Vinca terlelap setelah ia lelah menangis seharian. Ia sama sekali tidak bisa fokus dalam pekerjaan. Sebagian pikirannya mengingat malam kejadian itu dan sebagiannya lagi mengingat saat bersamanya dengan Rico.
Tidak bisa dipungkiri, Vinca dan Rico sudah lumayan lama menjalin hubungan. Vinca merasa, apa yang ia katakan tadi sudah benar. Mengusir Rico tanpa menjabarkan bukti yang sesungguhnya.
Kini Vinca sedikit merasa tenang dengan keheningan suasana malam. Malam ini ia berencana untuk tidak pulang. Ia sangat malas untuk melihat wajah Max.
Sedangkan di sisi lain, Maxim juga kini tengah menikmati malam panjangnya bersama wanita panggilan. Maxim sama sekali tidak menggubris Vinca. Ia bermain seperti tiada beban derita dalam hidupnya.
Menghentakkan miliknya dalam-dalam dan juga kasar, Maxim memperlakukan wanita panggilan itu tanpa perasaan. Bahkan saat si wanita mengeluh pedih karena ketidaksiapan, Maxim malah semakin liar. Dia memaksakan sampai si wanita itu menangis kesakitan di bagian miliknya.
Apa ini? Dahulu Max tidak begini, dahulu dia suka kelembutan. tetapi sekarang? Tanpa ampun dia memimpin permainan tidak memberikan jeda sampai si wanita nyaris pingsan. Setelahnya, Maxim mendudukkan wanita itu dan menatapnya tajam.
"Cukup sekali kau mendengar suaraku. Jangan pernah bercerita apapun tentang malam ini terhadap siapapun. Jika sampai itu terjadi, aku akan merobek mulutmu!" kata Maxim dengan tangannya yang bergerak menyimpan semua data tentang si wanita panggilan yang tengah merasakan remuk sekujur badan.
Max menyesap rokoknya lalu membuangnya begitu saja. "Pergi dari sini!" usianya pada si wanita panggilan.
Belum puas dengan permainannya, Max masih dengan tubuh yang berbau alkohol itu kemudian pergi membelah jalanan kota menuju ke butik milik Vinca. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat ini. Mungkin kare pengaruh Alkohol, dia menjadi gila begini.
Ia menggedor pintu butik dengan kasarnya berkali-kali. Vinca yang tengah tertidur pun seketika terusik. Telinganya menangkap rungu bising dari pintu depan.
Pintu itu memang tidak pernah dibuka lagi jika sudah tertutup dan Vinca harus memutar ke pintu belakang untuk membukanya. Ia memutar arah dan melihat Maxim dalam keadaan kacau. Benci, memang Vinca sangat membenci pria pemabuk itu.
Namun, bukan pembalasan dendam yang orang tuanya ajarkan. Vinca di ajari untuk bersikap baik meskipun balasannya belum tentu sama. Ia kemudian mendekati Maxim.
"Max," panggilnya dengan menepuk bahu Maxim.
"Eh, istriku datang," kata Maxim sambil cengengesan. Ia kemudian memeluk dan mencium pipi kanan dan kiri Vinca.
Vinca kebingungan melihat Maxim yang sudah mabuk berat. Ia tidak tahu harus melakukan apa kali ini. Vinca mencoba untuk menyadarkan Maxim, ia menepuk pipi Maxim yang justru semakin dalam meracau.
"Hemmhh, istriku," Maxim mengendus aroma tubuh Vinca dalam-dalam. Ia bahkan menempelkan bibirnya di kening Vinca dan menciumnya lama.
"Emmahh! Aku sangat suka aroma ini, bau ini membuatku merindukanmu!" kata Maxim yang membuat Vinca semakin ternganga tidak percaya.
"Ke mana saja kau seharian ini? Aku sangat merindukanmu!" kata Maxim kemudian memeluk erat Vinca seolah ia memang sangat mencintainya.
"Ayo ku antar pulang. Kau sudah mabuk berat." Vinca tidak menjawabnya dan kemudian menuntun Maxim untuk kembali masuk ke dalam mobilnya.
"Jawab aku dulu, kamu ke mana?" tanya Maxim yang berlagak seperti anak kecil yang merajuk.
Maxim menghentakkan kakinya beberapa kali dan dia menggelepar di tanah. Sangat mirip seperti anak kecil yang berdemo melakukan unjuk rasa terhadap ibunya. Vinca hanya menungguinya tanpa banyak bicara.
Vinca hanya diam dan seolah membiarkan Maxim meluapkan semuanya. Maxim bergerak seperti sedang berenang menuju ke arah Vinca. Sesekali Vinca tertawa melihat tingkah absurd suaminya itu.
"Sebanyak apa kau minum sampai seperti ini?" gumam Vinca.
Maxim berhasil meraih kaki Vinca dan kemudian menyandarkan kepalanya di lengan Vinca. "Kenapa diam saja dari tadi? Apa kau sariawan?"
Maxim kemudian menangkup wajah Vinca dan dengan sesuka hati dia mengobok-obok mulut Vinca. "Coba Aaaaa!" ujarnya dengan melihat rongga mulut Vinca.
"Tidak ada apa-apa, mulutmu bersih. Apa kau sakit gigi?" tanya Max lagi.
"Tidak, Max. Ayolah kita pulang ya," Vinca lelah dan membujuk Max. Ia sudah sangat lelah kali ini, tapi satu yang ia simpulkan dari kejadian malam ini.
Max tengah berpadu dengan inner child miliknya. Ia tengah berada pada jiwa kecilnya yang ceria dan ramah. Vinca merasa kasihan lalu mengusap bahu Max.
"Max, kita pulang ya? Kita tidur saja di rumah, jangan di sini."
"Tidur? Tapi janji kau akan menemaniku tidur sampai pagi?"
"Iya aku janji," jawab Vinca yang kemudian membawa Max masuk ke dalam mobilnya.
Baru saja selesai memasukkan dan mendudukkan Max. Vinca dikejutkan dengan hadirnya Rico yang berdiri menatapnya dengan mata merah. Rico juga terlihat tidak baik-baik saja.
"Rico?" ucap Vinca menyebut nama seseorang yang baru saja beberapa jam lalu marah padanya.
Rico datang dan kemudian memeluk Vinca. "Aku tidak bisa melepaskan mu!" ucap Rico sambil menangis.
Vinca bala memeluknya erat. Sejujurnya dia juga sangat merindukan sosok lelaki ini. Vinca lalu menangkup wajah Rico dan bertanya padanya.
"Kau mabuk? Co, jangan seperti ini," kata Vinca mengiba. Ia sangat kasihan melihatnya.
"Jangan pergi dariku. Kita balikan ya?" ucap Rico dengan nada bicaranya yang sangat mengharapkan belas kasih.
Maxim marah melihat Rico memeluk erat istrinya. Ia seketika turun dan langsung meninju wajah Rico tanpa aba-aba. Rico terpental dengan darah yang mengucur dari hidungnya.
Rico bangkit dan membalas pukulan Max. Keduanya beradu jotos dengan mulut yang tak berhenti mengoceh. Seperti berada di atas ring tinju, keduanya saling meninju dan tak bisa di hentikan.
Vinca memekik keras. "Hentikan!" serunya dan sama sekali tidak memberikan efek apapun.
"Berani kau menyentuh istriku!" ujar Max mengamuk.
"Kau, kau yang merebutnya dariku! Dia pacarku!" seru Rico yang kemudian membalasnya.
Maxim yang merasa bahwa dirinya ini lebih berkuasa dari pada Rico kemudian memberikan pukulan kerasnya berkali-kali. Rico yang secara usia jauh lebih muda pun dengan mudahnya membalik keadaan. Dia membalas sebisanya dan membuat bibir Max pecah berdarah-darah.
Tidak ada pilihan, Vinca kemudian melerai keduanya dengan menarik Rico kuat-kuat. Rico menangkisnya dan tidak sengaja mengenai pipinya. Vinca tersungkur dengan sudut bibirnya yang berdarah.
Rico seketika berhenti menghajar Maxim saat tahu bahwa ia tak sengaja melukai Vinca. Dan Maxim seketika bangkit saat melihat Vinca terluka. Entah mengapa ia merasa memiliki kekuatan lebih untuk melindungi istri kontraknya ini.
"Kurang ajar!" serunya yang kemudian meraih kerah baju Rico dan hendak menghantamnya lagi.
"Jangan! Sudah, sudah aku mohon. Kita pulang saja," kata Vinca yang kemudian memeluk Max untuk memisahkan keduanya.
Namun, pelukan itu Rico anggap sebagai bentuk tindakan lainnya. Ia menganggap bahwa Vinca memang sangat mencintai suaminya itu. Rico mengepalkan tangannya lalu pergi meninggalkan keduanya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Max pada Vinca yang tertunduk dengan tubuh lemas setelah kepergian Rico.
Vinca menggeleng dan mengusap air matanya yang jatuh. "I'm good," jawabnya.
***
Pagi harinya, Vinca menepati janjinya semalam. Ia menamai Max tidur meski dengan perasaan canggung dan juga risih. Tetapi, ia tidak mau menambah masalah lagi dengan menolak kemauan suami kontraknya itu.
Vinca hendak terbangun tetapi ia merasakan lemas sekujur tubuhnya. Ia merasa ada yang aneh pada dirinya. Tidak tahu apa itu, tetapi perasaannya mengatakan bahwa ini adalah tanda-tanda awal kehamilan.
Tangan Max melingkar posesif di atas perut ratanya. Perlahan Vinca mencoba untuk bangun dan melepaskan pelukan Max. Tetapi, lelaki itu justru berbicara tepat di telinga Vinca.
"Selama kita menikah kontrak, jangan pernah berencana untuk mencoreng namaku. Patuh dan menurut apa kataku atau aku tidak sungkan untuk melakukan hal nekat di belakangmu," kata Max yang membuat Vinca merinding.
"A-apa maksudnya?" tanya Vinca terbata-bata syarat akan rasa takut yang nyata.
"Lelaki semalam, siapa dia?" tanya Max membuat Vinca menelan ludahnya perlahan.