"ANAK SETANNNNNNN!!" Jerit Hening dari halaman.
Gadis itu berjalan secepat kilat, lebih tepatnya setenga lari. Mau lari penuh gak snaggup, baru aja bersihin kebun. Capeknya masih berasa kali, belum lagi emosi yang udah di ubun-ubun.
Dipta yang baru aja bangun tidur langsung bangkit terus ngunci pintu, jangan sampe si Jenong nendang pintu dan berhasil masuk kamarnya. Tu cewek kalo udah marah ngeri kali, macam orang kesurupan.
Pasti gara-gara jambu. Pikir Dipta tepat sasaran.
"ANAK SETANG GAK ADA OTAK! NGAMBIL BARANG ORANG TANPA IZIN!" Teriak Hening kaya orang gila. Untung gak ada orang yang lewat menuju sungai.
Sebelum masuk kedalam rumah, Hening mencari ranting pohon yang akan dia gunakan untuk menyabet Dipta. Gitu nemu sapu lidi, senyum iblisnya tercetak.
Sakit kali woy di sabet pakek sapu lidi.
Hening mengikat tinggi rambutnya sambil berjalan masuk kedalam rumah. Dengan sekuat tenaga dia nendang pintu kamar Dipta sampe begetar rumahnya kaya ada gempa skala kecil.
"WOY! BUKA PINTUNYA! JANGAN KAYA BANCI! BERANI NYURI GAK BERANI NERIMA SANKSI!" Hening kembali menendang pintu tapi gak di buka juga sama Dipta.
Jangankan suaranya, kentutnya pun gak nyaut.
Didalam kamar Dipta menutup wajahnya dengan bantal, gak perduli sama teriakkan Hening yang teramat nyaring. Dari suaranya aja udah bisa di tebak emosinya kaya apa.
Hening yang gak kehabisan akal langsung narik kursi yang ada di dapur, di bawanya masuk kedalam kamar. Dia naik kursi untuk bisa nongolin kepalanya di celah pembatas kamar yang gak di tutupi papan, sekitar satu lembar lah.
Hening terpaksa bergantungan di papan karena kursinya gak tinggi.
"WOY!" Teriaknya.
Dipta yang sedang milih baju di dalam tas terjungkal kaget ngeliat kepala Hening nyembul di sela papan. Matanya melotot dengan mulut komat-kamit gak jelas.
"Ngapain lo ngintip gue? Gak tau malu!" Ketus Dipta sambil berkacak pinggang, tetap stay cool wlaau habis terjungkal, jaga harga diri.
Dia ngeliat buku jari Hening udah memutih, tandanya gadis itu udah gak kuat bergelantungan.
"KAU YANG GAK TAU MALU! UDAH NYURI PURA-PURA TULI!"
"Nyuri apa? Gak usah asal tuduh! Kalo gue gak terima, bisa gue tuntut. Kena pasal pencemaran nama baik, abis lo!" Balas Dipta dengan tenang.
"NYURI APA? PAKE TANYA LAGI! AKUPUN BISA NUNTUT YA! PASAL PENCURIAN!"
"Gak usah teriak-teriak, gue gak budek." Setelah mengatakan itu, Dipta mengambil peralatan mandinya lalu bergegas keluar kamar. Dia punya waktu lari selagi si jenong turun dari aksi bergelantungannya.
Tanpa mau menolong Hening, Dipta langsung pergi kesungai. Dia berpapasan dengan Dimas cs, tanpa perduli dia jalan santai aja. Sementara temen ceweknya Dimas udah kesemsem salting.
Dipta menoleh saat mendengar teriakkan Hening, dengan cepat dia berlari kencang menuju sungai sementara Hening keluar rumah dengan terburu. Mengejar Dipta tanpa perduli Dimas dan yang lain melihat aksi mereka.
"LIAT AJA, KAU PIKIR AKU GAK BISA NGEJAR KAU. KAMPRET!!" Johanes yang mendengar itu tertawa terbahak-bahak.
Dimas memperhatikan punggung Hening yang semakin menghilang. Gak biasanya gadis itu mengabaikannya, walau dalam keadaan apapun.
Sesampainya di sungai, Hening berdiri di batu besar. Dia mengedarkan pandangan untuk melihat dimana keberadaan Dipta. Pemuda itu berada agak jauh dari tempat biasa dia berenang, sengaja ngumpet dari Hening.
Bukannya takut, dia pengen tenang aja mandi sore ini. Hening itu sama kaya hama, mengganggu aja kerjanya.
"Halo ...." Sapa Johanes.
Hening menoleh lalu tersenyum manis, "halo." Sapanya balik dengan sangat ramah, wajah yang tadinya kaya setan langsung lenyap berubah menjadi wajah bidadari khas desa Suka Sari.
"Emosi amat kayanya, sampe papasan di jalan gak liat sama sekali."
"Oh ... maaf, aku kalo emosi emang gitu. Gak perduli kiri kanan. Maaf ya?" Hening menunjukkan wajah penuh rasa bersalah.
Johanes mengibaskan tangannya, tatapannya teralihkan pada kening gadis cantik yang ada di depannya ini.
"Kening kamu kenapa? Kok di plester, bengkak kayanya." Hening langsung menutup keningnya dengan poni badai andalannya.
"Oh ... gak apa-apa, jatoh dari tempat tidur." Bohong Hening. Dia mana ada tempat tidur. Kasurnya tergeletak di lantai.
Johanes manggut-manggut setelah itu dia mengobrol santai dengan Hening sementara Dimas yang sejak tadi berdiri gak jauh dari mereka sama sekali gak di perdulikan Hening.
Hening sengaja gak mau nyapa, dia malu keningnya benjol gitu. Dan entah kenapa juga, dia malas nyapa pemuda tampan itu.
Terdengar suara orang salto dari atas jembatan, Hening langsung menoleh dan melihat siapa yang baru nyebur. Senyum iblis dengan gemelatakkan giginya berbunyi.
Menarik napas dan membuangnya pelan dia pamitan sama Johanes, "aku kesana dulu ya, ada urusan penting."
Tanpa menunggu jawaban Johanes, Hening langsung turun dari batu dan berlari menuju jembatan, dia sembunyi di balik batu besar.
"Tu cewek aneh tapi gemesin. Cewek murni yang kaya gitu udah jarang banget ada di bumi. Apalagi di kota, cewe pada freak semua."
Shalom menimpali, "jangan terkecoh dengan kepolosannya. Kita gak tau aslinya gimana." Terus dia natap Dimas, "Dimas paling tau dia kaya apa, buktinya Dimas sama sekali gak suka sama dia."
Johanes terkekeh pelan, "baik gak nya tu cewek gak mesti menurut penilaian Dimas. Bisa aja selama ini dia salah menilai."
Setelah mengatakan itu, Johanes pergi menyusul teman-temannya yang udah lebih dulu nyebur. Sementara Shalom berdecak kesal di tambah lagi Dimas gak mengatakan apapun, seolah apa yanh dia katakan salah.
"Kamu kok diam aja? Harusnya bela aku."
Dimas menatap lembut pacarnya, "dari awal aku udah bilang kalau aku gak suka bahas dia. Jangan salahkan aku, kalau aku acuh."
Shalom tersenyum manis lalu bergelayut di lengan Dimas, "maaf, kirain kamu setuju sama Johan."
Dimas gak mengatakan apapun, dia mengajak Shalom turun kesungai buat mandi sebelum hari semakin sore.
Gak ada yang tau kalau sekarang hatinya sedikit terusik karena Hening mengabaikannya. Gak biasanya gadis itu membiarkannya tenang, apa karena pria bernama Dipta itu?
Sementara itu, Hening sedang menunggu Dipta naik dari dalam air.
"HEH MALING!" Teriaknya. Dipta hampir terpeleset karena terkejut, Hening muncul tiba-tiba dengan wajah super horor.
Tangan berkacak di pinggang, mata melotot dengan hidung kembang kempis.
"Maling apa? Sarap!" Ketus Dipta.
"Maling jambu! Kalo gak mau ku panggil maling, bayar! Satunya sepuluh ribu, buahku ilang sepuluh. Tepat di ranting tengah." Hapal kan Hening jambu mana yang hilang.
"Gue cuma makan dua, sisanya abah lo!" Bohong Dipta.
Hening tertawa sumbang, "eh ... anak setan yang budiman! Kau pikir aku percaya? Abah gak gitu suka jambu, mana mungkin dia ngabisin delapan buah. Sekencang-kencangnya dia makan paling banyak dua!"
Hening menggerakkan jari-jarinya, isyarat meminta uang, "bayar!"
Dipta melirik dengan ekor matanya, Dimas sedang memperhatikan mereka. Otak Dipta langsung bekerja, senyum iblisnya tercetak dan itu buat Hening sedikit keder.
"Masih mau manggil gue maling? Kalo iya, gue gak segan bilang ke cowok itu, kalo lo tidurnya ngorok. Dan lo ...." Dipta tersenyum iblis, "masih ngompol."
Mata Hening membelalak kaget.