Chereads / Maheswari Carlina Ditri / Chapter 3 - BAB 2

Chapter 3 - BAB 2

Seminggu, dua minggu telah berlalu. Mahes masih bungkam seperti biasa. Rumah semakin dingin dan Franz kehilangan minat untuk menginap di sana.

"Bisakah kamu menjaga perlakuanmu?!"

Mahes menghentikan langkahnya yang hendak meninggalkan ruang makan. Ia segera berbalik dan melihat ke arah Deon.

"Berselingkuh siang bolong! Lihat rumor yang kamu sebarkan memengaruhi perusahaan!"

"Maaf," cicit Mahes. "Huft! Hahaha! Anda pikir saya akan bicara begitu tuan Deon? Tapi tenang saja. Saya tau anda memikirkan seluruh karyawan termasuk sekretaris anda bukan? Saya janji akan melakukan sebagaimana mestinya."

Mahes kembali berbalik arah dan meninggalkan ruang makan. Ia sempat melihat Franz yang terdiam di antara ruang makan dan ruang keluarga. Namun, dirinya tak peduli.

#__________#

Deon memasuki ruang kerjanya. Namun langkahnya terhenti ketika mencium aroma menyengat dalam ruangannya. Franz juga langsung menutup hidungnya.

"Rini!" panggil Deon.

"Iya, Pak."

"Kenapa ruangan ini baunya begini?" tanya Deon agak lembut. Membuat Franz sedikit geli.

"Bukannya ini parfum yang biasanya? Aku membeli merk yang sama."

"Anu ... maaf, Pak." Seorang pria dengan seragam OB datang mendekat. Kebetulan dia baru selesai membersihkan toilet yang berada di dalam kantornya.

"Iya ada apa?" tanya Deon dingin.

"Biasanya Ibu akan datang pagi-pagi buta, untuk mencampurkan sesuatu ke dalamnya. Katanya biar pikiran bapak fresh dan bisa semangat kerja."

Rini menunduk dalam. Ia memilin ujung bajunya.

"Ibu?" tanya Franz berusaha meyakinkan.

"Ibu Mahes, Pak "

"Ya sudah, kamu boleh pergi!"

"Baik, Pak. Permisi!" Pria itu segera pergi membawa peralatannya.

Deon pun masuk dengan Franz. Namun ... "tolong bikinkan kami kopi."

"Baik, Pak."

Rini kembali tersenyum. Ia segera membuatkan kopi untuk mereka.

"Jadi selama ini bukan Rini," gumam Franz. "Apa yang nolongin elu waktu kecil itu bukan dia, tapi Mahes."

Deon hanya diam. Ia pura-pura tak mendengar dan sibuk dengan dokumennya. Tak lama Rini muncul dari arah dapur kecil yang berada di sana. Dia membawa nampan berisi dua kopi.

Deon menyesap kopi itu dan menyemburnya ke samping. Rasanya tak seperti kopi biasa. Bahkan, aromanya juga berbeda.

"Kenapa?" tanya Rini takut-takut.

"Tak apa. Kamu bisa pergi."

Rini pun segera pamit undur diri. Ia benar-benar cemas. Ada rasa ketakutan dalam dirinya.

"Jangan bilang yang selama ini nyiapin kebutuhan lu Mahes?" tanya Franz yang juga merasa aneh dengan kopinya.

Deon tak menjawab. Ia kembali fokus dengan kerjaan di hadapannya.

#_________#

Restoran berbintang memang berbeda. Suasana dan pemandangan elegan di balik kaca terpampang nyata. Keramahan pelayan elite siap melayani. Lalu, masakan porsi kecil dengan harga tinggi dan rasanya yang tak kalah dengan harganya pun ikut memanjak lidah.

Dan di sinilah Franz, Rini, Deon dan salah satu koleganya. Tuan Alex beserta istrinya ikut menikmati acara makan malam itu.

"Sayang sekali Mahes tak hadir," keluh istri dari Alex - Laurence. "Saya ingin berterima kasih dan memintanya untuk mengajarkan saya tentang merajut." Ia mengelus syal yang melilit di pundaknya.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan.

"Bobby, tunggu!"

"Mahes?" Mereka langsung melihat ke arah seorang perempuan yang tengah mengatur napas.

Bobby menghentikan langkahnya. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya.

"Dasar bodoh!" Mahes yang mendekat langsung memukul kepala Bobby. "Lu budek atau apa?! Gua dah bilang tunggu juga!"

Bobby langsung menggeleng dan menunjuk ke arah orang-orang itu dengan isyarat mata. Mahes segera berbalik dan melihat.

"Halo, Nyonya Alex!" sapa Mahes ramah.

"Hi! Are you here? Kebetulan. Ayo duduk!"

"Sorry, Miss. Saya harus menyelesaikan urusan saya lebih dulu." Mahes menunduk hormat. "Permisi!"

"Permisi!" Bobby ikut pamit dan mengekori Mahes.

Keadaan pun menjadi hening selama 15 menit. Laurance tak mau memulai makan, sebelum Mahes datang.

"Sorry, lama ya?" tanya Mahes yang segera duduk di samping Laurance. Bobby pun mengikuti duduk di sebelah Mahes yang kosong.

"Nggak. Aku senang kamu di sini. Ayo makan! Aku sudah memesan makanan kesukaanmu." Laurance menunjuk makanan yang sudah dipesannya khusus untuk Mahes.

"Terima kasih, Aunty."

"Sama-sama." Laurance tersenyum senang. Mahes mau menganggapnya sebagai orang terdekatnya.

"Pela ...."

"Nggak perlu! Aku cuma bisa makan setengah."

"Oh! Kalau gitu aku pesan piring kosong saja," ujar Bobby.

"Maaf, kami tadi sudah makan sebelum ke sini."

"Nggak papa," jawab Laurance.

Tiba-tiba telepon Mahes bergetar.

"Maaf, aku harus mengangkatnya."

"Silahkan!"

Mahes segera beranjak dan mengangkat telepon.

"Maaf, anda siapa?" tanya Laurance. Pada Bobby yang tengah memotong daging menjadi dua bagian di piring Mahes.

"Oh! Sampai lupa! Saya Bobby, sahabat Mahes."

"Bob!" panggil Mahes.

"Kenapa?"

"Marsha bilang, terakhir kali elu yang megang tu kunci kemarin." Marsha kembali duduk.

"Iya kah?"

"Kunci apa?" tanya Franz. "Kunci ini?"

"Kok bisa sama lu?!" tanya Mahes dan Bobby serentak.

"Lu tadi pagi minta tolong ambilkan kunci di atas nakas apartemen lu kan? Gua ambilin, tapi gua lupa buat ngasih. Lu juga susah dihubungi lagi."

Mahes memejamkan matanya. Ia benar-benar kesal pada Bobby.

"Memangnya itu kunci apa?" tanya Laurance.

"Kunci rumah yang ada di Bandung, Aunty."

"Hah?! Jangan bilang, kamu dan tuan Deon pisah?"

"Bukan! Bagaimana bilangnya ya?"

"Nanti, Nyonya Laurance akan tau." Bobby membantu menjawab. "Undangan kunjungan, pasti akan sampai ke anda."

"Baiklah."

#_________#

Suasana tampak ramai. Tamu undangan dari beberapa kalangan datang mengunjungi rumah mewah itu.

"Bagaimana?" tanya Mahes pada Marsha.

"Bagus," jawab Marsha penuh semangat.

"Bobby!"

"Oke!" Bobby segera menyerahkan kunci itu. "Selamat ulang tahun pernikahan yang ke tiga."

"Makasih!" ucapnya sambil memeluk kedua sahabatnya. "Kalian yang terbaik!"

"Jadi, itu hadiah ulang tahun pernikahan?" tanya Laurance yang baru saja tiba.

"Em."

"Amazing! Saya sudah melihat interior di ruang tamunya. Benar-benar Fantastis. Pasti kamu yang mendekorasinya kan?"

"Yap," jawab Mahes penuh semangat.

"Mana suamimu?" tanya Laurance.

"Deon di sana bersama kak Viko dan kak Leon."

"Kalau begitu, kami menyapa mereka di sana."

Mahes dan Marsha mengangguk. Mereka kembali bercerita dengan suka cita.

Tak jauh dari mereka. Ke empat orang pria itu sibuk bercerita.

"Kenapa Mahes?" tanya Viko yang paling respect dengan adiknya.

"Nggak tau," jawab Deon sambil menegak habis minumannya.

"Ketika kalian berdua bersama. Suasana mencekam."

"Biarin aja sih, Vik! Paling dia sedang mencari cara lain buat Deon." Leon mencibir tingkah adeknya itu.

"Kak!"

"Sudah-sudah! Bukannya ini hari kebahagiaan Viko?" tanya Franz. "Selamat ya! Nggak nyangka lu bisa bertahan harmonis selama 3 tahun."

"Makasih," jawab Viko dengan tersenyum hangat.

"Huwaaah! Gua berasa melihat bunga-bunga berterbangan di sekitarnya!" ujar Franz.

"Lihat! Itu bukannya nyonya Laurance dan tuan Alex?" tanya Viko.

"Benar. Ayo kita sambut mereka!" ajak Leon.

Mereka segera berjalan mendekat ke arah sepasang suami istri yang juga berjalan ke arah mereka. Sambut menyambut. Sapa menyapa. Terjadi begitu hangat.

"Berapa bulan lagi?" tanya Laurance pada Viko.

"Bulan ini, Miss." Viko menjawab ramah.

"Bang Viko! Viko!" teriak Mahes tiba-tiba. Semua mata langsung tertuju ke arah mereka. Marsha tampak tengah kesakitan sambil memegang perutnya yang besar.

"Marsha!" jerit Viko dan langsung berlari mendekat.

"By! Bawa abang gua sama Marsha!" Mahes melempar kunci mobilnya. "Entar gua susul sambil bawa perlengkapan bayi!" Ia pun lari ke dalam.

"Ayo, Vik!" ajak Bobby.

Viko segera menggendong Marsha. Membawa tubuh itu ke mobil Mahes. Mereka pun segera meluncur pergi.

Tak lama, Mahes datang dengan tas besar dan helm di kepalanya. Semua orang sedikit terkejut.

"Maaf semuanya!" ucap Mahes yang membuka kaca mobil dan sedikit membungkukkan badannya. "Silahkan nikmati hidangannya! Franz!"

"Ya?"

"Tolong bantu di sini."

"Oke!"

"Kalian berdua nggak pergi?" tanya Mahes pada Leon dan Deon.

Dua orang itu langsung bangkit dan pergi. Meninggalkan Mahes ke mobil Deon.

Namun, begitu hendak naik motor. Suara klakson mengejutkannya.

"Naik!" ajak Deon.

"Nggak perlu!"

"Gua nggak akan pergi sebelum lo naik!"

Mahes memutar mata malas. Pasalnya mobil itu menghadang jalannya. Ia segera turun dan melepas helm. Dibantingnya helm itu kesembarangan arah. Leon sedikit terkejut. Helm itu pemberiannya dan adiknya itu sangat menyukainya dulu.

Mahes segera naik dan duduk di belakang dalam keadaan memeluk tas. Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang.