Kakek berdiri, dan terlihat pucuk senjata api yang menonjol di saku jasnya. Ia menatap tajam Maxim dan juga Vinca. Maxim bersikap santai bahkan masih dengan leluasa menghisap sebatang rokok.
Sedangkan Vinca, dia tertunduk malu dengan sebagian wajahnya tertutupi oleh rambutnya. Maxim meliriknya laku memandang remeh wanita yang ia nilai sok suci itu. Sementara itu Kakek memperhatikan mimik wajah keduanya.
Maxim terlihat tak berdosa, sedangkan Vinca terlihat begitu menyesali perbuatannya. Vinca sampai sesenggukan dan tak sanggup lagi untuk bicara. Lehernya terasa tercekat dan lidahnya kelu.
"Pak Doni, urus semuanya secepatnya. Malam ini juga mereka harus menikah, tidak bisa seperti ini terus dia mencoreng nama baik keluargaku," kata Kakek penuh dengan kemarahan. Ia menatap tajam Maxim seolah tengah beradu pandang.
"Huh!" Maxim menghembuskan asap rokoknya hingga sang Kakek terbatuk di buatnya.
Kakek yang kesal akan sikap Maxim seketika mencabut senjata apinya dan mengacungkannya di kening Maxim. "Matikan rokokmu atau kau yang ku matikan?"
Maxim menyesap rokoknya sekali lagi lalu mematikannya di asbak yang ada di meja. Ia kemudian melipat tangannya di dada dan menatap tajam Vinca. Sang Kakek pun menatap Vinca penuh tanya.
"Siapa gadis ini?" tanya Kakek Arman.
Alih-alih menjawabnya, Maxim justru menggidikkan bahunya. Dia juga terlihat tidak peduli akan sosok yang masih terisak itu. Jika saja, tidak karena rasa sayangnya terhadap sang Kakek, sudah tentu Maxim akan memilih pergi saat itu juga.
"Aku tidak tahu Kek," jawabnya kemudian.
"Nak, siapa namamu?" tanya Kakek Arman.
Vinca mengangkat kepalanya ia memperhatikan wajah Kakek dan cucu yang ada di hadapannya itu. "Aku Vinca Saleem."
Vinca berbicara dengan suara yang bergetar. Ia tampak ketakutan dan bimbang saat ini. Ia juga seolah tengah meratapi sesuatu yang baru saja pergi darinya tadi malam.
Pacarnya memang sedang marah karena Vinca terlalu sibuk akhir-akhir ini. Di kepalanya saat ini, Vinca memikirkan banyak hal dari mulai hubungannya, hilangnya keperawanannya dan juga bagaimana respon pacarnya jika mengetahui hal ini. Vinca seolah kehilangan kosa kata hingga ia kembali diam dan kembali tertunduk.
"Apa pekerjaanmu?" tanya Kakek.
"Dia jalang Kek," sela Maxim.
Vinca terhenyak saat Maxim menyebutkan dirinya sebagai jalang. Profesi yang paling dibenci oleh Vinca selama ini. Vinca menatap tajam Maxim alu kembali menatap penampilannya. Ia tersadar, dengan dia yang seperti itu, tidak salah jika orang lain menyebutnya sebagai jalang.
"Bukan, aku adalah seorang desainer Kek," jawab Vinca dengan menatap benci pada Maxim.
"Desainer apa? Sudah jelas kau adalah wanita pesanan ku. Memakai gaun merah dan rambut pendek sebahu. Apa kurang jelas?" kata Maxim.
Vinca menggeleng, nasib sial apa yang tengah menimpanya. Bagaimana bisa penampilannya sangat mirip dengan sosok jalang yang Maxim sebutkan? Vinca menatap nanar Maxim.
"Aku bukan jalang asal kau tahu!" Vinca memekik lalu menyerang Maxim. Ia berusaha memberikan pelajaran pada bajingan itu.
"Okey, kalau begitu kita buktikan saja. Aku akan menghubungi bawahan ku. Kita lihat mau mengelak apa lagi kamu," ujar Maxim yang kemudian berjalan menuju ke kamarnya untuk mengambil ponselnya.
"Nak, tolong jawab jujur Kakek. Apa pekerjaanmu sebenarnya dan berapa lama kamu mengenal cucuku?"
"Aku tidak mengenal cucu Anda dan pekerjaanku adalah perancang busana," jawab Vinca.
Kakek dapat melihat kejujuran di kata Vinca yang semburat merah berkabut kesedihan. Gadis itu telah hilang kesucian. Ia hanya bisa meratapi dalam diamnya.
Maxim kembali, dia menghempaskan bokongnya dengan kasar. "Buka telingamu lebar-lebar!" serunya di hadapan Vinca.
"Kek, kalau sampai terbukti dia pelacur. Aku tidak akan sudi menikah dengannya! Lebih baik aku menjadi jomblo seumur hidup."
Pletak!
Renyah suara tangan sang Kakek yang beradu dengan bagian belakang kepala Maxim. Kakek sangat marah saat mendengarkan ocehan cucu semata wayangnya. Cucu yang diharapkan menjadi penerus, justru berkelakuan minim.
"Sakit Kek," ujar Maxim mengeluhkan pukulan yang mendarat di kepalanya.
"Rasakan! Aku lebih sakit asal kau tahu, setiap hari menahan malu saat bertemu dengan rekan-rekanku. Semuanya hanya membicarakan kebusukanmu. Apa tidak bisa sekali saja kau hidup menjadi manusia berguna?" maki sang Kakek sangking geramnya.
Maxim me-loudspeaker panggilannya. "Hallo! Joy, katakan ciri-ciri wanita yang kupesan semalam."
"Tuan, semalam wanita itu tidak jadi datang karena sudah ada wanita lain yang menggantikannya. Aku pikir wanita semalam adalah pilihan Tuan secara langsung. Jadi aku hanya membayar wanita pesanan sebelumnya sepuluh persen dari tarif." Joy menjawab dengan lancar tanpa hambatan membuat Maxim menelan ludahnya kasar.
"Sebentar, aku kirim fotonya," ujar Joy yang kemudian diikuti dengan masuknya sebuah gambar wanita yang sama sekali tidak mirip dengan Vinca.
Maxim, Kakek, dan Vinca, semuanya hening. Diam tanpa kata dan hanya berbicara melalui tatapan mata. Mereka semua disibukkan dengan pikiran masing-masing.
"Sudah ku katakan, itu bukan aku! Aku bukan jalang!" seru Vinca di depan muka Maxim.
Maxim berdecih. "Cih! bukan jalang? Lalu mengapa kau memulai semuanya terlebih dulu? Kenapa kau mengajakku bahkan kau menyerahkan semuanya," kata Maxim yang membuat Vinca tersudut.
"Sudah cukup!" Kakek membentak keduanya. "Kau, pikirkanlah baik-baik. Aku ingin kalian menikah sekarang juga, jika kau wanita baik-baik tentu tidak akan menolak hal ini." kata Kakek pada Vinca.
"Dan Kau!" Kakek menunjuk Maxim menggunakan tongkatnya. "Kau jangan banyak bicara, lelaki jantan mempertanggung jawabkan perkataannya. Tepati ucapanmu bahwa kau akan menikah dengannya jika dia bukan jalang."
Maxim mengacak rambutnya kasar, ia sangat frustasi. Hanya bisa marah dan meledak dalam hati. Maxim kemudian pergi ke kamarnya.
Vinca tetap terdiam selama dua jam duduk bersama Kakek Amar. Lelaki tua itu tidak banyak bicara, ia hanya sesekali menatap sendu Vinca. Sementara Vinca, pikirannya menjadi rancu.
Vinca tahu benar saat ini adalah masa suburnya. Memang tidak sekali tanam bisa langsung tumbuh. Tetapi ia tidak mau jika sampai memiliki anak tanpa Ayah.
Dalam pikirannya, setidaknya anak yang ia lahirkan nantinya jelas siapa walinya. Vinca berpikir jauh ke depan. Memikirkan sesuatu yang belum tentu terlaksana. Pacarnya sudah tentu tidak akan menerimanya apa lagi sampai tahu bahwa dia hamil dengan lelaki lain.
Vinca mengangguk. "Baik, saya mau menikah dengan dia hanya sampai terbukti jika saya memiliki kemungkinan hamil. Dan bila dalam 3 bulan saya tidak hamil maka saya akan mengurus perceraian kami," kata Vinca yang justru membuat Kakek Arman tersenyum senang.
"Baik, baik," ujar Kakek menganggukkan kepalanya. "Pulanglah bersama orangku, dia akan mengantarmu dan menunggumu sampai kau kembali ke sini. Persiapkan dirimu," ujar Kakek datar.
Vinca kembali ke rumahnya yang ia bagi menjadi dua bagian. Lantai bawah sebagai butik, dan lantai atas sebagai tempat tinggal. Ia kembali dengan penampilan lusuhnya membuat Vina kebingungan.
"Kamu kenapa Dek?" tanya Vina pada Vinca dengan tatapan bingung. "Semalam kuminta kau untuk menjemput ku kenapa tidak datang?"
Vinca menatap tajam Vina, ia amat marah saat ini tetapi tidak bisa berbuat banyak. Vinca kembali menangis dan Vina langsung memeluknya erat. Ia begitu bingung saat ini.
"Katakan ada apa?" tanya Vina.
"Aku membencimu!" ujar Vinca teramat kesal.
"Hei, ada apa?" tanya Vina.
"Gara-gara kau aku kehilangan keperawanan!" Vinca menjerit meluapkan segala emosinya. Ia bahkan meremas kedua lengan Vina.
"Cerita sama Kakak, ada apa?" tanya Vina dengan lembutnya dengan terus berusaha untuk menenangkan sang adik.
Vinca menceritakan semuanya dan Vina ikut menangis. Ia sedih bagaimana bisa adiknya tertimpa kesialan karena dirinya. Vina berusaha untuk menenangkan Vinca.
"Apa kau sudah memikirkan semuanya matang-matang?" tanya Vina saat mereka ada di dalam mobil milik Kakek Amar.
Vinca menatap keluar jendela dengan air mata yang terus mengucur. "Ya, aku ingat betul bagaimana pesan mendiang ibu untukku agar menjaga kehormatan ku. Dan, aku tahu pasti bagaimana peraturan agama kita membahas soal ini. Kesalahanku adalah menjauhi-Nya dan sekarang dia menegurku."
Penuh sesal dan sesak di dada, Vinca melangkah dengan keraguan. Gadis yang memiliki impian menikah dengan kekasihnya itu justru berakhir menikah secara dadakan dengan orang yang belum ia kenal baik.
"Maafkan Kakak sayang, Kakak janji tidak akan mengulanginya lagi," ucap Vina penuh sesal dan derai air mata yang mengantar.
***
"Bagaimana saksi, sah?" tanya penghulu.
"Sah!" jawab serempak orang-orang yang ada di ruangan apartemen Maxim.
'Aku tidak menyangka jika keputusan orang lain yang sama sekali tidak ku kenal ini begitu berpengaruh terhadap hidupku. Aku menjalani ini, dan berharap ini bukan langkah yang keliru,' gumam Vinca yang menatap sedih hamparan atap dan lampu di malam hari dari jendela kamar Maxim.
"Kakak pulang ya, jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa hubungi Kakak secepatnya. Kakak minta maaf," kata Vina penuh penyesalan dan tulus.
"Aku sudah cukup besar untuk menjaga diri Kak, jangan khawatir. Aku sudah bersuami sekarang."
"Vi, Kakak akan terbang ke Hongkong besok. Kakak diterima mengajar di sana. Maafkan semua kesalahan Kakak ya?"
"Iya, aku sudah memafkanmu. Aku mau menikah hanya untuk mempertanggungjawabkan semua dosa-dosa ku pada Tuhan," kata Vinca.
Vina pulang paling terakhir, dan Maxim baru masuk ke kamar setelahnya. Maxim berdiri di samping Vinca ia membuka jendela lalu menyalakan rokoknya. Maxim sangat acuh pada Vinca, ia menganggap bahwa tidak ada istilah Istri yang tersemat untuk Vinca.
"Baca Map yang ada di meja itu lalu tandatangani." ujarnya tanpa melihat Vinca.
"Tidak perlu repot-repot, aku tidak akan menuntut apapun darimu. Bahkan jika aku hamil dan kita bercerai, aku akan menghidupi anak ini sendiri. Jangan khawatir, aku tidak akan menyentuh uangmu."
"Shit! Sombong sekali kau! Kau pikir seberapa banyak uangmu itu! Kau pikir aku tidak sanggup memberikan tunjangan kepada darah dagingku?" ujar Maxim yang berapi-api.
Vinca adalah gadis yang terlampau cuek untuk menyikapi segala hal. Namun terkadang ia juga memiliki sisi lemah yang tak ia tunjukkan pada semua orang. Vinca menatap datar Maxim lalu tersenyum getir.
"Bisa-bisanya aku menikah dengan orang yang tidak jelas seperti kau," gumam Vinca yang seketika membuat Maxim semakin marah.
"Bicara apa kau?" bentak Maxim pada istrinya yang mengacuhkannya.
'Sial seumur hidup baru kali ini ada orang yang berni melawan perkataanku,' batin Maxim marah.