Aarun pulang dengan berjalan kaki, ditangannya ada sebuah surat yang tadi di berikan padanya setelah memukuli Vino, hari sudah mulai gelap setelah ia bertemu Hannah dan menghabiskan sore bersama gadis itu, Aarun langsung pulang ke rumahnya.
Meskipun dirinya telah membuat kekacauan di sekolah dan orang tuanya harus di panggil ke sekolah besok pagi, ia tetap senang karena ini adalah rencananya, tepatnya rencana mempertemukan orang tuanya dan juga si selingkuhan ibunya itu.
Ia tidak tahu apakah rencana itu bagus tapi hanya ini satu-satunya cara untuk bertemu dengan selingkuhan ibunya. Ia harus menjebak pak tua itu agar ia mau ke sekolah, karena selama ibunya di ketahui selingkuh pak tua itu tidak pernah menampakkan batang hidungnya.
Aarun telah sampai dirumah, tumben sekali rumah tampak sepi padahal biasanya kedua orang tuanya pasti sedang bertengkar hebat, namun ada sedikit kelegahan karena tidak mendengar sebuah pertengkaran yang biasanya akan membuat hari-harinya jadi buruk sekali.
Aarun melepas seragamnya dan melemparnya ke sembarang arah, sebelum menjatuhkan dirinya di atas kasur ia menyimpan surat sekolah di atas nakas, Aarun menghela napasnya berat, ia tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi ayahnya jika Aarun memberikannya surat itu, Aarun tidak ingin memberitahu rencananya itu kepada ayahnya karena ia yakin ayahnya tidak akan setuju apalagi harus membawa permasalahan ini ke sekolah.
Hanya dirinya yang tahu jika selingkuhan ibunya adalah orang penting di sekolah itu, kakaknya, ayahnya dan mungkin ibunya tidak tahu. Aarun hanya menebak semuanya, ia berharap ayah Vino tidak tahu jika dia anak Riany.
Semoga saja besok berjalan dengan lancar.
Ia tiba-tiba saja mengingat Hannah, ia tidak tahu sihir apa yang di buat oleh gadis itu sehingga tadi siang ia bisa melupakan masalahnya, tidak, tapi setiap ia bertemu gadis itu ia bisa melupakan masalahnya. Bukankah dia benar-benar jatuh cinta. Ia ingin bertanya pada sahabatnya Ardo tentang apa yang ia rasakan untuk Hannah tapi tentunya Ardo akan mengejeknya habis-habisan dan setelah itu Ardo keceplosan di depan Hannah dan kemudian Hannah tahu semuanya. Pasti akan berakhir seperti itu jika Ardo sampai mengetahuinya.
Tapi jika Aarun tidak menyebut nama Hannah mungkin saja itu tidak akan terjadi, tapi pasti dia akan di kejar-kejar oleh Ardo untuk mengakui semuanya, Ardo memang si paling kepo.
"Aarun apa boleh ibu masuk?" suara ibunya membuyarkan lamunan Aarun.
Aarun bangkit dan mendudukan dirinya di kasur , ia seolah tahu pasti ini bukan berita baik untuknya "Ya, buka saja aku tidak mengunci pintu," ucap Aarun sedikit keras.
Perlahan ibunya membuka pintu dan menyimpan nampan berisikan susu di atas nakas punya Aarun, lalu ia ikut duduk di pinggir kasur Aarun "Kau sudah makan?" tanyanya.
"Aku akan makan malam," jawab Aarun tanpa melihat ibunya.
Riany menghela napas, bukan itu maksudnya "Tadi siang kau makan apa?" tanya ibunya lagi.
Aarun berpikir sebentar "Roti dan cemilan kecil" jawabnya singkat.
Riany mengangguk pelan "Malam itu, sewaktu ibu pergi dengan Tuan Roberto, ibu bertengkar hebat di mobil setelah dia hampir menyambarmu dengan mobilnya."
"Maafkan ibu, Aarun. seharusnya ibu memberimu penjelasan sebelum pergi," ucapnya lagi.
"Dari pada memberiku penjelasan bukankah lebih baik ibu tidak ikut dengan pria brengsek busuk itu?"
"Jangan menghinanya karena ibu tidak pernah mengajarkanmu menghina orang Aarun" ucapan ibunya membuat Aarun menatapnya aneh, apa dia tidak salah dengar, ia dilarang menghina Roberto setelah apa yang pria itu lakukan, seakan emosi Aarun meluap.
"Itu memang benar, Aku tidak pernah di ajarkan untuk menghina orang tapi sikap ibu dan pria brengsek itu patut untuk di hina, iyakan, ibu," kata Aarun melihat ibunya.
"Ibu pikir, kalau ibu memberiku penjelasan malam itu aku kan membiarkan ibu pergi begitu saja apalagi dengan pria jelek gendut busuk itu! Itu tidak akan pernah terjadi," lanjut Aarun menekankan ucapannya.
Tangan Aarun meraih surat yang tadi ia simpan di atas nakas dan memberikannya pada ibunya "Lihat ini, karena aku stress aku membuat kekacauan disekolah, bukankah seharusnya ibu memperhatikanku bukan memperhatikan pria busuk itu."
"Apa ini? Apa yang kau buat Aarun?" tanya ibunya seraya membuka surat tersebut.
"Aku memukul orang, Aku ingin ayah dan ibu datang besok untuk menjadi waliku," jelas Aarun frustasi.
"Kenapa kau memukulnya, Siapa nama anak itu?"
Deg.
Aarun bingung apakah ia harus berkata jujur atau tidak soal identitas anak yang ia pukuli, mungkin jika ia menyebutkan nama ibunya tidak akan tahu.
"Dia- dia mengganggu wanita yang- ku sukai, namanya Vino seniorku," kata Aarun sedikit terbata-bata.
Riany mengerutkan alisnya "Jadi kau bertengkar karena wanita, umurmu masih 16 tahun seharusnya kau itu belajar bukan mengurusi wanita Aarun!" tegur Riany.
"Bukankah sama saja dengan ibu, dari pada mengurusi suami orang lain, bukankah lebih baik ibu mengurusi suami dan anak-anak ibu?"
Riany bungkam atas perkataan anaknya sendiri, itu semua benar tapi memang hatinya lah yang menolak akan perkataan Aarun, Riany berdiri dan berucap "Kau jadilah anak yang baik dan jangan membuat kerusuhan lagi, ibu besok akan hadir di sekolah tapi ibu tidak mau datang bersama ayahmu."
"Jangan lupa minum susumu." Setelah mengucapkan itu, Riany menutup pintu kamar Aarun dan masuk ke kamarnya.
Aarun hanya memandang segelas susu tersebut,lalu ia kembali berbaring, ia sedikit legah setidaknya ibunya mau datang dan ibunya tidak curiga saat mendengar nama Vino yang ia sebut, apa mungkin ibunya tidak tahu jika Vino yang ia maksud adalah anak selingkuhannya.
****
Hannah tengah berbaring bersiap untuk tidur, ia menengok jam yang kini menunjukkan pukul tepat tengah malam, kedua adiknya telah tidur dengan pulas di kasur yang sama dengannya. Ia kembali mengingat percakapannya dengan Aarun siang tadi saat mereka di rooftop.
"Aku ingin tahu soal dirimu," ucap Hannah tiba-tiba.
"Diriku?" Aarun menunjuk dirinya sendiri.
"Ya, apa aneh?" tanya Hannah canggung dan bingung setelah melihat ekspresi Aarun yang seakan heran dan tidak percaya.
Aarun tersenyum "Tidak sama sekali," ujarnya.
Aarun menghela napasnya sebentar sebelum kembali berkata "Aku anak yang biasa saja, aku hidup di keluarga yang lengkap dan sederhana, tidak ada yang istimewa hahaha"
Hannah mengangguk pelan "Bukankah itu sangat istimewa, meski sederhana tapi jika kau hidup ditengah-tengah orang-orang yang menyayangimu pasti itu indah sekali," ucap Hannah sambil membayangkan keluarga kecil yang bahagia.
Aarun menatap Hannah dengan tatapan senduh "Iya, itu indah, kita bisa meminta tolong pada ayah jika kesulitan, belajar bersama kakak dan juga disajikan makanan oleh ibu saat sarapan, itu benar-benar hal yang paling ku syukuri," jelas Aarun.
"Tapi Hannah, kau harus tahu, semua keluarga pasti ada masalah didalamnya, entah itu antara orang tua dan anak atau antara ibu dan ayah, ada yang bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin tapi ada yang tidak bisa diselesaikan juga dan berakhir menyedihkan," lanjut Aarun.
"Menyedihkan seperti apa?"
"Perpisahan," singkat Aarun.
Hannah mengangguk mengerti, gadis itu masih menatap Aarun yang bercerita padanya "Aku sedang menghadapi masalah yang sangat besar yang juga mempengaruhi diriku sendiri, maaf jika kelakuanku akan membuatmu tidak nyaman suatu saat nanti, tapi kau harus tahu, aku sedang bertengkar dengan diriku sendiri," kata Aarun membalas tatapan Hannah.
"Memangnya apa masalahnya Aarun, apakah aku boleh tahu? Mungkin aku bisa membantumu,"
Aarun tersenyum pahit, mana mungkin Hannah bisa membantunya tapi ia senang Hannah memperhatikannya.
"Ayah dan ibuku sedang diujung perpisahan, ibuku selingkuh dan berniat menceraikan ayahku, alasannya karena selama ini ayahku gagal membahagiakan ibuku, yang parahnya selingkuhan ibuku adalah ayah Vino, aku benar-benar kehilangan akal sehat sekarang."
"Vino?" Hannah mengerutkan alisnya rasanya ia pernah mendengar nama itu tapi lupa dimana.
"Maafkan aku harus menyebut namanya lagi," ucap Aarun.
Ah... Hannah jadi ingat, Vino adalah nama pria yang memaksanya untuk berciuman dan merebut ciuman pertamanya itu, ia tidak menyangka jika ternyata dialah orangnya, Aarun harus kembali berurusan dengan pria brengsek itu.
"Jadi Vino itu maksudnya, lalu kenapa jidatmu terluka, apa yang terjadi?" Hannah menunjuk jidat Aarun yang ada bekas lukanya.
"Aku memukulnya di sekolah makanya tadi saat kau menyuruhku kembali masuk sekolah aku tidak mau," ujarnya.
Hannah tersenyum kikuk "Maafkan aku, aku tidak tahu masalahnya."
"Tidak apa, aku sebenarnya sangat muak dengan Vino, aku sangat kesal mengapa harus dia lagi! dia lagi yang harus berurusan denganku," ucap Aarun menahan emosinya.
Hannah refleks memegang tangan Aarun, ia juga tidak suka dengan Vino setelah ia memaksanya untuk ciuman dan tentunya Aarun yang juga memukul Vino waktu itu pasti masih menyimpan kesal pada Vino si mesum itu "Sabar, semoga akan ada jalan keluar untuk permasalahanmu, aku juga belum bisa melupakan kejadian itu, rasanya aku sangat kotor" Hannah menunduk malu.
"Sebenarnya aku malu pada Eugene dan Linzy karena melihatku berciuman, aku juga malu padamu karena kau tahu aibku, aku sungguh kotor rasanya aku ingin merobek bibirku sendiri-" lanjut Hannah seakan air matanya ingin keluar.
"Hannah...Jangan menyalahkan dirimu sendiri, kami sama sekali tidak melihatmu seperti itu, aku malah senang kau bisa menerimaku menjadi temanmu padahal saat itu aku berada di komplotan Vino, mungkin saja jika aku tidak ragu menolongmu, kejadian itu tidak akan pernah terjadi. Maafkan aku," kata Aarun penuh penyesalan.
"Tidak itu bukan salahmu, jangan minta maaf." Hannah mencoba tersenyum dan kembali menguatkan dirinya, ia tidak boleh menangis didepan Aarun lagi seperti hari itu.
Aarun juga tersenyum kecil, mereka mempunyai masalah dengan orang yang sama, tapi karena itulah mereka juga di pertemukan dengan alasan yang sama, mungkin ini takdir tuhan, jika saat itu Aarun tidak ikut dengan Vino maka mungkin ia tidak akan pernah di pertemukan dengan Hannah dan Hannah tidak mungkin bisa bertemu dan mengenal Aarun.
Semua hanyalah takdir yang akan menentukan pertemuan mereka.