Kesepakatan tercapai dan kedua belah pihak kini berada di dalam kamar yang sama. Vinca menatap nanar kakinya yang tampak putih pucat tanpa balutan selimut. Sedangkan si pemabuk yang suka bermain wanita itu tengah terlelap dalam hangat balutan selimut.
"Kalau tidak ada kesepakatan itu, sudah pasti aku akan menendang bokongnya saat ini juga," ucap Vinca menggumam.
"Bicara apa kamu?" tanya Max yang menatap dingin Vinca
"Ah tidak, hanya saja kakiku kedinginan. Kau memakai semua selimutnya sendirian Max," kata Vinca berkilah. Ia menggerakkan ujung kakinya dan Max pun melihatnya.
"Oh," ucap Max yang kemudian menutupi kaki Vinca dengan selimut. "Kenapa jadi penurut dengan mudah?" tanya Max yang bagi Vinca hanya kicauan orang yang masih terpengaruh oleh alkohol.
Vinca kembali memejamkan matanya tanpa mau menjawab. Ia pikir Max hanya meracau. Siapa sangka kalau Max semakin mengeratkan pelukannya dan menempatkan kepalanya di leher Vinca.
"Max, geli," kata Vinca dengan tangannya yang mendorong kepala Maxim.
"Berani kau jauhkan kepalaku akan ku gigit lehermu!" kata Maxim mengancamnya.
"Dasar pemabuk!" ucap Vinca asal yang membuat Maxim kesal dan benar-benar menggigit leher Vinca membuat Vinca menjerit kesakitan dan menangis.
"Aaaa!" Vinca memekik kesakitan. "Max! sakit!" ujarnya marah. "Gila!" maki Vinca kepada Max.
"Itulah balasannya karena kau menyebutku sebagai pemabuk di hadapan calon anakku." Max mengusap perut rata Vinca.
'Ayolah, dia benar-benar sudah tidak waras. Kemana otaknya pergi?' batin Vinca.
"Oke, kita ambil jalan pintas. Aku akan memakimu habis-habisan di hadapan anakmu ini dan kau silahkan menghabisi ku. Aku dengan senang hati akan melakukannya," kata Vinca yang seolah menantang Maxim.
Maxim justru tertawa terbahak-bahak dan kemudian mengecup sudut bibir Vinca yang berdarah sisa semalam. Dengan lembut dan hangat dia menciumnya berkali-kali. Maxim seolah begitu menyukai Vinca saat ini.
"Wanita pembangkang," bisiknya. "Seburuk-buruknya aku, aku masih tetap menginginkan memiliki anak dan istri yang baik."
Kata-kata Maxim sangatlah egois. Dia menginginkan yang terbaik untuknya sedangkan dia sendiri tidak bisa berlaku baik dengan sekitarnya. Kakek Arman selama ini sudah sangata elah menghadapi sikapnya yang tidak terkendali ini.
Banyak uang dan lemah pengawasan di masa kecil membuat Maxim tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki 'tepo sliro' atau tenggang rasa tinggi. Dunianya dan kepalanya hanya berisi uang, uang dan uang. Sedangkan untuk urutan wanita, ia menempatkan sebagai permainan saja.
Pun, saat ini ketika ia tengah ersama Vinca. Baginya semua ini hanya mainan saja. dia bebsas memperlakukan wanita itu sesuka hatinya.
kesalahan Vinca di sini adalah mencoba peruntungan selama 3 bulan untuk membuat suatu keputusan. Vinca hanya tidak mau jika nanti ia memiliki anak tanpa ayah. Setidaknya dia hanya mengejar status untuk sang anak.
Namun, bila dia sadar sesungguhnya semua ini sudah di atur oleh Kakek Arman. Sedari Vinca pulang dari menghadiri acara peresmian restoran itu, kakek Arman memang telah membuntutinya. Melalui orang suruhannya dan siapa sangk jika sang target justru memasukkan dirinya ke dalam jebakan batman.
"Tidak bercermin kau rupanya," gumam Vinca yang sangat jelas di telinga Max.
"Apa maksudmu?" Lelaki berperawakan tinggi gagah dengan perut bertumpuk 6 bata itu menatapnya nyalang dengan mata yang memerah. Ya, lelaki galak itu sudah siap membentak Vinca.
Kebetulan, niatnya menjadi urung lantaran ponselnya berdering. Max kemudian melepaskan kungkungannya dan mengalihkan seluruh perhatiannya pada ponselnya. Vinca punsegera engambil kesempatan dengan berlari meninggalkan kamar.
Ia sudah sangat ingin keluar dari kamar itu. namun, sayyangnya rupanya Max yang berdiri di dekat nakas itu memencet remot yang mengendalikan semua kunci pintu di rumah itu. VInca berbalik badan dan menatapnya penuh kebencian.
"Buka pintunya!" kata Vinca dengan tatapan penuh amarah. Ia memerintah dengan setumpuk rasa kesal.
Tidak menjawabnya, Max hanya menggerakkan jari telunjuknya maju-mundur tanda agar Vinca mendekat. Vinca mendekat dan berniat ingin merebut remot itu. Tinggi mereka jauh berbeda dan Vinca kesusahan meraihnya. Ia naik pada sudut rananga dan berniat merebutnya.
Melihat itu Max seketika mematikan ponselnya dan menggendong Vinca layaknya karung beras. "Kamu sengaja iya, mau bertingkah supaya calon anak ini gugur?" Max membentak Vinca yangg juga menatapnya nyalang.
"Siapa yang mau begitu? Juga aku belum tentu hamil, aku hanya menunggunya selama satu buan ini. Jika satu bulan ini aku tidak hamil maka aku akan mengajukan gugatan cerai!" seru Vinca yang masih dalam posisi kepala terbalik.
Benar sekali, wanita itu masih seperti sekarung beras sekarang. Seolah tanpa beban Max membawanya masuk k adalam satu ruangan yang tidak memiliki furnitur atau bahakan lampu di dalamnya. Ruangan itu hanya nampak seperti kamar mandi dalam ukuran besar.
"Ma-mau apa kau bawa aku kemari?" Vinca ketakutan ketika Max menutup pintu ruangan itu yang terbuat dari besi.
Hanya ada sedikit cahaya yang menyelinap masuk melalui kaca tebal yang berukura kecil seperti loster. Ruangan itu terasa pengap dan mengerikan, Vinca yang sudah berdiri di gadapan Max tidak mau lepeaskan lengan baju lelaki yang sudah menjadi suaminya itu. Vinca memegang erat lengan Max yang hanya diam tanpa bicara.
"Coba ulangi bicara apa kau tadi?" tanya Max sambil mengguncang kedua bahu Vinca.
"A-aku takut," kata Vinca yang keberaniannya meredup.
"Tidak bukan itu, yang sebeumnya yang kau berteriak-teriak seperti orang gila tadi," pinta Max sambil menjentikkan jarinya seolah ia tengah berusaha mengingat sesuatu.
Vinca tergugup, dia menunduk dan terus memegang erat lengan Maxim. "Aku akan mengajukan gugatan jika satu bulan ini aku tidak hamil."
"Oh, begitu? Begitu rupanya?" Itu rencanamu? jangan mimpi!" kata Max yang kemudian emnutup dan mengunci pintu dari plat besi tersebut secara kasar membuat Vincca berjingkat.
Dalam kegelapan Max melakuka sesuatu yang seharusnya di lakukan dengan indah dan penuh cinta. Tapi tidak ada itu sama sekali kali ini. Maxim yang teranjur marah melakukan semuanya berlandaskan kemarahan.
Dengan kasar dia merobek baju Vinca. Vinca meronta dia mennagis dan mengiba namun MAx seolah tuli dan tetap melakukan apa yang sudah memenuhi kepalanya. Tubuh Vinca saat ini seolah menjadi candu untuknya.
Max kehilangan hasratnya terhadap wanita lain semenjak malam di mana dia menyetubuhi Vinca. Entah itu suatu berkah atau musibah, tetapi Vinca saat ini tengah menangis menahan lara. Ia sama sekali tidak bisa melakukan perlawanan yang berarti.
Liang hangat itu seolah membuat Maxim terhipnotis. Ia bahkan memainkan lidahnya di sana meski berkali-kali juga Vinca menjambak rambutnya dan berusahha lari. Max justru tertawa terbahak-bahak hingga suaranya mengegma di dalam ruangan pengap itu.
"Ah!" Vinca mendesah dan...