Mahes membuka matanya. Ternyata ia sudah berada di kamarnya sendiri. Padahal tadi waktu pulang, dirinya ketiduran di mobil.
"Sudah bangun?" tanya Deon yang sudah berada di ambang pintu dengan tangan memegang nampan. Kakinya perlahan mendekat.
Mahes menghela napas. Ia segera membuang muka. Dirinya lebih memilih menatap tirai jendela kamarnya.
"Makan dulu sedikit!" ujar Deon.
Mahes segera melihat ke arah pria yang tengah menata makanan di atas meja kecil. Entah sejak kapan, meja itu sudah ada di atas kakinya.
"Kata Bobby. Karena kamu muntah minum susu coklat. Jadi dia belikan yang rasa strawberry." Deon menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Mahes. "Dihabisin ya?"
Mahes tak menanggapi. Ia kembali melihat ke arah jendela.
"Atau mau makan di balkon. Sambil ngeliat langit sore? Aku bantu ya?"
"Tinggalin saya sendiri!" ucap Mahes dingin.
Deon tersenyum dan mengangguk. Ia segera pergi. Mahes yang melihat itu semakin kesal.
"Mama harap papamu memang peduli dengan mama." Mahes mengusap perutnya dengan air mata yang mengalir. Ia segera menyingkirkan meja itu dan menaruhnya ke atas lantai. Kemudian, dirinya kembali rebahan dan tidur. Makanan itu sama sekali membuatnya tak berselera.
#______#
Satu jam berlalu. Deon meletakkan berkas-berkasnya dan pergi ke kamar Mahes. Dirinya sengaja tak menutup pintu kamar itu. Takut tak mendengar suara dari dalam. Jika ada yang terjadi.
Deon berjalan memutar. Ia ingin melihat wajah Mahes. Namun, dirinya malah mendapati makanan yang utuh di sana.
Deon mendekat dan membangunkan Mahes. Perempuan itu melenguh dan membuka matanya.
"Siang tadi kamu hanya makan sedikit. Terus muntah pula. Sekarang kamu makan ya?" Deon mengambil mangkuk bubur dan segera menyendokkannya.
"Saya nggak mau!" Mahes membuang mukanya ke arah pintu yang dipaku dengan sambungan papan ke dinding. Agar sama sekali tak bisa tertutup.
"Mahes! Kasihan anak kita. Dia butuh nutrisi."
Mahes langsung menatap tajam Deon. Ia segera mengambil bubur itu. Namun dilemparnya ke lantai.
"Mahes!!" Deon berdiri tegak. Ia menatap tajam Mahes. "Berhenti berulah!! Kamu nggak mikir bagaimana nutrisi anak kita apa?!"
Mahes menatap Deon dengan mata yang bergetar. Awalnya dia benar-benar tak ingin percaya. Jika kasih sayang itu cuma untuk bayi dalam perutnya.
Deon yang melihat Mahes menangis pun menundukkan kepala. "Maaf," ujarnya sambil berusaha memeluk istrinya.
"Saya mau sendiri!" ucap Mahes sambil menyembunyikan diri ke dalam selimut. Suaranya pun terdengar gemetar.
Deon melangkah keluar. Ia segera memanggil asisten rumah tangga untuk membersihkan pecahan itu. Sekarang dirinya ingin menghilangkan emosinya.
Deon duduk di taman belakang. Dia mendekati tukang kebun yang tengah menyiram tanaman.
"Tuan! Sore, Tuan!"
"Em. Pak! Ada rokok?"
"Ng? Ada." Pria itu segera mengeluarkan rokok beserta koreknya.
Deon mengeluarkan uang seratus ribu untuk gantinya. Tukang kebun itu sedikit kaget.
"Tuan ...!"
"Ambil aja! Terus, tinggalin saya sendiri!"
"Baik tuan."
Deon segera menghidupkan rokok dan mengisapnya hingga tak terasa sudah 3 batang yang habis. Ia benar-benar stress saat ini. Apalagi belum ada sekretaris baru yang kompeten. Ditambah rasa kopi dan pengharum ruangan di ruangannya benar-benar menyengat.
"Tuan!" teriak tukang kebun tadi. "Nyonya, tuan! Nyonya!"
Deon langsung membuang batang rokok ke empat dan berlari ke kamar Mahes. Sedangkan tukang kebun yang melihat api rokok masih menyala, memilih mematikan api itu terlebih dahulu baru menyusul.
Deon berlari dan melihat bibi yang ketakutan sambil berusaha membangunkan Mahes. Ia segera mendekat dan menggendong istrinya. Dengan bantuan sopir, mereka meluncur ke rumah sakit.
#____#
Franz dan Bobby berlari ke dalam rumah sakit. Sebelumnya mereka ke rumah Deon untuk memberikan vitamin untuk Mahes yang tertinggal.
"Apa yang terjadi?" tanya Bobby begitu melihat Deon yang terduduk lemah sambil memegang tangan Mahes.
"Dia belum makan dari siang tadi. Terus, aku tak sengaja membentaknya dan membuatnya mengalami tekanan."
"Bodoh!" umpat Bobby tertahan. Emosinya sudah meluap sebenarnya. Namun, melihat Mahes terlelap membuatnya gila. "Ayo kita bicara di luar!"
"Sabar, Man! Kita bicara baik-baik!" ucap Franz yang tau emosi Bobby yang tak stabil sekarang.
"Eugh!"
"Mahes!" Mereka bertiga langsung berdiri dan mendekat.
Mahes yang merasakan tangannya digenggam oleh Deon langsung dihempaskan begitu saja. Ia benar-benar benci dengan pria itu. Bahkan dirinya benci dengan takdir yang mempermainkannya. Karena mengembalikannya bukan di waktu sebelum pernikahan.
"Bisakah anda pergi? Saya tak ingin melihat wajah anda lagi!" Mahes menatap Deon dengan penuh amarah dan kebencian. Dan kali ini, Bobby tak ingin membantu.
"Hes!"
"Yon, yuk!" Franz menarik Deon pergi dari sana.
"Dia beneran pergi?" gumam Mahes dengan sorot sedih.
Bobby menghela napas. Ia segera duduk di dekat bangkar. Tangannya bersidekap.
"Lu tau kan kehidupan gua, tanpa seorang ayah? Meski punya ayah tiri. Rasanya berbeda."
"Gua tau."
"Terus kenapa lu lakuin?!" geram Bobby sambil menoyor kepala Mahes.
"Emang lu nggak cinta sama gua? Lu nggak mau gua bahagia?"
"Emang lu bahagia jika pisah dari Deon? Sekarang aja, liat dia ninggalin kamar. Lu udah mewek kayak gini!" Bobby menoyor kepala Mahes lagi.
Mahes menunduk. Apa yang Bobby bilang benar. Emang dia bisa bahagia jika jauh dari Deon.
"Bisa. Gua pasti bisa!" serunya.
Bobby memutar mata malas. Ia segera pergi dari sana. Malas rasanya nemenin Mahes.
"Bobby! Lu mau ke mana?!"
"Nonjok suami orang!" ucapnya sambil menutup pintu.
"Bobby jangan!" Mahes segera mencabut selang infus dan berlari keluar. Ia mencari ke kantin, ke depan, ke belakang dan ... atap.
"Puas gua!" ucap Bobby sambil merebahkan diri di lantai. Senyum cerah. Padahal tangannya memar setelah menghajar Deon.
"Kak Deon!" Mahes segera berlari menghampiri Deon. Pria itu lekas menoleh. "Kakak nggak papa?"
Deon memandangi wajah Mahes yang kurus. Ia tersenyum senang melihat sang istri yang mau berbicara padanya.
"Bobby!" Mahes segera mendekat dan menjambak rambut sahabatnya.
"Mahes! Lepas!"
"Nggak!!"
"Lepas nggak?!" teriak Bobby sambil menahan tangan Mahes agar tak terlalu jauh dari kepalanya.
Sayangnya Mahes pintar. Ia memainkan jarinya, hingga tarikannya semakin kencang. Meski dengan jarak yang dikira aman.
"Aakh!" Deon yang hendak mendekat tiba-tiba meringis.
"Kak Deon!" Mahes langsung melepas jambakannya dan mendekat.
Deon mengacungkan jempol pada Bobby. Pria itu sudah boleh pergi dengan Franz.
"Kakak nggak papa? Yang mana yang sakit?"
"Ini." Deon meletakkan tangan Mahes ke dadanya. "Maafin aku."
Mahes terdiam. Ia menunduk dalam. Memory kehidupan lalu ikut terputar bersamaan dengan momen ini.
Deon ikut terdiam melihat Mahes yang menunduk. Namun tangannya enggan melepaskan tangan sang istri. Perlahan dengan tarikan lembut. Diciumnya punggung tangan itu.
"Boleh aku minta sesuatu?" tanya Deon. Mahes langsung menoleh. "Aku ingin kamu diam dan jangan pergi. Biarkan aku yang mendekat dan mengobati lukamu. Bolehkan?"