Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring, menandakan jika waktu belajar murid-murid sudah habis, mereka akan pulang dan bertemu dengan orang tua masing-masing.
Siapapun akan berseru senang jika ada bel pulang sekolah berbunyi, termasuk Zara. Gadis itu kini sedang memasukan buku-buku dan alat tulisnya ke dalam tas.
"Zara, main ke rumah gue, nggak?" Tanya Yuna.
Zara menggeleng. "Nggak dulu kayaknya, Yun. Soalnya tugas menggambar gue belum selesai." Jawab gadis itu.
"Loh, gue lupa kalau ada tugas menggambar. Mana besok di kumpul, ya, kan?" Timpal Ines.
Zara mengangguk. "Iya, makanya gue nggak bisa main dulu. Soalnya hari ini gue harus selesaiin gambarannya. Mana di kasih warna juga kan?" Jawabnya.
"Iya, kok gue bisa lupa gini sih? Mana gue belum sama sekali lagi." Kata Viona.
"Mana gambarnya agak rumit." Kata Ines sambil mengerucutkan bibirnya sebal.
Tugas seni budaya dari guru mereka adalah menggambar gedung sekolah mereka. Entah apa maksudnya, tetapi mereka memang diberikan tugas itu.
Zara yang tidak pandai dalam menggambar itu harus memaksa Alvaro untuk membantunya menyelesaikan tugas menggambarnya. Kedua kakak beradik itu memang memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Alvaro pandai dalam hal melukis, Zara justru dalam hal lainnya, sekolah yang pandai contohnya.
Makanya, untuk menggambar Zara harus meminta tolong pada kakaknya. Katakan saja jika Zara curang, tetapi daripada mendapatkan hukuman lebih baik ia meminta tolong pada kakaknya. Biarkan saja bukan karya sendiri, yang penting ia mengumpulkan, begitu pikir Zara.
"Mana niat gue tadi mau tidur pulang sekolah. Malah ada tugas yang belum selesai." Gerutu Viona.
Zara tertawa kecil. "Tidur aja nggak papa, asalkan besok mau di hukum." Katanya. Viona mendengus kesal.
"Daripada kita ngobrol di sini dan membuang-buang waktu, mending kita pulang aja, nggak sih? Biar cepat selesai juga tugasnya. Nanti kita bisa santai." Kata Ines.
"Lo yakin bisa santai, Nes? Sedangkan tugas kita aja nggak semudah itu buat selesai." Tanya Yuna.
Ines menghembuskan napas lelah. "Berdoa aja biar cepat selesai. Udah ayo pulang!" Ajaknya.
Mereka keluar dari kelas bersama-sama. Berjalan ke parkiran pun bersama-sama. Saling berkenalan saat masuk OSIS membuat mereka bisa bersahabat sedekat ini.
"Lo di jemput sama supir apa kak Al, Ra?" Tanya Viona.
"Supir kayaknya, kakak gue lagi manja banget, nggak mau keluar rumah." Jawab gadis itu sambil memasang wajah datarnya.
Saat istirahat tadi, Zara memang sudah menghubungi Alvaro agar cowok itu mau menjemputnya saat pulang sekolah, tetapi dengan berbagai macam alasan, Alvaro menolak permintaan adiknya itu. Jadilah, Zara meminta di jemput oleh supirnya saja.
"Nggak papa manja, yang penting ganteng." Kata Ines sambil senyum-senyum.
Zara menatap geli pada Ines, sahabatnya itu memang begitu mengagumi Alvaro. Zara sendiri sampai heran, kenapa bisa Ines begitu suka pada Alvaro, padahal sudah jelas jika Alvaro memiliki gadis yang di sukai oleh cowok itu. Tetapi kalau kata Ines tidak masalah selama janur kuning belum melengkung.
"Bye, Ra!"
"Bye, Zara!"
"Bye, bestiee!"
Zara tersenyum dan menggelengkan kepalanya, tak lupa tangannya ikut melambai saat sahabatnya pergi pulang terlebih dahulu.
Mereka sempat menawarkan untuk menemani Zara terlebih dahulu, namun gadis itu menolak dengan mentah-mentah, dengan alasan merepotkan. Zara si gadis tidak enakan.
Zara mengotak-atik ponselnya sambil menghubungi supirnya yang belum datang juga, biasanya supir pribadi keluarganya itu sangat tepat waktu, tidak pernah telat sedikit pun.
"Halo, Pak!" Sapa Zara saat tiba-tiba supirnya menelpon dirinya.
"Maaf, non Zara. Mobilnya mogok, saya masih jauh dari sekolah non Zara, apakah non Zara bisa naik taksi saja? Karena pasti ini akan memakan waktu yang lumayan lama, non?"
Zara menghembuskan napas pelan. Ia juga heran pada mobil yang biasa digunakan itu, kenapa sering sekali mogok? Padahal tiap bulan selalu di cek ke bengkel.
"Ya udah pak, nggak papa. Biar Zara naik taksi aja. Bapak juga hati-hati, ya," Kata Zara.
"Siap, non. Maaf, ya, non." Katanya.
"Iya, pak."
Setelah itu sambungan telepon dimatikan. Zara langsung melihat kanan kiri, ia harus berjalan ke tepi jalan raya jika ingin naik taksi.
"Zara!"
Gadis itu melihat ke arah suara. Ada Farel dan kedua temannya di sana. Mereka bertiga duduk di motor masing-masing.
"Ada apa?" Tanya Zara.
"Mau kemana? Kok belum pulang juga?" Tanya Farel.
"Ini mau pulang. Nyari taksi dulu." Jawab Zara.
Farel turun dari motornya. Lalu berjalan menghampiri gadis itu. "Pulang sama gue, mau?" Tawarnya.
Zara menggeleng. "Nggak usah, Rel. Nanti ngerepotin. Gue bisa pulang naik taksi kok." Tolaknya dengan sehalus mungkin.
"Nggak papa. Nggak ngerepotin juga." Kata Farel dengan tenang.
"Iya, Ra. Mending pulang sama Farel aja. Dijamin aman, nggak akan lecet sama sekali." Kata William yang masih bertahan duduk di atas motornya.
Zara mengulas senyum tipis. "Nggak deh. Gue bukannya menolak ajakan lo lagi kayak waktu itu. Tapi gue emang nggak mau ngerepotin aja." Katanya.
"Apa mau dipaksa dulu kayak waktu itu?" Tanya Farel.
Zara menggeleng heboh. "Nggak mau! Gue takut sama penggemar lo yang super itu, Rel. Gue nggak mau kalau sampai di bully sama mereka. Jadi lebih baik gue pulang sendiri aja."
Farel tersenyum tipis. "Kalau ada yang berani bully lo, bilang sama gue! Biar gue kasih sedikit pelajaran." Katanya.
"Pak bos pasti bakalan lindungin lo dengan super juga, Ra." Timpal Vano.
Zara diam saja. Ia melihat ke arah Farel sekilas lalu melirik sekitar dan tidak ada satupun kendaraan umum yang lewat.
"Ayo pulang sama gue!" Ajak Farel lagi.
"Emangnya nggak papa?" Tanya Zara, lagi.
"Nggak papa. Ayo!"
Akhirnya, Zara ikut pulang bersama dengan Farel dan diikuti oleh kedua teman cowok itu. Saat gadis itu naik ke motor milik Farel, ada beberapa cewek yang melihat ke arahnya dengan tatapan sinis dari dalam sekolah dan gerbang. Hal seperti ini bukan hal yang langka memang, siapapun yang dekat dengan Farel pasti akan di lihat dengan sinis. Zara tenang saja, karena di sini bukan dirinya yang meminta untuk pulang bersama dengan Farel, tetapi cowok itu sendiri yang mengajaknya.
Dua kali. Dua kali Zara pulang dengan Farel, dan rasanya tetap sama. Cowok itu mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, tidak kebut-kebutan. Zara sendiri tanpa di suruh sudah melingkarkan tangannya pada pinggang cowok itu. Bukannya genit, tapi Zara takut jika jatuh. Belum lagi jika Farel tiba-tiba melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Zara tersenyum. Ia kembali mengingat jika pulang bersama dengan Farel ternyata sudah dua kali. Ia kira ucapan terima kasih waktu itu adalah pulang bersama untuk pertama dan terakhir kalinya untuk mereka, ternyata tidak. Hari ini kembali terulang.