Baru saja memasuki rumahnya, Zara sudah dikejutkan dengan adanya Alvaro yang berdiri tepat di depannya. Belum lagi tatapan mata laki-laki yang lebih tua darinya itu begitu tajam dan dingin.
Zara melemparkan senyuman terlebih dahulu, ia merasa tidak mempunyai salah apapun pada laki-laki itu, tentunya ia merasa biasa saja, namun jika di lihat dari tatapan mata Alvaro membuat Zara merasa jika ada yang salah pada dirinya.
"Kok udah di rumah? Katanya pulang malam?" Tanya Zara.
"Pulang sama siapa lagi?" Bukannya menjawab, Alvaro justru kembali melemparkan pertanyaan.
Zara menelan ludahnya susah payah. "Sama teman. Tadi kan udah di jemput sama pak supir, kak. Terus katanya mobil mogok, jadi Zara mau naik taksi aja, tapi karena udah jam segini, nggak ada taksi yang lewat di depan sekolah." Jawab gadis itu dengan menatap Avaro.
"Teman lo punya nama kan?" Tanya Alvaro lagi.
"Iya, dia punya nama. Tapi dia cuma temen gue aja, kak." Jawab Zara.
Alvaro menunjukan senyuman miringnya. "Gue tau dia teman lo, tapi kenapa lo seolah menutupi namanya. Biasanya juga lo langsung ngomong jujur. Dia siapa, Zara?"
"Lo mau jawab jujur atau gue cari tau sendiri? Gue bisa aja tanya lewat Farhan atau mungkin teman lo yang lain." Lanjutnya berkata.
Zara menarik napas panjang. "Kenapa sih dikit-dikit bawa Farhan. Dia cuma kakak kelas gue, dia mana tau gue pulang sama siapa, temenan sama siapa. Dia nggak tau semua tentang gue. Tapi kak Al selalu percaya sama dia." Katanya.
Alvaro memang terlalu menaruh kepercayaan tinggi pada Farhan, semua yang menyangkut Zara akan ia serahkan pada laki-laki itu. Zara tidak suka hal itu. Harusnya Alvaro lebih percaya padanya daripada kepada Farhan.
"Gue percaya sama dia, karena lo yang susah buat di tanya-tanya. Lo selalu bohong sama gue." Kata Alvaro.
Kini Zara yang tersenyum sinis. "Kak Alvaro tau dari mana sih kalau Zara bohong? Bisa aja kan si Farhan yang bohong?" Katanya.
Tatapan mata Alvaro semakin menajam. "Di sini gue nggak mau bahas Farhan. Gue cuma tanya lo pulang sama siapa tadi?"
Zara menghembuskan napas pelan. Lebih baik ia jujur saja daripada salah di mata Alvaro.
"Gue pulang sama Farel." Jawab gadis itu.
Alvaro mengangguk-angguk pelan. Ia tersenyum miring. "Bagus, ternyata tebakan gue benar dan nggak meleset sedikit pun. Lo udah berani dekat-dekat sama dia?"
Zara mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia sudah lelah dan ingin istirahat tetapi kakaknya justru mempersulit dengan banyak pertanyaan.
"Emang kenapa sih nggak boleh dekat sama dia? Mau dia nakal atau nggak, gue juga nggak akan ikut-ikutan. Gue udah besar, gue udah ngerti mana yang baik sama mana yang buruk." Jawab Zara ikut kesal.
Zara semakin bingung saat Alvaro mengeluarkan tawanya. "Dengan lo dekat sama Farel aja udah kelihatan kalau lo belum bisa bedain mana yang baik sama yang buruk."
"Yang baik itu Farhan, harusnya lo dekat sama dia. Bukan sama cowok bandel yang suka bolos sama balapan itu." Lanjut Alvaro.
"Kak Alvaro itu tau apa sih? Farel baik, nggak seburuk yang---"
"Ck, kayaknya lo emang udah mulai ketularan nakalnya dia, di kasih tau malah di bantah terus. Coba dengerin gue ngomong!" Potong Alvaro dengan tatapan tajamnya.
"Gue bakalan dengerin. Tapi gue udah besar, kak. Gue bisa tau mana yang baik sama nggak. Toh, ayah sama bunda juga nggak ngelarang gue dekat sama siapapun, mereka malah nyuruh gue buat temenan sama semua orang." Kata Zara.
Zara sebenarnya sudah terpancing emosinya, tetapi ia tidak berani terlalu menunjukan pada Alvaro, ia takut jika laki-laki itu semakin marah.
"Iya! Ayah sama bunda emang nggak ngelarang. Tapi di sini ada gue, gue Alvaro. Kakak lo! Gue berhak untuk memantau gimana pertemanan lo. Lo adik gue satu-satunya, Ra." Kata Alvaro.
"Gue harap lo nggak dekat-dekat lagi sama Farel. Dia bandel. Lo nggak boleh ikut terjerumus ke dalam pergaulan dia yang nggak baik itu." Lanjut Alvaro sambil menatap tajam pada Zara.
Zara berdecak. "Kalau cara lo mantau pertemanan gue kayak gini. Ngelarang gue buat nggak dekat-dekat sama siapapun. Gue nggak akan punya teman." Katanya.
"Lo bebas temenan sama siapapun, asal nggak sama Farel." Kata Alvaro menegaskan.
Zara kembali menarik napas pelan. Lalu ia pergi meninggalkan kakaknya itu. Jika ia terus berada di sana, mereka akan terus berdebat karena hal ini.
"Zara! Gue belum selesai ngomong!" Teriak Alvaro dengan suara beratnya.
"Gue capek, mau istirahat." Jawab Zara dari lantai atas.
Alvaro menghela napa pelan dan memejamkan matanya saat mendengar suara keras pintu tertutup.
"Emang susah di kasih tau." Gumamnya.
***
Sementara itu, di dalam kamarnya Zara menghela napas pelan. Ia paling tidak suka, jika hanya masalah pertemanan saja di atur-atur seperti ini.
Zara tahu jika Farel memang bandel, tetapi laki-laki itu masih memiliki perilaku baik, terbukti jika Farel masih mau membantunya untuk pulang, padahal ia sedang bersama dengan teman-temannya dan akan pergi.
"Selagi gue nggak aneh-aneh, harusnya kak Al nggak perlu ikut campur." Kata Zara pelan.
Ia membuka dasinya dengan gerakan tangan kesal. Lalu melemparkan dasi itu pada meja belajarnya.
***
"Kayaknya lo emang suka sama Zara, ya, Rel?" Tanya William.
Sedangkan yang ditanya hanya tersenyum kecil. Ia membuka bungkus permen karet miliknya dan memakan permen itu.
"Yee, si bos. Di tanya suka apa nggak malah senyum-senyum." Kata Vano.
"Tanpa jawaban harusnya kalian udah tau sih, soalnya dia udah senyum-senyum kayak gitu. Berarti jawabannya iya." Timpal Pandu.
Mereka sedang berada di markas, mereka sengaja berkumpul karena merasa bosan berada di rumah masing-masing. Lebih baik mereka berada di sini saja bersama teman-teman yang lain.
"Tapi gue pernah dengar kalau kakaknya Zara itu agak posesif ke adiknya." Lanjut Pandu berkata.
"Iya, protektif banget." Timpal Vano.
Farel mengangguk paham. "Gue tau soal itu. Zara juga pernah bilang ke gue." Jawabnya.
"Terus gimana dong, bro? Lo mau lanjut deketin dia nggak?" Tanya William.
"Sekali gue suka sama cewek, mau seberat apapun rintangannya, gue bakalan berusaha gimana caranya biar dia jadi milik gue." Jawab Farel dengan mata fokus menatap ke depan.
Pandu bertepuk tangan heboh. "Gini dong, ini baru namanya teman gue. Gue sih dukung aja kalau lo pacaran sama Zara. Dia cantik, bro." Katanya.
"Lo juga ganteng maksudnya, makanya kalian berdua bakalan jadi pasangan yang cocok dong." Lanjut Pandu membenarkan bicaranya, karena sepertinya Farel tidak suka jika ada yang memuji kecantikan Zara, selain dirinya sendiri. Terbukti dari tatapan mata Farel yang langsung berubah tajam.
"Doain aja, semoga gue bisa dapatin hati dia." Kata Farel.
"Wah, siap bro!" Kata William. Sementara temannya yang lain hanya mengangguk da tersenyum saja.