Zara menunggu Farel yang masih mengeluarkan motornya, motor merah laki-laki itu terjepit oleh motor lain. Farel yang memang memiliki kesabaran setipis tissue sudah marah-marah dari tadi, karena ia yang kesulitan mengeluarkan motornya.
Zara menggelengkan kepalanya pelan saat melihat Farel terus menggerutu. Hingga akhirnya, laki-laki itu melajukan motornya dan berhenti di depannya.
"Sabar dong, nggak usah terlalu buru-buru kenapa sih, Rel? Namanya juga parkiran pasti sempit kayak gitu." Kata Zara.
Farel mendengus pelan. "Bukan masalah itu, gue nggak mau aja kalau lo nunggu kelamaan." Katanya.
"Nggak masalah buat gue. Gue juga ngerti kali, kalau emang parkiran masih ramai. Banyak yang belum keluar juga dari sekolah." Kata Zara.
"Udah deh, buruan naik!"
Zara mengangguk, ia menerima helm dari Farel dan memakainya setelah itu ia menaiki motor besar milik Farel. Sejak ia semakin dekat dengan Farel, Zara tidak lagi kesusahan untuk menaiki motor Farel ini.
"Zara,"
Mendengar Farel memanggil namanya, Zara sedikit memajukan wajahnya hingga sejajar dengan bahu Farel. "Apa, Rel?"
"Gue habis ini mau ke suatu tempat, lo mau ikut apa nggak? Kalau nggak mau, gue bisa anterin lo pulang dulu." Farel bertanya dengan memelankan laju motornya.
"Ke mana?" Tanya Zara.
"Ada, ke suatu tempat. Kalau nggak mau nggak papa kok, gue anterin pulang dulu." Jawab Farel.
"Kalau gue mau ikut gimana?" Tanya Zara.
Farel tersenyum kecil. "Ya nggak papa, kan tadi gue udah nawarin juga. Kalau mau ikut, ya, ayo. Kalau nggak gue anterin pulang. Gue ulang lagi nih kata-katanya." Jawabnya.
Zara tertawa kecil. "Gue ikut, ya..." Katanya.
Farel mengangguk pelan. "Iya."
***
Zara menatap sekeliling dengan perasaan takut saat Farel membawanya ke sebuah tempat yang terbilang sepi. Kanan kiri jalanan hanya ada pohon-pohon Pinus yang tumbuh dengan tinggi. Mereka jarang bertemu orang, jika adapun itu hanya sekali dua kali saja. Benar-benar sepi.
"Rel, kita nggak salah jalan?" Zara memberanikan diri untuk bertanya.
Farel yang tahu jika Zara ketakutan karena jalanan ini, langsung meraih tangan gadis itu yang melingkar di perutnya. Ia menggenggam tangan gadis itu.
"Nggak kok. Emang jalannya kayak gini, sepi juga. Tapi sebentar lagi bakalan masuk ke pemukiman warga. Tenang aja. Ada gue, nggak usah takut." Kata Farel menenangkan.
"Justru gue takut sama lo." Batin Zara.
Perasaan takut bersarang di hati Zara, ia takut jika Farel akan membuat ulah yang tidak-tidak. Zara benar-benar takut. Matanya tetap awas menatap sekeliling, selama perjalanan melewati pohon-pohon ini, hanya dua kali saja mereka bertemu dengan sesama pengendara motor.
Zara langsung bernapas lega saat melihat ada beberapa rumah warga, sepertinya sebentar lagi akan ada banyak rumah-rumah warga yang terlihat.
Tangan Zara masih berada di genggaman Farel, karena jalanan yang lurus-lurus saja, Farel bisa melepaskan salah satu tangannya dari stang motornya.
Kening Zara semakin mengerut saat Farel menghentikan motornya di sebuah rumah yang lumayan besar, Zara melihat sekeliling dan ia menemukan sebuah papan tulis yang bertuliskan nama sebuah panti asuhan.
Zara baru menyadari jika Farel membawanya ke sebuah panti asuhan yang berada di pelosok. Zara tersentak saat Farel menggenggam tangannya dan mengajak Zara untuk masuk.
Saat baru sampai di halaman, Farel sudah di sambut oleh beberapa anak kecil. Farel hanya melemparkan senyuman saja dan sempat mengobrol sebentar, karena ia ingin cepat bertemu dengan ibu yang mengurus panti asuhan ini.
"Loh, mas Farel ke sini. Kok nggak bilang sama ibu? Kalau bilang, ibu bisa memasak yang banyak buat mas Farel dan mbaknya ini." Kata Bu Kasih, beliau adalah orang yang mengurus panti asuhan ini.
"Ini tadi rencana dadakan, Bu. Farel baru pulang sekolah, terus ingat kalau di tas ada beberapa jajanan dan makanan gitu, jadi Farel bawa aja ke sini." Jawab Farel.
Bu Kasih mengangguk dan tersenyum, matanya melihat ke arah Zara yang hanya diam saja.
"Ini pacarnya, ya, Mas?" Tanya Bu Kasih.
Farel melirik Zara dan tersenyum. "Iya, Bu. Namanya Zara. Cantik kan?" Jawabnya.
Zara melihat Farel dengan tatapan terkejut. Bisa-bisanya Farel mengakui dirinya sebagai pacar laki-laki itu. Sementara Bu Kasih hanya tersenyum maklum kepada dua anak muda itu.
Farel mengeluarkan beberapa makanan yang tersimpan di dalam tas. Zara merasa bersalah karena tidak membawakan apapun untuk mereka yang berada di panti asuhan ini. Tetapi ini semua juga salah Farel, jika Farel memberitahu tujuan mereka, pasti Zara juga membelikan makanan untuk mereka.
Bu Kasih membawa makanan dari Farel ke dapur. Ia memberikan bahan-bahan masakan itu kepada Bu Nita yang bertugas sebagai juru masak di Panti.
"Kenapa lo nggak bilang kalau mau ke sini sih, Rel? Gue nggak enak kalau datang nggak bawa apa-apa. Apalagi lihat mereka, nggak tega banget kalau nggak ngasih apa-apa." Zara memprotes Farel.
Farel tertawa pelan. "Nggak papa. Lain kali kalau mau ke sini lagi, lo bisa bawain mereka sesuai keinginan lo." Katanya.
Zara mengangguk pelan. "Di sini nggak ada yang masih bayi, Rel?"
Farel menggeleng. "Nggak ada. Kemarin ada sih satu, tapi udah diadopsi sama orang. Jadi tinggal mereka yang besar-besar itu." Jawabnya menjelaskan.
Zara mengangguk pelan. Ia memperhatikan Farel yang berjalan mendekati anak-anak yang sedang bermain bola. Farel ikut bermain sepak bola itu.
Zara mengulas senyuman kagum. Ternyata memang benar, di balik sifat Farel yang suka balapan, ada juga sisi lain seorang Farel. Dia yang mau datang ke sebuah panti asuhan dan bermain dengan mereka. Memang ada berita tentang Farel dan gengnya yang suka membantu sesama manusia, karena Zara yang tidak pernah melihatnya sendiri ia tidak percaya. Kini, ia melihatnya sendiri dan Zara benar-benar percaya dengan berita itu.
"Beruntungnya mbak Zara menjadi pacar mas Farel." Kata Bu Kasih yang berdiri di samping Zara.
"Kenapa begitu, Bu?" Zara bertanya.
"Iya beruntung, karena mas Farel ini sangat baik, meskipun terkadang penampilannya seperti berandal, tapi hatinya jangan diragukan lagi, dia sangat baik. Selain baik, mas Farel juga orang yang penyayang."
Zara mendengarkan Bu Kasih yang sedang memuji Farel sambil memperhatikan Farel yang sedang mengajari bermain sepak bola kepada anak-anak kecil di sana.
"Farel sering ke sini, ya, Bu?" Tanya Zara.
Bu Kasih mengangguk. "Iya, mas Farel sering ke sini untuk mengantarkan makanan. Terkadang ia datang bersama dengan teman-temannya, kadang sendiri juga. Dan baru kali ini mas Farel datang dengan kekasihnya." Jawabnya.
Zara tersenyum malu. Ternyata ada sifat baik Farel yang tertutup oleh kenakalannya. Zara harus memberitahu Alvaro, kakaknya harus tahu jika Farel tidak senakal itu. Farel masih mau berbuat kemanusiaan dan peduli kepada sesama.
Dalam hatinya, Zara bersorak bangga karena ia dijodohkan dengan Farel, meskipun semua orang melihat Farel nakal, tetapi Zara melihat Farel sebagai orang baik. Zara yakin, masih banyak sekali kebaikan-kebaikan yang sering dilakukan oleh Farel, tetapi tidak pernah terungkap.