Pemandangan tak biasa malam ini terlihat jelas, Hening duduk diam tanpa bergeming tepat di sebelah Dipta. Gak ada yang tau dalam hati dia terus mengumpati pemuda tampan itu, sementara Dipta duduk selo macam gak ada beban setelah ngancem anak orang.
"Kak Hening manut kali ya? Gak biasanya dia jinak gitu, apalagi kalo ada mas Dimas." Bisik Jani pada Jana yang dapat di dengar Nur, Indah dan Bayu. Mereka duduk berdekatan, kaya satu geng gitu, gak jauh dari mereka Dimas cs duduk, mereka juga merhatiin Hening yang duduk kalem di samping Dipta, kaya bapak sama ibu wali kota.
Hening beberapa kali menepuk pipinya karena nyamuk hinggap, sesekali dia melihat kearah bestienya dengan tatapan nanar. Harusnya dia duduk bareng teman sejawat tapi, karena anak setan satu ini dia harus misah dan duduk dekat bapak-bapak yang dengerin kata sambutan dari pak kades dengan sangat hikmat.
Hening yang gak suka denger beginian jadi ngantuk, begitupun dengan Dipta. Tapi, untung ada Hening, dia gak ngantuk sendirian.
Jana mengangguk, "hooh, nampak kali takutnya sama mas ganteng itu. Apa mungkin mas ganteng itu megang rahasia kak Hening? Makanya kak Hening kalem gitu."
Nur menimpali, "walau dunia ini tau rahasianya, Hening gak akan menunduk takut. Yang iya, abah memintanya nemenin mas Jin. Secara mas Jin gak kenal siapapun selain Hening. Jadi, mau gak mau Hening nemenin mas Jin. Padahal, kalo aku diminta buat nemenin, dengan senang hati adek Nur menemani."
"Kami pun mau." Sahut Jani dan Jana serempak.
"Pesta panen yang sudah di depan mata akan di adakan secara meriah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aka nada perlombaan yang akan mempererat tali silahturahmi antar desa. Dan untuk perlombaan saya minta cucunya juragan Bramantyo yang menentukan, sekalian memperkenalkan diri."
Dipta tersentak begitupun Hening yang matanya tinggal satu wat, kepalanya terantuk lengan Dipta, sakitnya gak tau bilang. Matanya langsung terjaga, menatap horor Dipta yang tiba-tiba bergerak.
Dipta mendengus, "jangan salahin gue. Tu kades tiba-tiba nyinggung gue." Bapak-bapak yang ada di sekitar mereka hanya tersenyum maklum.
Hening mendumal tanpa suara sambil mengelus kepalanya. Tadinya dia hampir tertidur, ngantuk datang gitu aja gara-gara dengerin pak kades bermukadimah. Coba bareng temennya, pasti matanya masih seger sebab dia yang bermukadimah dengan mereka, gibah tipis-tipis dengan suara yang amat sangat pelan.
Semua mata kini tertuju pada Dipta, sumpah pemuda itu merasa kaya lagi uji nyali. Dia mencari keberadaan Banyu, dan saat bertemu tatap dengannya, pria paruh baya itu mengangguk sambil tersenyum, seolah mengatakan kalo ini memang sudah seharusnya terjadi.
Dipta menolak bahu Hening pelan, "lo aja yang ngomong. Gue males."
Hening balas menolak bahu Dipta, "cucunya juragan itu kau, kok aku pula yang disuruh bicara. Gila." Sewot Hening sambil nguap, gak pake tutup mulut.
"Jigong lo bau!" ketus Dipta sambil nutup mulut. Hening acuh sambil garuk pipinya yang di gigit nyamuk, "namanya makan pete sama jengkol. Ya bau lah!"
Dipta menatapnya jijik.
Hening mana perduli, selama yang natap kaya gitu bukan Dimas. Mengingat pemuda itu Hening cuma bisa menarik napas pelan. Rasanya pengen kali negur tapi, takut pemuda itu ribut sama kekasihnya, dan dia semakin di benci.
Pak kades kembali memanggil Dipta, "tolong untuk cucu juragan Bramantyo silahkan kemari. Perkenalkan diri lalu beri kami masukkan, perlombaan apa yang menarik untuk acara pesta panen kali ini."
Dipta bangkit gitu aja sambil narik Hening, semua orang melihat itu dengan tatapan bertanya-tanya. Sementara Hening bingung kenapa dia di seret gitu aja kaya karung beras.
Dipta menatap Hening, "duduk di samping gue atau …."
"Iya … iya!" Hening langsung duduk bersila di depan para warga yang hadir. Dia gak tau manfaatnya apa dia duduk disini. Dia menatap abahnya yang duduk gak jauh dari tempatnya, pria yang amat dia sayangi itu menatapnya dengan senyum jahil.
Sedangkan ibunya menatapnya dengan penuh tanya sambil mulutnya komat-kamit, mungkin sedang baca mantra.
Dipta mengambil alih mic, sebagai mantan ketua Osis, bicara di depan umum bukan hal yang baru untuknya.
"Saya gak tau kenapa tiba-tiba di suruh bicara di depan anda sekalian. Tapi, yang jelas saya ingin katakan kalau apapun yang berhubungan dengan kakek saya gak ada hubungannya sama saya. Kedatangan saya kemari hanya untuk liburan. Dan untuk perlombaan itu, saya gak punya ide sama sekali."
Semua yang mendengar terdiam kaget, cara bicara Dipta sangat di kagumi tapi, kata-katanya gak ada yang bagus. Hening aja geram dengarnya apalagi yang lain, Dipta sendiri gak perduli. Dia berharap dengan sikapnya ini dia di usir dari kampung.
Kan enak, bisa pulang dengan alasan yang kuat.
Pak Kades menatap Banyu, pria paruh baya itu mengangguk dan pak Kades hanya bisa menurut. Gimana gak nurut, sebagian tanah tempatnya mencari nafkah milik huragan Bramantyo. Dan Banyu di percaya untuk bertanggung jawab atas semua tanah milik juragan itu.
Udah pasti ucapan Banyu sangat berpengaruh di des aini.
Kades berdehem, "saya dengar prestasimu bagus di sekolah. Pernah menjabat sebagai ketua Osis, harusnya kamu punya banyak ide cemerlang untuk membuat perlombaan. Biasanya juragan Bramantyo yang menentukan namun sekarang beliau mempercayakannya padamu, nak."
Tanpa sengaja Dipta bertemu tatap dengan Banyu, terlihat raut wajah pria paruh baya itu memohon padanya. Dipta cuma bisa menghela napas pelan, entah kenapa dia bisa nurut gitu aja sama ayahnya gadis gila yang duduk di sampingnya saat ini dengan kepala menunduk, jarinya melintir-lintir ujung baju kaus tangan panjang yang di pakainya.
Melihat Hening ide licik langsung muncul di otak Dipta.
"Tarik tambang campuran, jelajah dengan rute nanjak gunung, arum jeram sama panjat pinang yang di khususkan untuk perempuan saja. Itu yang ada di kepalaku." Dia menatap Hening, "dan dia harus terlibat dalam setiap perlombaan."
Hening menatap horor Dipta, dari awal dia udah tau kalo otak si Dipta ini liciknya bukan main.
Kades mengangguk, "tapi, setiap warga berhak memilih perlombaan apa yang ingin diikutinya."
Dipta langsung berkata, "untuk Permata Hati di kecualikan." Hidung Hening kembang kempis saat Dipta menyebut nama tengah dan akhirnya dengan nada mengejek. Demi apa, dia pengen kali nguliti Dipta.
Dipta menambahkan, "dan satu lagi, berhubung jambu air pak Banyu berbuah lebat. Saya akan meminta pak Banyu membagikannya pada peserta lomba jelajah. Jambunya sangat manis dan penuh air, sangat menyegarkan."
Hening melotot, demi apa dia pengen kali nangis sekarang.
Terdengar sorak sorai di luar langgar. Kapan lagi bisa makan jambu pak Banyu yang manisnya buat nagih. Selama ini mereka gak bisa icip karena Hening pelit kali kalo perihal buah jambu keramatnya itu.
Yang lain boleh diminta asal jangan jambu.