langsung di tarik sama Dipta. Hening terpekik kaget sambil megangin rambutnya, pemandangan itu membuat sebagian orang tertawa.
"Lo gak ingat apa kata abah lo? Temenin gue! Berani lo kabur, gue umumin pake toa semua aib lo!" Ancam Dipta gak main-main. Bukannya dia mau dekat sama Hening terus, masalahnya dia risih di tatap sama warga kampung.
Tatapannya lebih ke horor gitu.
Hening menghempas tangan Dipta yang masih megang rambutnya, "ngancam aja terossss! Bisa gak sekali aja hidup aku damai? Sejak ada kau, napas tenang sekalipun gak bisa."
Dipta mengedikkan bahu, "gue juga. Makanya terima tawaran gue, jamin hidup kita damai sentosa." Dipta berbisik, "lo bisa fokus do'a supaya di jodohkan sama si jelek itu. Selera lo rendah banget, njirr!"
Hening menoleh, menatap Dipta dengan kilat penuh marah, "yang jelas dia lebih gantenf dari kau!"
"Lo buat gue mau ngakak sambil ngeludah mukanya." Mendengar itu Hening menginjak kaki Dipta dengan kuat.
"Ludah muka sendiri!" Kesalnya tanpa suara setelah itu Hening bergabung dengan teman-temannya. Dipat yang masih syok di katain begitu gak sempat narik tangan Hening.
"Saingan bertambah," ucap Jani lesu. Jana mengangguk dengan bibir cemberut. Keduanya melihat bagaimana Dipta dan Hening berinteraksi, sangat manis menurut mereka.
Padahal gak tau aja kalo mereka saling ngatain dan nyumpahin. Dipta yang gak tau harus ngapain milih berdiri di sudut langgar, seenggaknya orang di tempat ini gak serame di tempat lain.
Matanya berkilat marah kearah Hening yang sedang cengengesan sama temennya. Dasar anak kampret! Udah buat cedera orang bukannya merasa bersalah malah ketawa-ketiwi.
"Tumben gak deketin mas Dimas?" Ejek Nur pada akhirnya. Sedari tadi dia menunggu aksi gak tau malu sahabatnya yang satu ini. Biasanya Hening bakal kaya ulat keket gitu liat Dimas.
Tapi, sejak dari kejadian di sungai kemarin itu gak pernah lagi. Kalo di bilang Hening nyerah gak mungkin, karena sahabatnya ini masih bercita-cita jadi istrinua Dimas sampe detik ini.
Hening mendesah pelan, "lagi males. Mas Dimas juga udah punya kekasih, nanti gara-gara aku mereka bertengkar lagi. Untuk sementara aku putusin buat cinta dalam diam."
Kan! Kan! Apa yang Nur pikirkan itu benar. Gak mungkin seorang Hening nyerah pada Dimas. Kalo iya, kiamat pasti udah dekat.
Bayu mendesah kesal, "berobat tempat orang pintar gih! Mungkin kamu di pelet sama si Dimas. Gitu amat cintanya, butanya sampe kemata kaki."
Nur menambahkan, "orang pintar manapun gak akan sanggup ngobatin Hening, peletnya udah sampe ke tulang."
Jana dan Jani tertawa lepas sampe orang ngeliat kearah mereka termasuk Dipta yang natap Hening dengan sangat amat horor.
"Kak, liat ... mas ganteng itu liatin kakak terus." Hening menoleh, bertemu tatap dengan Dipta. Smirk iblis pemuda itu muncul, dan itu jadi alarm berbahaya untuk Hening.
Hening cuma bisa mendesah pelan, "bentar ya."
Hening berjalan menuju tempat pemuda itu, berdiri tepat disampingnya.
"Bisa gak usah ngancem-ngancem orang? Sebagai sesama manusia harusnya kau itu menutup aib manusia lain."
Alis Dipta naik sebelah, "kalo lagi terdesak mendadak jadi ustadzah lo? Gak ingat, kalo lo suka dzolimin orang! Gak usah ceramah, gue lagi males dengerin tausyiah. Tetap di dekat gue atau malam ini jadi malam terburuk lo."
Hening mau bantah tapi, terdengar suara pembawa acara dari dalam langgar. Akhirnya dia memilih tetap berdiri di samping Dipta, dan itu menjadi pusat perhatian semua orang terutama para muda mudi.
Mereka cukup takjub malam ini untuk pertama kalinya Hening gak caper sama Dimas.
Apakah Hening berubah haluan? Entahlah ....