Mahes berjalan mendekati Bobby. Pria itu duduk termenung sendiri di koridor.
"Bagaimana?" tanya Mahes.
"Masih pembukaan. Mungkin sebentar lagi," jawab Bobby.
"Abang gua mana?"
"Di dalam."
"Syukurlah," Mahes ikut duduk di sebelah Bobby. Pria itu menatap sekilas perempuan yang ada di sebelahnya.
"Lu nggak papa?" tanya Bobby. Dua pria yang baru hendak duduk langsung menoleh. "Lu pucet loh, Hes."
"Gua nggak papa," jawab Mahes.
"Serius?"
"Ck!" Mahes langsung bersidekap dan menyandarkan kepala ke dinding. Matanya memejam.
"Lu udah makan? Pasti belum. Gua beliin ya?"
"Nggak perlu. Gua masih kenyang."
"Hes, serius?"
"Bisa diem nggak sih? Lama-lama gua koncet juga tu mulut!" Bobby langsung diam.
Deon tampak sedikit terkejut. Mahes yang ia tau manja, kekananakan, egois dan genit terhadapnya. Ia tak pernah tau tentang sisi ini.
"Hes!" panggil Bobby sekali lagi.
"Gua ngantuk, By!" protes Mahes.
"Sst! Ini rumah sakit!" peringat Bobby setengah berbisik. Membuat Mahes tampak geram.
"Lama-lama gua timpuk juga lu!" geram Mahes. Sebelum akhirnya ia benar-benar tertidur dan suara dengkuran halus terdengar.
Tiba-tiba kepala Mahes terjatuh ke pundak Bobby. Pria itu bukannya menyingkirkan diri atau menyingkirkan kepala sahabatnya. Ia malah mencari posisi nyaman buat mereka berdua.
Leon melirik sekilas ke arah Deon. Namun tak ada tanggapan. Seolah pria itu benar-benar tak peduli.
Keduanya pun menunggu mereka keluar hingga jam 2 malam. Barulah suara bayi terdengar. Tak lama Viko keluar dengan wajah haru bahagia.
"Gimana?!" tanya Leon dan Deon. Membuat Mahes dan Bobby terbangun. Mereka berdua langsung berdiri dan mendekat.
"Lahir selamat keduanya."
"Syukurlah!" ucap mereka serentak.
"Marsha?" tanya Mahes.
"Dia juga baik-baik saja."
"Syukurlah," ucap Mahes. Namun tiba-tiba perempuan itu terjatuh dan pingsan. Untung Bobby dan Deon yang berada di sisinya langsung menangkap.
"Mahes!" teriak mereka.
#_________#
Mahes membuka matanya. Ia melihat sekitar dan mendapati keramaian yang ada. Lalu, tangannya merasakan sesuatu. Seolah seseorang memegang tangannya.
Deon tertidur sambil tangan yang menggenggam erat tangan Mahes. Seolah enggan lepas. Perempuan itu pun segera menariknya paksa.
"Mahes! Kamu sudah sadar?" tanya Deon lembut. Membuat orang-orang menoleh ke arahnya.
"Lu udah sadar?" tanya Bobby sambil berjalan mendekat. "Lu bikin orang kena serangan jantung ke dua tau nggak!"
Mahes memutar mata jengah. Ia malas meladeni Bobby. Yang ada dalam pikirannya adalah Marsha.
"Mau ngapain?" tanya Deon yang melihat Mahes duduk dan memegang kepalanya.
"Lu nggak kerja apa?" tanya Mahes dingin sambil menepis bantuan Deon. Membuat yang ada di sana sedikit terkesiap.
"Nggak. Aku akan ada di sini nemenin kamu dan anak kita." Deon mengusap perut datar Mahes.
Mahes memejamkan matanya. Ia ingat. Sebelum hari ulang tahun pernikahan mereka. Mereka dijebak seseorang dan meminum sesuatu yang buat mereka tak bisa mengendalikan diri.
Mahes membuka matanya dan menepis tangan Deon dari perutnya. Ia tak peduli dengan pandangan sekitar. Sekarang dia mau melihat Marsha.
"Bobby bantu gua!"
"Nggak! Suami lu ada!" Bobby bersidekap.
"Gua sendiri, kalau gitu."
Deon, Leon, Viko dan Marsha memberi isyarat pada Bobby. Membuat pria itu berdecak kesal dan langsung membantu Mahes.
"Lu hebat!" puji Mahes sambil menggenggam tangan Marsha begitu duduk di kursi di samping bangkar. "Selamat ya?"
Marsha mengangguk. Ia tersenyum tipis melihat sahabatnya itu. Tenaganya masih belum pulih.
#___________#
Beberapa hari kemudian. Setelah Mahes kembali. Deon kembali bekerja. Ia tak tega melihat Franz yang hampir sekarat, mengurus semua sendiri.
"Bagaimana?" tanya Deon.
"Benar. Bukan Rini yang nyelamatin lu dulu."
"Ng?"
"Ini!" Franz menyerahkan data Rini. Di mana banyak sekali bukti kerja sama gadis itu dengan perusahaan lawan. Bahkan, ada foto mereka masuk ke kamar hotel yang sama.
Deon memijat kepalanya. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang terjadi.
"Mahes juga cadel dulu. Panggilan kesayangannya dulu Lin. Diambil dari Carlina. Tapi, sejak penculikan itu. Ia akan histeris setelah mendengar orang memanggilnya Lin."
"Tapi, dia sama sekali nggak ada bekas luka! Sedangkan Rini ...."
"Palsu. Mereka tau siapa yang lu cari. Dan ... waktu itu Mahes sempat di bawa ke luar negeri untuk operasi. Demi ngilangin bekas luka yang ada."
Deon memejamkan mata tak percaya. Ia benar-benar terkejut dengan apa yang terjadi.
"Jadi pilihan lu?"
"Sejak gua tau Mahes hamil. Gua udah mutusin. Gua cuma akan balas budi pada Rini."
Tiba-tiba suara panggilan di ponsel Franz memecah konsentrasi mereka. Deon langsung mengangguk dan menyuruh sahabatnya itu untuk mengangkat.
"Kenapa, Bob?" tanya Franz.
"....."
"Apa?! Lu serius?"
"....."
Franz langsung mematikan panggilan itu dan mendekati Deon. Pria itu sudah sedikit cemas melihat tatapan sahabatnya itu.
"Mahes mau aborsi," ucap Franz.
"Apa?!" Deon langsung berdiri.
"Tenang! Tenang dulu! Bobby udah bawa dia pulang."
Deon hendak melangkah. Namun, Franz menghalangi.
"Lu bakal nyesal kalo nyelesain ini dengan emosi."
Deon menunduk dalam. Ia memejamkan matanya. Berusaha mengatur napas.
"Gua pergi!" Deon menepuk pundak sahabatnya dan melangkah pasti.
"Pak Deon! Deon!" panggil Rini begitu bos nya itu keluar ruangan. Deon sama sekali tak menggubris.
Franz dengan cepat kilat, menghentikan Rini. Perempuan itu hendak mengejarnya.
"Urusan lu cukup sampai sini!" cegat Franz. "Mulai hari ini lu bukan karyawan di sini lagi!"
"Ng?" tanya Rini.
Franz melemparkan dokumen yang berisi data Rini dan semua bukti yang ada. Perempuan itu terdiam ketika melihat apa yang tercecer di lantai.
"Sampai ketemu di pengadilan!" ujar Franz sambil berlalu pergi.
Franz masuk ke dalam lift. Ia bersandar dan menghembuskan napas lega.
"Wah! Andai bisa gua rekam, gua bakal tunjukin betapa hebatnya Franz pada dunia."
#__________#
'cklek'
Mahes langsung berdiri dari depan meja rias. Ia melihat Deon memasuki kamar.
Deon sempat terdiam memandang Mahes dengan rambut pendeknya. Perlahan langkahnya mendekat. Dipeluknya perempuan itu.
"Aku minta maaf," ucap Deon. "Aku tau ini terlambat. Aku mencintaimu Mahes."
Mahes yang hendak membalas pelukan itu membatalkan pergerakannya. Ia bahkan melepaskan pelukannya.
"Hahahahaha!" Mahes tertawa. Perlahan langkahnya mundur ke belakang.
Deon terdiam. Ia tak tau harus berbuat apa. Hatinya meringis perih.
"Mahes!" panggilnya lembut.
"Jangan mendekat!!" Mahes langsung mengambil gunting yang ujungnya runcing di meja rias dan mengarahkan ke samping lehernya. Menekan sisi samping hingga berdarah.
"Mahes!!"
"Pergi!! Tinggalin aku sendiri!!"
"Mahes!!"
Mahes langsung menoleh ke ambang pintu. Di sana sudah ada Viko, Bobby dan Leon. Melihat ada celah, Deon lekas bertindak. Direbut dan dilemparnya gunting itu.
Deon memeluk erat Mahes. Tak peduli dengan penolakan dan dorongan dari sang istri. Ia tak ingin melepaskannya.
Mahes menangis dan menggigit dada bidang itu sekuat mungkin. Berharap pria itu akan menjauh. Namun Deon tak memedulikannya. Ia akan menunggu semua tenang.
30 menit kemudian gigitan itu pun mulai melemah. Dengkuran halus dan suara sesenggukan terdengar. Deon melonggarkan pelukannya. Digendongnya Mahes dan direbahkan di atas ranjang. Ia melihat ke ambang pintu. Ternyata ketiga orang tadi sudah pergi. Mungkin Viko yang membujuk mereka. Entahlah.
Deon segera turun ke bawah. Ia ingin mengobati luka di leher Mahes. Dan ketika hendak mengambil kotak obat. Dirinya melihat Viko, Leon dan Bobby masih di sana.
Leon mendekat dan segera menonjok Deon. Emosinya benar-benar meluap. Meski ia tampak tak peduli, dirinya masih sering mencari tau tentang kondisi Mahes. Karena yang dia benci adalah tingkah bucin adeknya. Bukan yang lain.
"Kakak!!" teriak Viko dan Bobby.
Viko dan Bobby langsung melarik Leon. Ia tak ingin menambah masalah. Sekarang semuanya sedang runyam.
"Viko!!" bentak Leon begitu tubuhnya ditahan.
"Kak, jangan nambah masalah!" ucap Viko.
"Apa maksud lu Viko!!" Leon menarik kerah baju Viko.
"Mereka sudah menikah. Biarkan Deon dan Mahes yang nyelesaikan semuanya sendiri! Kita jangan merunyamkan masalah. Kalau sampai ada apa-apa. Bagaimana dia akan merawat Mahes?!"
"Gua bakal bawa Mahes pulang!"
Deon berusaha bangkit dan duduk bersimpuh. Ia menunduk. Tubuhnya bergetar.
"Lu boleh nonjok gua berkali-kali sampai amarah lu reda. Tapi jangan bawa Mahes pergi. Gua mohon!"
"Kak! Mahes bukan tanggung jawab kita lagi!" Viko berusaha memberi masukan ke Leon.
"Lagian, Mahes mau ikut sama lu?"
Viko dan Leon melihat ke arah Bobby. Pria itu entah sejak kapan sudah ada di meja pantry dan memakan kue kering dalam toples.
"Selain Deon, lu orang yang paling dibenci sama Mahes. Leon."
Leon menunduk. Ia sadar akan hal itu. Apalagi Mahes juga mulai menyerah terhadap hubungan mereka. Adiknya mulai menjauh dan acuh.
"Biarkan mereka selesain urusan mereka. Ayo pulang!" ajak Bobby sambil menepuk-nepukan tangannya.
Tiba-tiba ponsel Bobby berdering. Pria itu langsung mengangkatnya.
"Halo, Hes!" Bobby langsung melihat ke lantai atas. Semua mata pun tertuju padanya.
"....."
"Gua masih di bawah. Tunggu sebentar!" Bobby segera mengambil kotak obat yang berada di atas kulkas dan naik ke atas. "Jangan ada yang ikut!"