Mahes berjalan ke ruang makan dan duduk di tempat biasanya. Namun yang berbeda suasana menjadi hening. Deon yang merasa ada dentingan sendok lain langsung melirik ke samping dan lanjut makan kembali.
Setelah menyelesaikan sarapannya. Mahes langsung mengambil tas dan jaket yang dia sampirkan begitu saja. Sedangkan Deon masih bersikap acuh. Meski ada sedikit kerutan di dahinya. Karena merasa aneh dengan apa yang dilakukan sang istri.
"Hei, Hes!" sapa seorang pria yang baru memasuki ruang makan dari arah depan.
Mahes tak menjawab. Ia segera pergi begitu saja. Melewati pria yang ada di depannya.
"Kenapa dia?" tanya pria itu pada Deon.
Deon tak menjawab. Ia segera bangkit dan naik ke lantai atas. Langkahnya terhenti ketika sudah sampai di depan ruang kerja. Sedangkan pria tadi mengekorinya.
"Kalian ribut?" tanya pria itu.
Deon mengendikkan bahu. Ia tampak benar-benar tak peduli.
"Benar sih. Palingan dia cuma nyari perhatian lu doang." Pria itu kemudian duduk di sofa panjang yang ada di sana. "Ini semua?"
Deon mengangguk. Ia membenarkan tumpukan dokumen yang berada di meja depan sofa.
"Oke." Pria itu segera mengangkat setumpuk dokumen itu sambil menunggu Deon yang tengah merapikan isi tas kantornya.
#-------#
Mahes pergi ke Bandung pagi itu. Ia akan melihat bisnis kecil-kecilan yang dikembangkannya bersama Marsha dan Bobby. Di mana dirinya sebagai investor dan pemegang saham terbesar di sana.
"Sya! Itu Mahes kan?" tanya Bobby - sahabat karib mereka sekaligus sepupu jauh Marsha.
Kedua manusia itu menatap cengo. Pasalnya Mahes biasa mengutamakan penampilan elegan, anggun dan manis di hadapan Deon.
"Mungkin, Deon lagi ke luar kota." Marsha berusaha meyakinkan dirinya.
"Nggak. Tadi Franz nelpon gua, minta tolong ambilkan dokumen yang ketinggalan di apartemennya. Terus gua bilang gua lagi di Bandung. Dan dia bilang, ya udah lah! Gua ambil setelah nemuin Deon di rumahnya."
"Mungkin dia ganti baju di luar."
"Nggak mungkin. Semenjak kejadian ada penyadapan di hotelnya. Dia nggak berani lagi ganti baju di tempat umum."
"Di mobil paling."
"Lu gila! Mobilnya bukan kaca film!"
"Ngomingin apa sih?" tanya Mahes yang sudah ada di depan mereka.
"Lu ganti baju di mana?" tanya Marsha.
"Eh? Gua pake dari rumah."
Marsha dan Bobby saling berpandangan. Mereka terkejut dengan apa yang mereka dengar.
"Ck! Kalian mau bahas apa sih sebenarnya?! Kalau nggak gua pulang!"
"Tunggu!" cegat Bobby. "Ini tentang hari wanita. Event apa yang akan kita bikin?"
Mahes teringat. Dua tahun ke depan. Restoran saingannya berhasil sukses dengan acara bertopeng. Ia pun langsung tersenyum dan terkekeh pelan.
"Gua kok merinding?" bisik Marsha.
"Sama," jawab Bobby.
"Apa karena dicuekin Deon. Dia jadi gila?"
"Mungkin."
"Ck!" Mahes berdecak sebal. Sahabat-sahabatnya itu benar-benar keterlaluan.
#_________#
Deon menatap jam di meja kerjanya. Sudah jam 12 malam, tapi Mahes belum pulang.
Tak lama terdengar suara mobil mendekat. Mahes keluar dari kursi di sebelah sopir. Lalu, melambaikan tangan pada Bobby yang sedikit menongolkan kepala. Dan Deon melihat mereka dengan wajah datar seperti biasa.
Tak lama setelah Mahes masuk dan terdengar langkah mendekat. Deon langsung keluar dari ruang kerjanya.
Mahes menghentikan langkahnya. Ia memutar mata jengah. Sebelum kembali melanjutkan langkahnya ke kamar.
Deon terdiam. Pertanyaan yang hendak dilontarkan tiba-tiba menguar begitu saja. Barusan Mahes terlihat jengah melihatnya.
#___________#
Keesokan paginya. Mahes kembali mengawali hari dengan sarapan. Dan kali ini ada Franz.
Mahes duduk dan makan dengan tenang. Franz tampak terkejut. Karena biasanya perempuan itu akan bergelayut manja dengan Deon.
"Bagaimana dengan perusahaan penerbit itu?" tanya Deon.
Mahes memutar mata jengah. Franz yang menangkap prilaku perempuan itu langsung tertegun.
"Franz!"
"Tampaknya, meski kita sudah menginvestasikan dana. Mereka masih kekurangan uang. Takutnya, kalau sampai mereka meminjam dan akhirnya membengkak. Lalu, bukannya untung malah buntung kan?"
"Kurang dana marketing, kenapa tidak kolaborasi." Mahes berujar dingin. "Di mana orang biasanya nyaman baca buku."
Mahes mengelap mulutnya dan segera pergi dari sana. Ia mengangkat ponselnya yang bergetar.
"Iya, Bob? Aku segera ke sana dengan taksi."
"Biar aku antar!" ujar Franz setelah melirik Deon. Mereka masih penasaran dengan ide Mahes.
"Nggak perlu!" Mahes mematikan ponselnya dan segera pergi dari sana.
"Kursi, kasur." Deon bergumam sambil mengetukkan jari ke meja makan.
"Eh?! Jadi maksudnya kolaborasi dengan pihak furniture?!" tanya Franz. "Kalau gitu, gua bakal urus masalah ini!" ujarnya sambil melangkah pergi.
#__________#
Deon membuka notifikasi ponselnya. Ternyata dari Instagram Mahes. Istrinya itu mengaktifkan akunnya di ponsel miliknya.
"Lu ganti suami, Hes?" tanya salah satu akun di kolom komentar. Di sana tampak Mahes memakai gaun putih gading dan Bobby yang memakai kemeja.
"Ganteng kan?" tanya Mahes.
"Nah! Apa gua bilang! Kalian berdua dari dulu memang serasi!"
Deon memejamkan matanya. Ia segera mengeluarkan aplikasi itu dan hendak menghapusnya. Namun entah kenapa tak bisa.
'tok tok tok'
"Masuk!"
"Pak, ini dokumen yang perlu persetujuan bapak," jelas Rini.
Deon mengangguk datar. Ia segera menandatangani itu. Tanpa menunggu, Rini langsung pergi dari sana.
"Deon!"
'brak'
Deon berdecak kesal dengan tingkah Franz. Direktur sekaligus sahabatnya itu tak pernah peduli dengan image.
"Coba lihat ini!" Franz menunjukkan foto yang sudah dilihat Deon tadi.
"Kenapa?"
"Istri lu mau kawin lagi! Lu nggak marah?!"
Deon memijat pelipisnya. "Sebelum keyboard ini melayang ke kepala lu, sebaiknya lu pergi!"
"Eh?! Oh! Sorry." Franz segera mundur beberapa langkah. "Lagian kan lu memang berencana pisah. Karena nggak cinta." Ia bergumam sambil melangkah pergi.
Deon terdiam mendengar apa yang diucapkan Franz. Seolah ada yang mengganjal dalam dadanya.
#_________#
Malam harinya. Franz dan Deon melanjutkan pekerjaan di rumah Deon. Mereka tampak sibuk dengan posisi yang berbeda.
Franz duduk di jendela sambil membaca dokumen dan menelitinya. Sedangkan Deon sibuk dengan laptop dan dokumen di meja kerjanya.
"Bobby?!" Franz terkejut ketika melihat mobil Bobby berhenti di depan gerbang.
Deon menghentikan gerakannya. Ia termenung memandang layar laptopnya. Menunggu apa yang akan dikatakan Franz.
Tak lama terdengar suara langkah kaki. Deon tau itu suara Mahes. Namun, ia kembali memfokuskan diri pada laptop di depannya.
"Mereka sering pergi berdua?". tanya Franz. Tanpa tau Deon sedang menahan amarahnya.
"Hari ini cukup sampai di sini. Gua mau istirahat." Deon segera pergi meninggalkan Franz. Sahabatnya itu hanya mengendikkan bahu. Lalu kembali fokus memeriksa dokumen di depannya hingga tengah malam.
"Akhirnya!" ucap Franz sambil merenggangkan tubuhnya. Ia segera pergi dari ruangan itu. Malam ini rencananya, dia akan menginap di sini.
Franz turun ke bawah untuk mengambil sebotol air mineral untuk dibawa ke kamarnya. Namun ia mendapati Deon di ruang makan dan Mahes di dapur dengan suasana dingin yang mencekam.
Mahes membawa semangkuk mie instan ke meja pantry. Ia melahap makanannya sendiri. Tak memperdulikan dua manusan yang melihat ke arahnya.
"Nggak takut gemuk, Hes?" tanya Franz sambil berjalan mendekat. Ia ingin mencairkan suasana sedikit. Sebelum mengambil sebotol air dari dalam kulkas.
"Di kamar tamu sudah ada kulkas mini. Bibi sudah mengisinya," ucap Mahes.
Franz menghentikan langkahnya. "Oh! Benarkah? Tapi gua laper," ucapnya asal. Tapi tak salah juga. Perutnya sedikit lapar.
Mahes tak lagi menanggapi. Ia segera menghabiskan mie nya. Lalu mencuci bekasnya, mengelap dan menatanya kembali ke dalam lemari. Setelah itu, dia kembali ke kamar. Tanpa menegur dan menoleh pada Deon sedikit pun.