"Jangan pernah berpikir untuk bisa lari dariku. Aku sudah mengtahui semua tentangmu. Kakakmu, hutang keluargamu dan juga bisnismu yang tengah mengalami krisis. Menurut denganku, lahirkan anak-anak yang sehat dan cerdas, maka hidupmu akan terjamin."
"Kau pikir aku ini binatang? Aku juga memiliki perasaan Max! Tidak ku sangka ternyata semua rumor tentangmu itu benar adanya. Cih! Aku menyesal menikah denganmu!"
Max tertawa terbahak-bahak, suara baritonnya menggema memenuhi kamarnya. Saat ini Vinca telah kembali ke kamar Maxim. Wanita kesakitan, ia bahkan sampai susah berjalan karena ulah Maxim.
"Semakin sering kau melawanku, maka semakin sering juga aku membuatmu susah berjalan. Tunduk dan patuh padaku maka akan mudah hidupmu," ujar Max yang kemudian pergi meninggalkan Vinca.
Air mata Vinca luruh begitu saja. Ia menangis terisak seoang diri. Sama sekali tiada siapapun di sana. Hanya dirinya sendiri yang tengah mengobati luka hati.
"Bodoh! seharusnya ak mendengarkan semua berita miring itu tentang dia yang tempramen, tentang dia yang arogan dan keras kepala. Jika sudah begini mau bagaimana?" gumam Vinca seorang diri.
Ia ingin membuat gugatan cerai, segera Vinca berusaha bangkit dan berjalan meski tertatih-tatih. Namun sayang, Maxim tidak akan bersikap ceroboh. Lelaki galak itu bahkan membawa ponsel sang istri ke kantor.
****
Saat dalam perjalanan, ponsel Vinca berdering menunjukkan nama si pemanggil, 'Dara'. Max mengernyitkan keningnya lalu mengangkat panggilan tersebut. "Iya, Halo!"
"Halo! Kak, eh kok laki-laki suaranya. Maaf ini siapa?" tanya Dara dengan sopannya.
"Aku majikan priamu, aku suami Vinca. Ada apa?" tanya Max dengan suara galaknya.
"Su, suami?" dara yang belum mengtahui pasal pernikahan Vinca seketika kebinguungan kala MAx menyebutkan bila mereka telah menikah. Di kepala Dara saat ini yang menyahuti adalah Rico, sebab Rico sudah ia kenal dengan baik sebagai ccalon suami Vinca.
"Oh Kak Rico?" celetuk Dara bak ular mencari pentungan.
Merah padam dan telinganya memanas saat dara malah mengira bahwa maxim adalah Rico. Seketika itu juga Maxim memarahi dara habis-habisan. Dia sangat tidak suka dengan anama 'Rico' mulai semalam.
"Apa katamu? Rico? Wah, Buka telingamu lebar-lebar pelayan butik. Jika kau masih ingin mendapatkan gaji bulan ni dan seterusnya, jangan pernah kau sebut nama itu lagi. Aku tidak suka!" Maxim membentak dara di ujung kalimatnya.
"Aku Maxim Alexander! Suami dari majikanmu. M-A-X-I-M! MAXIM!" MAxim menmbentak Dara lagi.
'Astaga segalak ini suami Kak Vivi? Nemu di mana dia model suami begini?' batin dara sambil mengusap dadanya berusaha untuk menenangkan diri.
Klutak! Maxim menutup panggilan lalu melemparkan ponsel Vinca ke sembarang arah. Ia kemudian melonggarkan dasinya dan menatap keluar jendela dengan tangan yang mengepal hingga buku-bukunya memutih. Sang sopir mulai ketar-ketir bila Maxim sudah begini. Hal itu pasti terjadi lagi.
Bugh! bugh! Bugh!
Maxim meluapkan emosinya dengan meninju jok bagian belakang sopir. Itulah yang menjadi kebiasaanya yang membuat si sopir memajukan punggungnya sebelum tinjuan itu mendarat. Lumayan juga 'kan rasanya jika terkena tinjuan Max?
"Mana ponsel istiku tadi?" tanya Max pada sopir yang hanya bisa melihatnya menggunakan spion dalam.
"Saya tidak tahu pak, tadi Bapak yang melemparnya asal," jawab si sopir pelan.
"Yang keras kalau bicara!" bentak Maxim marah.
Si sopir tergugup dan menengakkan punggungnya lagi. "Maaf Pak, saya tidak tahu!" serunya kemudian.
Maxim memindai ke lantai kabin dan dia menemukan ponsel Vinca. "Katakan selamat tinggal pada benda menjengkelkan ini Vinca," ujar Max yang kemudian melempar ponsel Vinca saat mobil tengah melaju.
Hancur sudah ponsel Vinca. Kali ini bisa dikatakan tamat riwayatnya. Tanpa ponsel itu dia bisa menghubungi siapa? Sungguh Maxim memperlakukan istrinya seperti tahanan saja.
"Cepat ke kantor sebelum saya lebbih marah dari ini." Max menatap tajam si sopir.
"I... iya Pak," jawab si sopir dengan teergaggap.
Maxim sampai di kantor dan semua karyawan menyambutnyya dengan hormat. Dingin kaku tiada sapaan balik yang bersahabat dengan telinga. Bahkan dari mereka semua menunduk tanpa berani manatap si Singa jantan.
"Divisi keuangan hari ini rapat akan segera di mulai. Segera siapkan laporan kalian!" Amir berseru kepada semua karyawan yang ada di depan kantor Amir.
"Harus sempurna tau akan ada lagi yang menjadi tumbalnya." Amir menggumam sambil menyusun berkas dan membawanya ke ruang rapat sembari memberikan kode kepada para bawahan agar mempersiapkann ruang rapat.
"Desi, jangan lupa minuman kesukaan Tuan," desis Amir saat berada di ruang rapat menata kebutuhann rapat.
"Apa Pak, yang mana? Wiski?" tanya Desi kebingungan pasalnya rapat seharusnya di adakan setengah jam lagi dan dari sekarang dia sudah mengaum seperti singa kelaparan.
"Ya, siapkan Wiski kalau kau mau dipecat hari ini juga. Semua minuman yang menjernihkan otak, segera kau siapkan sebelum dia menggigit lehermu seperti singa kelaparan," kata Amir dengan sorot mata tajamnya.
"Ba, baik Pak. Bagaimana kalau jus?"
"Iya, siapkan itu kalau kau mau menuju ke Neraka. Kopi, ice americano."
"Tanpa gula atau dengan gula?" tanya Desi dengan polosnya.
"Sejak kapan ice americano ada gulanya?!" bentak Amir yang sudah sangat marah dengan kepolosan Desi yang keterlaluan.
Desi segera berlari menuju ke cafe terdekat. "Astaga, aku bekerja di sini sudah seperti sedangg maggang di Neraka. Setiap hari melihat iblis berteriak-teriak," gumam Desi sambil berjalan cepat menyebrangi jalan depan kantor.
****
"Baiklah semuanya rapat akhir bulan kita mulai untuk membicarakan tentang keuangan perusahaan dan juga semua kebutuhan oprasional yang telah kita keluarkan seleama satu bulan ini," kata Amir yang belum selesai dan Max sudah berdiri denggan membawa kedua tangannya di saku cealana.
"Terlalu banyak basa-basi," protes Maxim lalu menyambar remote proyektor. "Aku sudah memeriksanya dan aku mencium ada yang berniat ingin merugikan perusahaan."
Semuanya menjadi tegang ketika Max sudah menyinggung soal merugikan perusahaan. Wajah mereka menjadi pucat tidak terkecuali Pak Dodi. Seketiika itu juga ia memainkan penanya.
"Pak Dodi!" seru Max memanggilnya membuat Dodi terkejut.
"Ada apa Pak?" sahut Pak Dodi.
"Anda adalahh orang kepercayaan Mama saya. Tapi menggapa akhir-akhir ini saya sering menjumpai kesalahan data dalam setiap laporan pengeluarran yang anda tuliskan?" tanya Maxim dengan raut wajah amat sangat tidak bersahabat.
"Tidak ada Pak, semua ini sudah sesuai dengan apa yang ada di lapangan," kata Dodi membela diri.
"Apa ini yang dinamakan sesuai?" tanya Maxim dengan kepala meneleng. "Satu minggu lalu perusahaan kita memberikan sumbangan terhadap korban bencana alam beriupa bahan pangan. Saya sudah memeriksa semuanya. Kamu terlalu banyak mengambil untungg Dodi," kata Max sambil menunjuk bahu Dodi menggunakan pena.
"Kitta memberikan sumbangan dua ton beras. 2000 x 9000= 18.000.000. Seharusnya itu pengeluaran kita. Tapi tidak, kamu menaikkan harga menjadi 12000 x 2000 = 24.000.000. Selisih 6 juta hanya untuk beras."
Max menyentuh bahu Dodi dan duduk di sampingnya. "Itu semua belum dengan minyak, gula, selimut dan juga alat belajar yang kita berikan untuk annak-anak korban bencana."
"Bagaimana? Enak rasanya menaiki mobil baru?" tanya Max sambil meneleng pada Dodi.
"Saya tidak seperti itu Pak. Itu semua hanya ulah orang yang iri dengan saya," Dodi masih membela diri.
"Haruskan saya membongkar semuanya di sini? Rasanya tidak pantas, biar para petugas yang melakukannya. Membongkar semua hasil korupsimu itu."