Vinca melanjutkan aktifitasnya paginya tanpa tersendat sama sekali. Lelaki yang telah menikah dan menjadi suaminya itu masih terlelap meski jarum jam telah menunjuk pukul 8 pagi hari. Vinca pergi menuju butik tanpa pamit pada Maxim.
Sampai di butik, ia seperti biasa disibukkan dengan pengunjung dan juga pekerja. Vinca tidak mengeluhkan itu, yang ia keluhkan adalah sebuah kertas yang tergeletak di meja diikuti dengan sebuah pesan yang masuk. Vinca mengusap wajahnya perlahan.
Ia duduk mengahadap ke sebuah foto keluarga yang terlihat bahagia dengan tertawa bersama. Vinca menghela napasnya kasar, betapa banyak beban yang ia tanggung hari ini. Setelah uangnya habis untuk membayar tagihan minuman sang Kakak.
Kini,tagihan pelunasan biaya rumah sakit kedua orang tuanya pun masuk ke dalam ponselnya. Ia hanya bisa pasrah menatap nominal lyang bisa dibilang tidak sedikit. Vinca melakukan transaksi pembayaran via M-Banking.
"Hallo, Tante," sapanya pada seseorang yang tak lain adalah orang baik yang dahulu menanggung semua biaya pengobatan ayah dan ibunya.
"Iya, hallo Vivi. Bulan ini sudah selesai ya," ucap si tante langsung pada intinya.
"Iya Tante, terima kasih sudah bersedia membayarkan dulu biaya tagihan ini."
"Sama-sama, Tante juga tahu betapa sulitnya keadaan kalian waktu itu dan orang tua kalian adalah sahbat baik Tante."
"Iya, terima kasih banyak Tante," kata Vinca yang kemudian berbincang ringan bersama sahabat sang Mama.
Vinca memijit keningnya, kepalanya mulai berdenyut memikirkan setumpuk masalah yang ia hahadapi. Memang sudah lumrah saat ini hamil di luar nikah. Tetapi, Vinca tidak seperti itu, ayah dan ibunya menanamkan budi baik.
Urusan agama selalu membuat Vinca yang lemah kembali tegar. Ia percaya, yang hidup itu bukan hanya raga. Tetapi ruh juga, Vinca tidak mau membuat jiwanya mati dengan banyaknya dosa yang mengelilinginya. Ia menatap kembali galerinya lalu menghapus foto-fotonya bersama Rico.
Sipa sangka jika hari itu juga Rico datang untuk menuntut penjelasan. Meskipun dia yang semalam memutuskan hubungan. Namun, hati kecilnya tetap tidak mempercayai alasan Vinca.
Rico datang dan langsung menuju ke lantai atas. Vinca tidak menggambar apapun hari ini, suasana hatinya mempengaruhi cara kerja otaknya. Dia hanya mencorat-coret kertas dengan tatapan hampa.
"Vi," panggil Rico yang seketika membuat Vinca menoleh dan tersadar dari lamunanya.
"Berikan penjelasan padaku sekarang juga, kenapa kau berubah secepat ini?" tanya Rico tanpa banyak basa-basi.
"Kenapa apanya? Sudah ku katakan tadi bukan, aku ingin fokus pada proyek itu. Aku tidak akan punya waktu untuk menemuimu lagi," kata Vinca yang sudah pasrah jika semuanya akan terbongkar begitu saja.
Aneh, sangat aneh, Rico hanya bisa menghela napasnya dalam-dalam. "Itu bukan alasan yang pas, dahulu kau selalu sibuk, tetapi selalu punya waktu buatku. Vi, kita mau menikah," tandas Rico.
"Sudah tidak bisa Co, kau sudah memutuskan hubungan kita. Hubungan kita sudah berakhir semalam, apa kau lupa?"
"Tidak, ini pasti karena kau telah memiliki yang lain di hatimu. Iya 'kan?" tebak Rico tepat sasaran. "Vi, katakan! Ada apa sebenarnya?"
"Iya, ada yang lain. Aku sekarang sudah menjadi istri orang. Puas kau?" jawab Vinca yang seketika membuat Rico tertegun. Bagaikan di sambar petir di siang hari, Rico mematung beberapa detik.
Lelaki yang memilki paras keturunan cina itu hanya mematung. Ia berusaha untuk mencerna ucapan Vinca. Ia masih tidak percaya jika semua ini adalah nyata.
"Nggak, ini bohong!" Rico menggeleng.
"Tidak aku tidak bohong Co, aku serius, aku jujur," kata Vinca dengan penuh penekanan. "Lihat ini, ini cincin pernikahanku. Tadinya aku tidak mau melukaimu sampai sejauh ini, tetapi aku butuh uang Co."
"Uang? kenapa tidak bilang Vi? Aku bisa memberikan berapapun yang kau inginkan!" seru Rico dengan amarahnya yang meledak saat ini.
"Tidak, tidak akan bisa sebanyak yang Maxim Alexander berikan untukku. Kamu pikir dari mana semua modal usaha butikku ini? Dari mana aku bisa bergabung dan menjual tas-tas branded original itu? Darimana?" kata Vinca yang hanya mengada-ada semata-mata untuk membuat Rico muak dan meninggalkannya.
"Jadi kau menikah dengannya secara diam-diam?"
"Tidak diam-diam Rico, pesta pernikahan kami akan di gelar 3 bulan lagi. Dia berada di balik semua usahaku ini, bahkan hubunganku dengannya jauh lebih lama dari pada hubungan kita," kata Vinca yang lagi-lagi berbohong.
"A-apa?" Rico terbata-bata. Ia tidak mempercayai rungunya.
"Iya, asal kau tahu. Diantara wanita panggilannya, hanya aku yang berkesan di hatinya. Memang sebelumnya kami tidak ada ikatan ataupun status yang jelas sampai akhirnya kita bertemu. Tetapi, dia tidak ingin aku dimiliki lelaki lain," ucap Vinca yang semakin membuat geram Rico.
"Dia menikahiku segera setelah mendengar aku mengatakan soal rencana pernikahan kita." Vinca berbicara seolah tiada kesedihan ataupun penyesalan di matanya.
"Dia lebih segalanya Rico, lebih," kata Vinca yang sontak membuat Rico pergi membawa sejuta kemarahan.
Brak!
Rico pergi membanting pintu ruang tamu Vinca. Setelahnya Vinca menangis tergugu menyesali segala ucapannya. Namun ini lebih baik dari pada Rico tahu yang sesungguhnya bahwa Vinca tengah menunggu masa hamil itu tiba.
Sementara itu di tempat lain, Max baru saja terbangun dari tidurnya. Ia menatap linglung sekelilingnya lalu kembali berbaring. Perlahan ia ingat jika dirinya sudah menikah.
Dipandanginya gelang merah yang melingkar di pergelangan tangannya. "Nenek bohong 'kan? Mana bisa sebuah gelang menuntunku pada jodohku yang bisa menyembuhkanku?" gumamnya.
"Kemana wanita itu?" Max mendengarkan dengan seksama dan mengamati sekitar ruangan. Tidak ada, sama sekali tidak ada. Max kemudian berjalan menuju ke dapur masih dengan baju kerja yang ia kenakan.
"Baguslah kalau dia sudah pergi, melegakan sekali." Max menghirup udara segar dalam-dalam lalu menghembuskannya.
"Ah, laparnya," gumamnya sambiil menggaruk lehernya yang tak gatal. "Apa ini? Dia meninggalkan makanan untukku? Mau merebut hatiku lalu meminta gono gini dengan alasan anak?" ucapnya menerka.
"Cih!" decihnya. "Klasik sekali caranya," cibirnya yang kemudian duduk dan menyantap bubur buatan Vinca.
"Meskipun makanan buatanmu ini enak, aku tidak akan terpengaruh. Tidak ada gono-gini dan hak asuh anak, anak itu akan ku asuh sendiri. Buat apa dia yang mengasuh, sudah jelas secara ekonomi aku lebih berkali-kali lipat dari pada wanita itu," ujar Max dengan sombongnya. Ia membanggakan seluruh harta yang ia punya.
"Tapi ke mana dia sekarang?" Max memindai seluruh ruangan dan kemudian mengkotak-atik ponselnya. Ia bingung sendiri saat melihat banyaknya nama wanita yang ada di dalamnya.
"Ah, salah ponsel," gumamnya lalu kembali ke kamar dan mencari ponselnya yang satunya yang berisi nomor-nomor penting.
Max memang bajingan, dia bermain dengan banyak wanita. tetapi dia sangat profesional dalam hal ini, ia selalu menempatkan nomor para jalang dikumpulannya sedangkan nomor keluarga dan kolega ada di ponsel utama. Kurang lihai bagaimana lagi dia, menjadi player sudah tahunan membuatnya menganggap semua ini biasa saja. Tidak ada dosa dalam bercinta, begitu kamus terlarang itu ia ciptakan.
"Nomornya berapa? Percuma 'kan kalauaku punya istri tetapi tidak di fungsikan?" gumamnya yang kemudian menghubungi Pak Doni.
"Halo Pak,"
"Iya Tuan Muda," jawab pak Doni.
"Aku minta nomor wanita itu."
"Wanita yang mana?" tanya Pak Doni kebingungan jika sudah menyinggung soal wanita sudah pasti akan ada banyak nama di dalamnya.
"Wanita yang kunikahi kemarin, aku tidak tahu nomor dan namanya."
"Anda sudah menikah dengannya, mana bisa lupa namanya?"
"Bisa, aku bisa lupa namanya, semalam aku mabuk dan lupa semuanya," kata Max yang membuat pak Doni menggeleng perlahan.
"Baik, ku kirimkan nomornya. Pesan Kakek, anda di minta untuk menjaga Nona muda baik-baik," kata Pak Doni yang menyampaikan pesan Kakek Arman yang berada di sampingnya.
"Iya," jawab Max malas.