Sesuai ucapannya kemarin kini Farel sedang menunggu Zara yang masih bersiap di kamarnya. Waktu menunjukan pukul setengah tujuh dan Farel sudah berada di rumah Zara. Ia begitu semangat saat menjemput gadis itu.
Awalnya Farel juga terkejut saat ia tahu dijodohkan dengan Zara, tetapi setelah ia pikir-pikir sepertinya Tuhan memberikan jalan untuknya agar bisa lebih dekat dengan gadis itu.
Tetapi, jika diingat kembali, rintangannya untuk bisa bersama dengan Zara sangatlah berat. Ada Alvaro yang harus ia taklukan supaya merestui hubungan mereka. Meskipun laki-laki itu terlihat menerimanya sebagai pasangan adiknya, tetapi di lubuk hatinya yang paling dalam, Alvaro pasti tidak terima.
Farel harus lebih was-was lagi, karena di sini Alvaro tidak hanya sendiri, ia memiliki Farhan sebagai teman untuk merusak kedekatannya dengan Zara. Bukan maksud Farel berprasangka buruk, tetapi memang begitu kenyataannya. Laki-laki benar-benar tidak terima jika Zara bersamanya.
Farel mengangkat kepalanya saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Ia melemparkan senyuman saat Zara juga tersenyum padanya.
"Maaf, ya, lama. Tadi gue agak kesiangan." Kata Zara.
Farel mengangguk. "Sebenarnya bukan lo yang kesiangan, tapi gue yang kepagian." Katanya.
Zara tertawa pelan. Lalu ia pamit kepada orang tua dan kakaknya. Zara merasa jika Alvaro sudah lebih biasa saja. Apakah kakaknya itu sudah menerima kenyataan bahwa ia memang dijodohkan dengan Farel? Pikir Zara. Harapannya semoga saja seperti itu.
Setelah selesai berpamitan bersama dengan Farel juga, kini mereka sudah menaiki motor besar milik laki-laki itu. Zara memeluk erat pinggang Farel, setelah mengetahui jika ia dijodohkan dengan Farel, ia merasa jika Farel adalah miliknya mulai saat ini.
"Lain kali bawa jaket, ya, biar nggak dingin. Soalnya gue bakalan lebih sering antar jemput lo pake motor." Kata Farel dengan sedikit berteriak.
"Iya..." Jawab Zara.
Tidak masalah bagi Zara, entah naik motor atau mobil sekalipun tidak masalah, yang penting bersama Farel, begitulah pikirnya.
Setelah berada dijalan kurang lebih dua puluh menit, mereka memasuki gerbang sekolah. Pemandangan baru ini membuat mereka langsung bergosip ria. Zara berangkat sekolah bersama dengan Farel, bahkan kedua tangan gadis itu juga melingkar dengan indah di pinggang laki-laki tampan yang menjadi incaran satu sekolah.
'Mereka pacaran, ya?'
'Nggak tau sih, tapi emang si Farel beberapa kali kelihatan lagi deketin Zara.'
'Gue kira si Zara ini sama Farhan.'
'Iya loh, gue kira dia sama Farhan. Kan Farhan pintar juga, ganteng juga, mana anak OSIS lagi. Beda kan sama Farel, iya sih gue akuin Farel lebih ganteng, tapi dia bandel banget.'
'Ternyata cewek emang suka sama yang bandel gitu, ya...'
'Seleranya Farel biasa banget, anjir. Gue kira dia bakalan nyari diatasnya Karin. Mana tiap hari nolak Karin terus.'
Mendengar cibiran-cibiran yang masuk ke telinganya, membuat Zara ingin cepat pulang saja. Ia tidak suka jika ada yang mengusik ketenangannya.
Sementara itu, Farel yang melihat kegelisahan Zara segera menautkan jarinya pada jari-jari kecil gadis itu. Ia meremas pelan jari Zara, berusaha menyalurkan ketenangan diantara mereka.
"Nggak usah dengerin mereka, oke? Anggap aja itu semua angin lalu." Kata Farel.
Zara menatap Farel yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu baru selesai memarkirkan motornya dan langsung menggandeng tangannya.
"Gue punya telinga, Rel. Mustahil kalau gue nggak kepikiran. Gue juga tahu kalau lo aslinya juga sakit hati kan, waktu dibanding-bandingin sama Farhan?" Tanya Zara.
Ia sendiri sampai bingung, kenapa semua orang seolah memandang Farel sebelah mata. Mereka memang memuji ketampanan seorang AlFarellza, tetapi tidak menutup kemungkinan mereka juga suka membanding-bandingkan Farel dengan Farhan. Padahal setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Farel tertawa pelan mendengar pertanyaan dari Zara. "Gue udah biasa soal itu, Ra. Dan itu semua bukan masalah buat gue. Santai aja." Katanya.
"Tapi lo pernah sakit hati kan?" Tanya Zara masih menuntut jawaban yang sebenarnya.
"Iya!" Jawab Farel dengan lantang. Ia menatap mata Zara. "Gue pernah sakit hati. Tapi bukan karena mereka mandang gue sebelah mata. Gue sakit hati waktu mereka ngatain orang tua gue dan mereka bilang kalau orang tua gue nggak becus urus gue sampai-sampai gue jadi bandel kayak gini. Padahal ini emang dari diri gue sendiri, bukan karena orang tua." Katanya melanjutkan jawabannya.
Zara mengeratkan genggamannya seolah menguatkan Farel, karena dari sorot mata laki-laki tersirat sebuah kekecewaan.
"Lo kasihan kan sama orang tua lo? Mereka selalu kebawa-bawa namanya kan?" Tanya Zara lagi. Farel mengangguk.
Zara tersenyum. "Kalau kasihan, lo harus berubah jadi lebih baik, ya, buat mereka yang udah hina lo jadi tutup mulut. Bikin bangga orang tua juga." Katanya.
Farel mengangguk. "Iya, kalau soal mereka lagi ngomongin Karin, lo juga jangan cemburu, ya!" Katanya.
Zara mendengus pelan. Lalu ia menarik tangan Farel untuk berjalan menuju kelas mereka. Sedangkan Farel, ia sempat melihat kedua pipi Zara yang bersemu merah, pasti gadis itu sedang malu.
Di koridor kelas, mereka bertemu dengan Karin. Dan seperti biasanya, gadis itu masih membawakan bekal untuk Farel. Rasanya Farel sudah lelah, berkali-kali ia melarangnya tetapi tetap saja.
"Ini, Rel. Khusus buat lo. Pagi ini ada ayam goreng, nugget sama nasi goreng gitu. Pokoknya gue udah bentuk bekal ini sebagus dan selucu mungkin." Karin memberikan kotak makan yang ia bawa pada Farel.
Farel kembali menghembuskan napas. "Gue udah bilang kan, nggak usah bawain gue sarapan lagi. Setiap hari Mami gue udah masak dan gue udah sarapan juga. Jadi mending lo makan sendiri deh. Nggak usah repot-repot juga, Rin." Katanya.
Zara menyenggol lengan Farel pelan. "Jangan gitu, terima aja. Kasihan." Bisiknya pelan.
Tetapi, Karin mendengar kata 'kasihan' keluar dari mulut Zara. Hal itu membuat Karin menatap tajam Zara.
"Lo tuh kenapa sih pake gandeng-gandeng Farel kayak ini? Kemarin lo deketin Farhan, sekarang sama Farel. Emang dasar centil!" Kata Karin dengan kesal.
"Gue cuma---"
"Diem lo, gue sama Farel itu udah dekat banget. Jadi lo jangan ganggu kedekatan gue sama Farel." Kata Karin dengan menunjuk-nunjuk pada wajah Zara.
Farel meraih kotak makan itu. "Kalau emang ini buat gue, oke gue terima. Sekarang lo pergi!" Katanya. Karin tersenyum senang, lalu ia meninggalkan dua orang itu.
Farel melirik Zara. "Nggak usah di dengerin. Dia emang suka kayak gitu." Katanya.
Zara mengangguk. "Iya, dia juga sering banget sinis sama gue." Katanya.
"Oh, ya? Lo jangan diem aja dong, kalau dia ngata-ngatain lo, balas aja!" Kata Farel. Zara menggeleng pelan.
"Jangan cemburu!" Kata Farel.
Zara mengerutkan keningnya, dua kali Farel mengatakan hal yang sama. "Gue nggak cemburu." Kata Zara.
"Iya, intinya jangan cemburu kalau sama Karin. Gue nggak suka kok sama dia." Kata Farel. Zara mengangguk saja, lagipula ia tidak cemburu.
Apakah benar Zara tidak cemburu? Biarkan gadis itu meyakinkan perasaannya terlebih dahulu.