Satu bulan semenjak kejadian itu. Maxim mengunci Vinca di dalam aprtemennya. Ia sama sekali tidak memberikan akses pada Vinca untuk bebas. Dan kali ini, ia pulang dengan membawa beberapa alat tes kehamilan.
Jeglek!
Pintu terbuka menampilkan Maxim yang pulang dalam keadaan berantakan dan bau alkohol yang menyeruak. Lelaki itu pulang bersama wanita yang entah apa asal-usulnya. Sungguh ini bukan hal yang lumrah pada suatu hubungan rumah tangga.
"Hei! Vivi!" seru Maxim yang mulai meracau dan tak jelas apa yang ia mau.
"Ambilkan aku air!" serunya memerintah padahal siapa yang ia suruh? Tidak ada, Vivi di jam 4 dini hari jelas masih terlelap.
"Bos, sudahlah jangan berteriak. Mungkin istrimu sedang tidur. Biar aku ambilkan ya?" ucap si wanita yang tak lain adalah bawahan Max di klub malam.
"Ah iya, memang hanya kamu yang mau melayaniku dengan baik. Kamu sangat pintar Mary," kata Max yang kemudian melepaskan pakaiannya sendiri di sana.
"Bos, ini minumnya."
Wanita bernama Mary dengan pakaian yang sungguh terbuka itu kemudian memberikan minuman. Namun, belum apa-apa Max sudah menariknya. Ia mencium dan melumat bibir bawahannya.
Max sungguh tidak memikirkan bagaimana perasaan istrinya. Vivi sebenarnya mendengarkan percakapan mereka dari semenjak Max memasuki apartemen. Namun ia sama sekali tidak ingin ikut campur atas urusan yang suaminya ciptakan.
Desahan, kecapan lidah yang bertukar saliva acap kali Vivi dengarkan semenjak ia menginjakkan kakinya di rumah itu. Hanya saja, ini lebih baik daripada Max yang nantinya akan meruda paksa dirinya. Setidaknya, Vivi tidak harus merasakan jamahan kasar suaminya.
"Ah," suara Mary mendesah memenuhi ruangan itu.
Sementara Vivi, ia menutupi telinganya dengan bantal. Ia merasakan sakit yang juga tak bisa dikatakan. Sakit yang luar biasa sebagai istri yang terabaikan.
Mereka masih bersenggama dan tidak puas lantaran melakukannya di sofa. Max dengan tanpa melepas pagutan dan miliknya yang sedang menancap kemudian menggedor pintu kamarnya. Ia tidak menyadari efek apa yang ia timbulkan pada mental sang istri nantinya.
"Vivi! Buka! Aku mau pakai kamarku!" seru Max di sela-sela permainannya.
Vivi seketika berdiri dan membuka pintu kamarnya. Ia pikir permainan suaminya tengah usai. Tapi tidak, saat ini dia menjadi penonton pada acara live tersebut.
"Awas, minggir!" Max mendorong keras tubuh Vivi hingga tersungkur ke lantai dan kepalanya terantuk sudut kursi kayu.
Vivi merintih kesakitan, tapi Max sama sekali tidak memperdulikannya. Max terus saja melanjutkan permainannya dan melayangkan tatapan remehnya pada sang istri. Sungguh kali ini Vivi tak ubahnya hanya seperti benda mati yang tak memiliki perasaan di mata Maxim.
Vivi mencoba bangkit dari posisinya. Ia merambat berpegangan pada kursi tadi. Betapa terkejutnya dia saat berdiri merasakan ada sesuatu yang dingin keluar dari liang miliknya.
Tidak banyak namun cukup membuat Vivi ketakutan. Cairan merah itu seharusnya keluar dua Minggu yang lalu. Tapi kenapa keluarnya sekarang?
Apa dia saat ini hanya haid biasa atau dia mengalami keguguran? Batin Vivi sudah berkecamuk tak menentu. Ia takut, panik dan gelisah.
Sambil merangkak menahan sakitnya, ia mencoba untuk mencari kunci dari saku celana suaminya yang berserakan di lantai. Namun sayang, Vivi tidak berhasil menemukan kunci dan juga remot pengaman rumah itu. Vivi menangis tersedu seorang diri bertemakan suara desahan yang menyakiti batinnya.
"Bagaimanapun aku ini istrinya. Tidak seharusnya dia seperti ini padaku, aku tidak pernah membayangkan hidupku akan menjadi seburuk ini, aku menyesal menikah dengannya," batin Vivi meratapi nasibnya.
Vivi benar-benar kesakitan sampai ia jatuh pingsan dalam keadaan meringkuk memeluk perutnya. Dua jam setelah itu, Max kembali merasakan haus. Ia bangun dari kamarnya dan mendapati Vivi yang tergeletak di samping lemari TV.
Bukannya menolong, Max hanya melewati Vivi begitu saja. Tidak puas karena melewatkan peluang untuk berbuat jahil, Max kembali lalu menyiram wajah Vivi dengan air yang ia bawa.
Vivi terbangun, karena terkejut. "Max, tolong aku." Vivi merintih.
"Apa urusanku? Kami itu kan wanita pembangkang. Kamu tidak mau patuh denganku kan? Lalu buat apa?"
"Max, tolong. Aku sakit, sungguh aku tidak kuat untuk berdiri. Perutku sakit," kata Vivi yang sudah terpaksa oleh keadaan kali ini hingga ia harus meminta pertolongan dari Maxim.
"Alasan saja! Kamu hanya berbohong kan? Kamu merencanakan sesuatu agar bisa kabur dariku kan?" tandas Maxim yang mendapatkan gelengan kepala dari Vivi.
"Sumpah tidak Max, tapi ini sangat sakit," keluhnya dengan air mata yang tak terbendung.
"Aku mohon, tolong aku." Vivi mencoba meraih kaki Maxim tetapi Maxim malah menendangnya kasar.
Vivi semakin tersedu dan hanya bisa pasrah kali ini. Sakit yang ia rasakan sungguh luar biasa. Vivi kemudian kembali pingsan dan masih meringkuk memeluk perutnya.
Sampai siang hari, Maxim terbangun dengan sendirinya dan ia mendapati Mary sudah tidak ada di sampingnya. Mary rupanya tengah menolong Vivi sebisanya. Ia juga tidak bisa keluar dari apartemen karena tidak mengetahui di mana remot Maxim.
"Ada apa kamu malah mau menolongnya?" bentak Maxim kuat-kuat. Suaranya menggema memenuhi ruangan.
"Bos, dia istrimu. Lihat dia sangat pucat, aku tidak tega melihatnya. Beberapa kali dia menolak bantuanku tapi aku melihat darah dari kakinya. Apa dia sedang hamil?" tanya Mary.
"A... apa? Hamil?" Maxim seketika tersadar. Ia terkejut bukan main.
"Apa benar katanya kamu hamil?" cecar Maxim yang kemudian sibuk memakai bajunya.
"Jawab apa benar kamu hamil Vi?" tanya Maxim sambil mengguncang bahu Vivi.
"Apa pedulimu? Abaikan saja, mungkin mati lebih baik bagiku," lirih Vivi menjawab pertanyaan Maxim.
"Jika kamu yang mati aku tidak peduli. Asal tidak anakku!" bentak Maxim yang kemudian memencet remot yang tenyata hanya tersimpan di saku jasnya.
Maxim dengan tergesa-gesa membawa Vivi ke rumah sakit. Segera ia mendapatkan pertolongan. Ada rasa sesal di hatinya saat melihat Vivi seperti itu karena ulahnya.
Tetapi Maxim tetaplah Maxim yang bersikap arogan dan tidak mau mengalah. Baginya yang salah itu tetaplah Vivi. Kalau tahu hamil, mengapa dia tidak bilang?
Dokter keluar dari ruangannya setelah selama dua jam menolong Vivi. Maxim dengan segera mendekat dan menanyakan kabar Vivi. Namun sebenarnya bukan soal Vivi yang ia cemaskan.
"Bagaimana keadaan istri saya Dok?" tanya Maxim.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Anda sekarang sudah bisa menemuinya," jawab Dokter yang kemudian berlalu.
Maxim, entah mengapa rasa bersalah itu seolah menghantamnya kuat-kuat. Ia bahkan merasakan lemas sekujur kakinya saat melihat Vivi yang hanya menatap hampa langit-langit. Maxim mendekat tetapi tidak berani untuk menyentuhnya.
"Apa kamu hamil Vi?" tanya Maxim dengan suara yang bergetar.
"Sudah tidak lagi, sekarang saat ini juga biarkan aku pergi. Aku sudah tidak mengandung anakmu. Carilah wanita lain. Aku akan mengurus tentang perceraian kita."
"Tidak, biar aku yang mengurusnya sebagai tebusan atas perbuatanku." Max pergi tanpa ingin tahu bagaimana keadaan medis Vivi.