Matahari telah terbit cukup tinggi, semua orang di luar sana mungkin telah mulai beraktifitas dengan sibuk.
Sedangkan pria itu, ia sebenarnya sudah bangun sedari tadi tapi ia memang tidak berniat ke sekolah, ia masih nyaman berbaring dengan bantal dan selimut yang menemaninya, Aarun melirik jam yang kini sudah menunjukkan pukul delapan pagi, sudah sangat terlambat untuk bergegas ke sekolah.
Ayahnya sudah pergi kerja sejak jam tujuh pagi dan kini Arin juga sudah mau berangkat itu artinya hanya ia dan juga ibunya yang akan tinggal di rumah, Aarun berdiri dan menuju cermin ukuran sedang yang tergantung pada dinding kamarnya, ia menatap dirinya yang kacau, rambutnya kusut dan wajahnya terlihat sedikit bengkak akibat bangun tidur.
Tiba-tiba saja perutnya berbunyi memberontak ingin di isi, Aarun mau tidak mau harus ke dapur dulu, wajar ia lapar jam segini karena biasa ia akan sarapan pagi dulu sebelum sekolah, ia membuka pintu kamarnya sedikit dan melihat Arin telah berjalan keluar rumah dengan pakaian lengkap.
Aarun keluar kamar dan menuju meja makan, ia membuka penutup makanan lalu melihat apa saja makanan untuk hari ini, di meja makan tersebut cuma tersedia roti, selai nanas dan juga ada segelas susu.
Pria itu mengambil roti, memberikannya selai diatasnya lalu memakan roti tersebut, ia melirik kamar orang tuanya yang ia tahu jika ibunya sedang mengunci dirinya di kamar tersebut, ia tidak ingin bertengkar untuk saat ini, apalagi ia ingin kemarin pipinya habis di tampar oleh ibunya sendiri di depan sahabatnya Ardo, ia sama sekali tidak berniat mengajak ibunya untuk berbicara.
Setelah makan sedikit, Aarun kembali ke kamarnya untuk sekedar berbaring dan tidur jika ia mengantuk.
"Apa yang sedang Hannah lakukan sekarang?" gumamnya, ia ingin bertemu Hannah seakan gadis itu adalah obat baginya, jika ia terpuruk Aarun akan mengingat kelembutan dan senyuman gadis itu, sungguh menenangkan baginya.
Meski ia ingin bertemu tapi Aarun malu, ia tidak ingin mengganggu pekerjaan gadis itu, ia juga tidak mau Hannah curiga jika ia menyukai Hannah.
Hingga sore tiba tidak ada yang keluar kamar kecuali ingin ke kamar mandi atau makan, sekali Aarun dan Riany keluar kamar mereka tidak saling menegur bahkan tidak saling melirik. Hingga akhirnya Harry pulang dari bekerja, rumah itu masih tampak sangat sepi.
Pria tua itu langsung menemui Aarun yang sedang bersantai di kamarnya, Harry masuk dan membuka sedikit pintu guna melihat anaknya sedang apa di kamar "Ayah!" kaget Aarun yang sedang berbaring.
"Kau sedang apa?"
"Tidak ada cuma sedang berbaring"
Harry memperhatikan baju anaknya yang masih baju kemarin "Kau tidak ke sekolah Run?"
Aarun hanya membalasnya dengan anggukan, Harry lalu kembali menutup pintu dan menuju kamar Riany, ia pun mengetuk kamar itu" Riany buka pintunya, aku ingin bicara padamu"
"Aku tidak sempat memberitahumu tadi pagi karena ku pikir kau masih tidur, buka pintunya" lanjut Harry.
"Bicaralah disitu aku tidak berniat membuka pintu" balas wanita tua itu dari dalam.
Harry menghela napasnya berat "Baiklah, malam ini kau ikut denganku. Tuan Roberto menyuruhku untuk membawamu padanya katanya ia ingin berbicara sesuatu denganmu" Mendengar itu, pintu langsung terbuka dengan lebar " Kau serius Tuan Roberto ingin bertemu aku?"
Harry hanya bisa menatap istrinya dengan kekecewaan "Ya, dia ingin bertemu denganmu"
Seketika senyuman tersimpul di bibir wanita itu, Harry hanya menggeleng-gelengkan kepalanya "Bergegaslah jam tujuh nanti" kemudian pria itu pergi ke dapur untuk makan karena ia sudah lapar sekali hari ini.
Perasaannya campur aduk, makanan yang ada di depannya seakan sulit masuk di tenggorokannya padahal ia sangat lapar, Arin juga akhirnya sudah pulang dari kampusnya, gadis itu meletakkan dua kotak Pavlova yaitu kue meringue yang atasnya dikasih krim kocok dan buah-buahan segar seperti stroberi, blueberry, markisa dan kiwi di meja makan "Ini untuk ayah makanlah," ujar Arin.
Gadis itu mengambil piring dan juga pisau kecil untuk membelah pavlova "Tadi aku tidak sengaja melihat ada tokoh kue, makanya aku singgah membelinya," lanjutnya.
"Run.. kau tidak mau keluar?" sadar Arin setelah melihat adiknya ternyata masih di kamar sedari pagi.
"Wah.. sepertinya enak!" Seru Aarun setelah keluar dari kamar, ia terlihat lebih segar setelah ganti baju.
Ketiga orang itu berkumpul bersama dimeja makan untuk menikmti Pavlova, Arin sengaja membeli dua untuk ibunya juga, Arin membawa sekotak lagi masuk ke kamar Riany untunglah wanita itu mau menerima kue tersebut.
Keluar dari kamar Riany, gadis itu menggelengkan kepalanya setelah melihat adiknya sangat lahap memakan kue tersebut sampai-sampai ia di sisakan sedikit "Kau tidak pernah makan ya?" tebak Arin.
Aarun masih mengunyah lalu menjawab dengan polos "Tadi pagi aku makan roti satu terus siangnya makan roti satu lagi."
Harry hanya tertawa kecil mendengar jawaban anaknya yang polos itu, sudah lama mereka tidak makan enak dan kumpul bersama seperti ini.
"Bagaimana tugas akhirmu Arin, maaf ayah tidak memperhatikannya padahal tahun ini detik-detik kelulusanmu," ujar sang ayah dengan raut wajah sedih.
Arin berpikir sebelum menjawabnya "Sebenarnya aku sedikit tertinggal setelah ada masalah ini ayah, tapi aku akan mengejar teman-temanku."
"Baguslah, bilang saja ke ayah jika ada masalah atau kau mau ditemani ketempat lain, nanti ayah yang menemanimu," kata Harry yang dianggukan Arin sebagai jawab singkatnya.
Kini tatapan ayahnya mengarah ke Aarun yang masih makan "Lalu kau, kenapa tidak ke sekolah tadi?"
Aarun juga melihat ayahnya lalu menelan makan yang ada di mulutnya dengan susah payah "Itu, aku tidak berniat ke sekolah hari ini," jawabnya jujur.
"Kau rajinlah ke sekolah dan jangan sering bolos, bagaimana kalau ada masalah seperti kemarin lagi, ayah tidak akan kesana lagi kalau di panggil. Ingat itu!" tekan Harry.
Aarun hanya menunjukkan senyuman lebar yang malah terlihat seperti ia sedang mangatakan bodoh amat tersebut, Harry menghela napasnya berat entah sudah berapa kali ia menghela napas beratnya "Ayah serius!" ucapnya memperingati.
Aarun tak henti-hentinya mengunjukan wajah masa bodohnya.
Arin tidak bisa menahan tawanya setelah melihat wajah adiknya, akhirnya Harry juga ikut tertawa melihat tingkah anaknya, akhirnya rumah itu terdengar suara tawa, ini pertama kalinya setelah masalah itu datang.
Tidak baik terpuruk lama-lama, mereka juga pantas untuk tertawa meski masalah akan terus berdatangan.