Dimas dan Fitria menatap bingung kedua anaknya. Biasanya mereka akan bercanda di manapun tempatnya, saat makan pun mereka akan meledek satu sama lain. Tetapi kali ini berbeda, mereka saling diam, tanpa melemparkan candaan apapun.
"Kalian berdua ini kenapa?" Tanya Dimas pada anak-anaknya.
Alvaro dan Zara sontak mendongak, mereka saling lirik, lalu Alvaro melengos tanpa ingin melihat adiknya.
"Nggak papa, yah. Emangnya kita kenapa?" Tanya Zara.
"Tumben sekali kalian saling diam seperti ini. Tidak biasanya." Jawab Dimas.
Zara mengulas senyuman tipis tanpa menjawab kata-kata Ayahnya lagi. Ia hanya melirik Alvaro yang diam saja, laki-laki itu tetap menikmati camilan yang dibuat bundanya tanpa ingin mengeluarkan sepatah katapun.
"Nggak lagi berantem, kan?" Tanya Fitria.
Zara langsung menggeleng. "Nggak kok, Bun. Zara sama kak Al kan suka gini, tiba-tiba rusuh banget, terus nanti saling diem, udah kayak orang berantem aja."
Alvaro melirik Zara sekilas. Ia kira adiknya itu akan membeberkan perdebatan mereka tadi siang, ternyata tidak. Zara lebih memilih untuk menutup mulut.
Mereka memang satu rahim, tetapi sifat mereka berbeda. Jika Zara memilih untuk menutup mulutnya, berbeda dengan Alvaro, laki-laki itu justru membuka semuanya.
"Zara sekarang udah susah dikasih tau, Bun, Yah. Dia ngebantah terus tiap Alvaro kasih tau." Kata laki-laki itu.
Zara menatap kakaknya tak percaya, bisa-bisanya laki-laki itu berkata seperti itu. "Ngebantah apa sih, kak? Gue diem aja." Katanya tak terima.
Alvaro tidak memperdulikan ucapan tak terima dari Zara. Ia menatap kedua orang tuanya dengan tatapan serius.
"Di sekolah Zara temenan sama cowok bandel, Bun, Yah. Selama ini Alvaro cuma diem aja waktu dapat laporan dari salah satu siswa di sana, karena menurut Alvaro itu semua nggak benar. Tapi waktu tadi siang Zara diantar pulang oleh cowok itu, Alvaro baru percaya kalau Zara memang temenan sama cowok nakal itu." Kata Alvaro dengan menggebu-gebu.
Zara menatap kakaknya kesal. Lalu ia melihat kedua orang tuanya. "Zara emang temenan sama siapapun di sekolah, Bun, Yah. Tapi Zara juga tau mana perilaku yang baik sama buruk, Zara nggak akan ikutin perilaku buruk mereka. Zara cuma temenan." Katanya membela diri.
"Awalnya emang lo cuma teman, siapa yang tau kalau nantinya lo bakalan ikutin tingkah laku mereka." Kata Alvaro.
"Kak Al, tau apa sih? Zara di sekolah juga nggak aneh-aneh, kenapa kak Alvaro nggak pernah percaya sama aku?" Katanya kesal.
"Farhan sering kasih gue laporan, kalau lo emang suka dekat sama Farel. Gue awalnya nggak percaya tapi---"
"Dekat dari sisi mananya? Kalau kak Alvaro nggak tau sendiri gimana tingkah Zara di sekolah, nggak usah terlalu percaya sama Farhan." Zara memotong ucapan Alvaro. Ia bahkan tidak habis pikir, jika Alvaro menjadikan Farhan sebagai mata-mata di sekolah untuk mengawasi semua tingkah lakunya.
"Zara! Memotong pembicaraan orang itu tidak sopan!" Tegur Dimas.
Zara menarik napas panjang. "Iya, Zara minta maaf. Tapi yang dibicarakan kak Alvaro itu salah, Yah. Meskipun aku temenan sama anak-anak bandel, aku juga nggak akan ikut-ikutan kayak mereka." Katanya.
"Farhan itu siapa?" Tanya Fitria.
"Dia cuma kakak kelas Zara, bunda. Dia nggak tau semua kelakuan Zara di sekolah kayak gimana. Tapi kak Al selalu nyuruh dia buat mata-matain kegiatan Zara." Jawab Zara menjelaskan.
"Alvaro lebih setuju kalau Zara temenan sama Farhan, karena dia itu baik, jabatannya ketua OSIS. Bisa dipastikan dia pintar dan bisa membawa Zara jadi orang yang lebih baik." Kata Alvaro.
"Alvaro, jangan terlalu memandang orang dari luarnya saja. Bisa jadi semua yang kamu katakan itu kebalikannya." Kata Fitria dengan penuh lemah lembut.
Alvaro menghela napas pelan. Ia melirik adiknya yang hanya diam saja. Baru kali ini mereka berdebat di depan kedua orang tua mereka.
"Sebandel apa seorang Farel itu? Hingga membuat kamu sebenci itu sama dia?" Tanya Dimas pada Alvaro.
"Dia bandel, Yah. Suka balapan, suka bolos sekolah, prestasi nggak ada. Sama dia suka main cewek." Kata Alvaro.
Zara melihat Alvaro dengan tatapan heran dan kesal. "Farel emang bandel, tapi lo nggak bisa nuduh-nuduh kayak gitu. Dari mana lo tau kalau Farel suka main cewek?" Katanya.
Alvaro tersenyum miring. "Farhan sering---"
"Tolong jangan membawa-bawa nama Farhan lagi. Ayah hanya ingin tau tentang Farel dari kamu dan Zara." Kini giliran Dimas yang memotong ucapan Alvaro. Padahal ia sendiri yang berkata jika memotong pembicaraan orang lain itu tidak sopan.
"Zara, bisa kamu jelaskan siapa Farel itu? Kenapa kakakmu begitu emosi saat kamu berteman dengannya?" Tanya Dimas.
"Farel itu teman satu angkatan aku, Yah. Kita beda kelas. Dia emang nakal, dia suka bolos sama balapan. Tapi akhir-akhir ini dia minta bantuan Zara buat berubah jadi orang yang lebih baik. Bahkan dia udah berhenti ngerokok. Absen bolos dan pelanggaran juga udah berkurang." Jawab Zara menjelaskan.
"Kayaknya lo muji-muji dia banget , ya?" Alvaro berkata dengan sinis.
Zara kembali menghela napas. "Gue cuma jelasin aja. Nggak ada muji-muji dia." Katanya.
"Ayah tau kamu udah besar. Jadi sebisa mungkin kamu harus bisa bedain mana yang baik mana yang buruk." Kata Dimas pada Zara. Gadis itu mengangguk saja.
Ting Tong...
Saat masih panas-panasnya perdebatan mereka, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Bibi langsung membuka pintu utama dan mempersilahkan tamu untuk masuk.
"Kalian ganti baju yang lebih sopan. Di depan ada tamu ayah sama bunda." Kata Fitria pada kedua anaknya.
Alvaro dan Zara dengan kompak mengangguk, tanpa banyak bicara, mereka langsung pergi ke kamar masing-masing untuk berganti pakaian yang lebih sopan.
"Gue kesel banget sama kak Alvaro, kenapa sih, cuma masalah teman aja harus di atur. Gue juga tau kalau Farel itu nakal, tapi gue cuma temenan sama dia, nggak akan pernah gue ikutan jadi nakal." Gerutunya pelan.
Zara memakai dress selutut yang simpel miliknya. Gadis itu hanya memakai bedak tipis saja dengan sentuhan tipis juga dari liptint.
"Halah, nggak usah dandan deh. Kayaknya gue cuma salaman aja sama tamunya. Lagian tumben banget kayak gini." Lanjutnya menggerutu.
Zara sedang merapikan rambutnya. Tiba-tiba pikiran konyol terbesit di otaknya.
"Apa jangan-jangan gue mau dijodohin, ya? Kayak di film-film gitu? Aduh, apa gue nggak usah keluar aja, ya?" Gumamnya.
"Zara!!!"
Zara memejamkan matanya saat Bundanya memanggilnya dari luar kamar.
"Iya, bunda. Sebentar, ya, Zara lagi sisiran." Kata Zara. Padahal gadis itu sudah rapi. Tetapi karena pikiran aneh yang masuk di otaknya, membuat ia takut untuk keluar.
"Buruan, ya, nak. Udah di tunggu ini. Kamu salaman dulu sama tamu ayah."
"Iya, bunda. Ini Zara keluar."
Setelah itu, Zara keluar dan bersamaan dengan Alvaro, mereka menuruni anak tangga dalam diam, tidak ada yang saling berbicara.
Sesampainya di ruang tamu, mereka terkejut saat melihat siapa yang datang bertamu.
"Lo ngapain ada di sini?"