"Oh, ternyata kau mempunyai gangguan pendengaran? Aku bilang aku sanggup dan mampu untuk menafkahi anakku ini. aku tidak butuh uluran tanganmu," kata Vinca dengan menatap datar dan dingin Maxim.
Api permusuhan itu kian berkobar, suami-istri itu menunjukkan betapa tidak sukanya mereka satu sama lain. Maxim kemudian pergi meninggalkan apartemenya. Sedangkan Vinca hanya diam menatap hampa seisi ruangan dan terlelap.
Terlalu lelah bagi Vinca untuk menanggapi setiap apa yang Maxim teriakan. Sebenarnya, setiap pria itu berteriak atau memarahinya, hati Vinca menjadi lemah dan bergetar. Air matanya siap luruh dan tumpah. Namun, sebisa mungkin ia terlihat tegar dan kuat di hadapan Maxim agar tak semakin ditindas.
***
Di dalam ebuah klub malam, maxim tengah memarahi Joy habis-habisan. Beberapa barang sudah berhamburan sebagai bentuk luapan. Maxim sangat membenci suatu ikatan pernikahan krena ia pernah gagal sebelumnya dan membuatnya terluka dalam.
Karena hal tersebut, Maxim menjadi salah arah dan ingin membalaskan rasa sakit hatinya kepada setiap wanita yang ia pakai. Dengan caranya, dengan caci maki saat bercinta, Maxim melepaskn hasratnya. Pria berwajah tampan itu tengah kehilangan jati dirinya semenjak 8 tahun yang lalu.
Maxim pernah menjalin cinta dan berniat untuk serius dan menikah diusia muda. Siapa sangka wanita yang ia puja dan cinta yang selalu ia banggakan membuatnya hancur lebur. Saat hari pernikahan, wanitanya kabur dan beredar satu video yang wanitanya lakukan bersama pria asing di sebuah situs internet.
"Selamat Bos, akhirnya kau menikah juga," kata Joy yang kemudian mendapatkan amukan berupa pukulan di perutnya.
"Selamat katamu? Kau tidak tahu siapa wanita yang kunikahi itu? Di adalah wanita sombong dan pembangkang juga keras kepala yang pertama aku temukan masih hidup di Bumi ini," ketus Maxim menggebu sampai urat-uratnya terlihat bergurat.
'Baguslah akhirnya ada juga makhluk yang menandingi sifatmu yang galak itu. Tidak cuma kau di muka Bumi ini yang berkuasa,' batin Joy yang kemudian mendapatkan tepukan keras di belakang kepalanya.
"Bicara apa kau? Coba yang lantang!" bentak Maxim pada Joy dengan matanya yang berkilat amarah.
"Ti tidak Bos, mana berani aku menggerutu di belakang mu? Tidak, aku tidak bicara apa-apa," kata Joy dengan gugup.
Selalu saja setiap Joy tengah membatin atau memikirkan sesuatu, Maxim pasti bisa menebaknya dengan tepat. Maxim memang memiliki satu kemampuan yang sangat ingin dia hilangkan dari dulu. Dia sering mendengarkan isi hati seseorang secara tidak sengaja dan dia sangat membenci hal itu.
Namun, ia tidak pernah bisa mendengar isi hati orang yang berniat jahat padanya. Maxim hanya mampu mendengar kadang kala dan secara acak. Ia sangat berharap suatu hari nanti pendengarannya tentang batin seseorang itu akan menghilang.
Ia ingat bagaimana dulu Neneknya memberikannya sebuah gelang. Neneknya bilang suatu saat nanti jodohnya bisa menyembuhkannya. Jodoh tersebut bisa menyembuhkan separuh hati Maxim yang terluka.
Maxim melihat gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. 'Kapan Nek, kapan jdohku datang? Nenek bilang jodohku akan menyembuhkan setiap lukaku? Kapan Nek?' batin Maxim menatap sendu gelang tersebut.
"Ambilkan aku minuman yang paling keras sekarang! Kepalaku sudah mau pecah memikirkan pernikahan ini!" seru Maxim memberikan interupsi pada Joy.
Dengan segera, Joy berlari meninggalkan Maxim. Tak lama Joy kembali dengan membawakan beberapa pelayan klub dengan pakaian yang terbilang seksi. Joy sangat paham dengan kebiasaan Maxim.
Maxim sangat marah kali ini. Sebelah sisi hatinya merasa kecewa yang amat sangat sebab wanita yang di nikahinya ini tidak sama seperti wanita yang sering hadir dalam mimpinya. Mengenakan gelang yang sama dan berambut panjang. Hanya saja wajah si wanita tersebut tidak terlihat jelas.
"Silahkan Bos, mau pilih yang mana?" tanya Joy dengan mengulurkan ponselnya.
Berisi dengan gambar-gambar wanita cantik yang sudah siap panggil. Hanya saja, Maxim tidak pernah bermain dengan wanita yang sama. Ia juga selalu menutup wajah lawannya dengan sebuah topeng agar tak bisa mengingat wajah wanita yang ia garap.
Sayangnya, dengan Vinca Maxim menjalankan sesuatu di luar kebiasaanya. Ia meluppakan semuanya karena pengaruh alkohol sama dengan Vinca. Hanya saja Vinca intoleran sedangkan Maxim sangat tinggi toleransi dengan alkohol. Walupun mabuk Maxim masih bisa mengingat semuanya secara jelas.
Maxi tetap diam dengan wajah dinginnya. Sebagian dari wanita yang Joy datangkan itu ketakutan bahkan untuk sekedar menyentuh Maxim. Mereka ketakutan melihat sorot mata tajam si Bos.
"Aku membayar agar kalian semua melayaniku, menyentuhku!" bentaknya kuat sambil menunjuk kepala salah satu wanita (menoyor).
"I iya Bos," jawab seorang wanita yang kemudian mendekat dan mendapatkan serangan brutal dari Maxim.
Maxim mencium dan dengan tangan yang sudah tak terkondisikan. Ia melumat dan menggerayangi seluruh bagian tubuh wanita tersebut. Tetapi, bebrapa detik setelahnya ia mendorong wanita tersebut.
"Damn!" umpatnya.
Maxim mengingat wajah Vinca di malam mereka melakukan penyatuan. Bukan hanya Wajah tetapi seluruh lekuk tubuh Vinca seolah telah melekat di otaknya. Maxim mendorong tubuh wanita itu dan membentaknya.
"Pergi! Aroma tubuhmu membuatku ingin muntah!" sarkas Maxim memaki si wanita panggilan.
Serempak wanita-wanita itu bergidik dan meninggalkan Maxim. Maxim terus saja minum sampai ia tak sadarkan diri di ruangan pribadinya itu. Dini hari, Joy berkali-kali mengetuk pintu dan tidak mendapatkan jawaban.
Maim sudah tertidur di lantai hingga pukul 3 dini hari. Joy kemudian mengangkatnya dengan bantuan beberapa penjaga klub. Mereka kemudian mengantarkan Maxim pulang.
Lama mereka mengetuk pintu dan tidakada jawaban. Joy terpaksa membuka pintu dengan kode yang ia ketahui. Pasword pintu belum diganti. Joy membawa Maxim ke dalam kamarnya dan melupakan bahwa Bosnya itu telah beristri.
"Kalian siapa?" tanya Vinca tertegun melihat para pria masuk dengan membawa Maxim yang terlihat tidak sadarkan diri.
"Oh Bu Bos, maaf saya lupa kalau Pak Bos sudah beristri. Saya Joy, orang kepercayaan Pak Bos di klub," jawab Joy yang denga susah payah menata dan meletakkan Maxim sampai melepas sepatunya.
Vinca tidak bicara apa-apa, ia masih terkejut dan syok dengan kedatangan beberapa orang tersebut. Ia kemudian hanya diam dan turun dari ranjang masih dnegan mengenakan kebaya yang tadi ia pakai saat ijab kabul. Joy hanya menggidikkan bahunya acuh, benar juga rupanya kata Maxim jika wanita yang dia nikahi itu adalah wanita yang sombong.
"Bu Bos, saya pamit undur diri!" seru joy pada Vinca yang masih berada di dalam kamar mandi.
"Hem!" sahut Vinca yang ternayat masih menyikat giginya di dalam kamar mandi.
Vinca keluar dan melihat sosk Maxim yang tertidur dengan posisi berantakan. Vinca kemudian memakaikan selimut dan melepaskan jas Maxim. Ia kemudian menatap datar wajah Maxim.
'Bisa-bisanya aku menikah dengan dia,' batin Vinca menggmam.
"Panas!" keluh Maxim kemudian membuka kembali selimut yang menutup sebagian tubuhnya. Ia membukanya dan kemudian menghadap ke Vinca yang masih menatapnya.
Vinca menatap penuh arti sosok yang tengah tertidur itu. Ia kemudian mengusap perutnya dan menitikkan ar matanya. Vinca hancur, ia sangat sedih sat ini.
Jika sampai dia hamil, maka akan sangat malang sekali nasib anaknya memiliki Ayah pemabuk seprti ini. Vinca menyeka air matanya dan pergi menuju ke dapur. Walaupun sedih, ia tetap aja ingat jika dirinya butuh asupan makanan.
Sedari siang, dia sama sekali belum makan. Ia larut dalam masalah yang tengah menimpanya kali ini. Ia tidak pernah menduga jika semuanya akan menjadi kacau dan rumit begini.
Vinca menangis mengingat masa-masa indahnya bersama Rico sang kekasih. Ia berkali-kali menyeka air matanya yang jatuh. Vinca terlihat begitu tertekan, berkali-kali dirinya juga mengusap perutnya yang rata.
"Papa, Mama, maaf aku telah mengecewakan kalian. Maafkan aku jika nanti aku menjadi ibu tunggal untuk cucu kalian," gumam vinca dalam kesedihannya.
Entah apa rasanya kini makanan Vinca bercampur dengan air mata. "Kak, terima kasih untuk luka yang kau beri," ucapnya getir.
Selesai makan, Vinca kemabli termenung di ruang tamu. Dalam gelap, Vinca meringkuk sambil mengusap perut ratanya. Ia masih belum siap, tetapi mengapa hatinya selalu berbisik jika dirinya akan segera menjadi ibu. Vinca sedang terpuruk dan dia menghadapinya sendiri.
Siapa sangka dalam sedihnya itu ponsel miliknya bergetar. Vinca tersenyum kecut dan mengangkat panggilan tersebut. Ia tidak menyangka kekasihnya itu menghubunginya di jam seperti itu.
"Vi, kamu dari kemarin tidak menghubungiku, kenapa?" tanya Rico.
"Co, maaf, aku tidak punya waktu. Aku sibuk membahas kontrak baru," jawab Vinca berbohong.
"Sesibuk itukah sampai tidak memiliki waktu untukku dari kemarin?"
Vinca mengusap air matanya. "iya, aku sangat sibuk dan mungkin beberapa bulanini aku tidak punya waktu untuk menemuimu."
"Begitu? Jadi pekerjaan lebih penting bagimu dari pada huubungan kita ini?" taya Rico dengan setumpuk rasa kecewa.
"Iya, saat ini iya. Aku mencintai profesiku dan penghasilanku." Vinca menjawab dengan air mata yang luruh membasahi pipinya. Ia terpaksa berbohong dan berkata kasar melukai perasaanya sendiri dan juga Rico.
"Fine, kita akhiri saja semuanya. Aku tidak menyangka sama sekali jika uang dan mimpimu itu bisa merubahmu menjadi egois seperti ini. Kau tahu aku menunggumu seharian ini, aku sampai seperti orang gila saat berkali-kali memeriksa rumah dan butikmu."
"Aku tidak pernah menyesal pernah mengenalmu, hanya saja aku merasa kita tidak lagi satu frekuensi. Terima kasih untuk semuanya," kata Rico yang kemudian menutup panggilannya.
Vinca kembali menangis tegugu sambil memeluk ponselnya dan meringkuk semakin dalam. "Maaf, maafkan aku Rico, aku berbohong. Aku tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya. Aku tidak mau kau semakin hancur," gumam Vinca berbicara dengan bibir yang bergetar menahan tangisnya.
***
"Argh!"
Rico mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia sangat marah kali ini. Angan angannya bersama Vinca sudah membumbung tinggi. Bahkan serangkaian kejutan tengah Rico siapkan untuk menyambut hari ulang tahun Vinca.
"Aku tidak menyangka jika kau akan berubah menjadi seperti ini Vi," ucapnya bermonolog. "Apa kau seperti ini karena ada yang lain? Sengaja menghindariku dan beralasan yang tidak-tidak?"