Chereads / No Past and No Future / Chapter 10 - Bersembunyilah Selagi Bisa (3)

Chapter 10 - Bersembunyilah Selagi Bisa (3)

Berita pertama yang Luciell yang dapat pagi itu adalah berita tentang kaburnya Rheannon.

"Apakah Yang Mulia Raja sudah tahu?" tanya Luciell setelah berhasil menenangkan diri.

"Sudah, Tuan Putri. Sekarang ini Yang Mulia Raja sedang marah dan sedikit kacau."

"Tentu saja Ayahanda akan begitu," decak Luciell tidak sabaran. Dia meninggalkan kediamannya begitu saja kemudian.

Ini adalah hari kedua dari rangkaian pesta ulang tahunnya. Perburuan, membuat istana akan ramai dengan para lelaki bangsawan dari sepenjuru Rexton. Jelas ini bukan waktu yang tepat untuk kehilangan seorang tahanan–yang katanya–berbahaya. Lebih-lebih tahanan ini adalah saudara dari keluarga Colton yang digadang-gadang menjadi pemenang selain Marquis Hadrian dalam perburuan kali ini.

"Hei, kamu pasti mendengarku, kan?" panggil Luciell begitu dia merasa sudah sendiri.

[Kau pasti mau bertanya soal kaburnya tahanan itu, kan? Nah, aku tidak tahu.]

"Kau pernah tinggal di Menara Bayangan, begitu pula dengan teman-temanmu."

[Sejak aku mengikat kontrak denganmu, hubunganku dengan tempat itu dan iblis lain terputus, Nona. Aku terlalu sibuk mengabdi padamu sampai tak sempat menengok teman-temanku.]

"Bagaimana dengan tahanan di sana? Kau pasti tahu dia, kan? Rambut merah dan mata keemasan. Waktu itu dia masih seorang bocah."

[Yah… biasa saja. Tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan seorang bocah selain menangis. Kalian mengurungnya di penjara penuh iblis.]

Luciell tahu iblis itu berusaha menggodanya. "Aku tidak perlu diingatkan soal yang terakhir itu," geramnya. "Tapi apa sungguh tidak ada yang dia lakukan?"

[Hihihi. Apakah Nona bisa percaya pada perkataan iblis?]

"Sialan!" umpat Luciell. "Jangan bercanda denganku!"

[Wah, jangan marah begitu, Nona. Aku mengatakan yang sebenarnya, kok. Tenang saja, seorang bocah pengendali iblis hanya bisa mengendalikan maksimal dua iblis rendahan.]

"Memangnya apa yang diperlukan untuk mengendalikan iblis?"

[Entahlah. Latihan, fisik dan mental yang kuat, persetujuan, imbalan–macam-macam pokoknya.]

Luciell mulai berpikir. Dia tidak tahu menahu soal keluarga Whitley atau bagaimana mereka mampu mengendalikan iblis. Tapi jika Rheannon mampu bertahan hidup di Menara Bayangan sampai sekarang, itu artinya dia memang kuat.

Bagaimana jika Rheannon sudah bisa mengendalikan banyak iblis sejak kecil? Tapi kalau memang benar begitu, harusnya Rheannon kabur sejak dulu.

Mungkin saja Axelle yang membantunya kabur, pikir Luciell tak yakin.

Untuk apa? Sepanjang pengetahuan Luciell, keluarga kerajaan yang dulu tidak pernah membentuk hubungan khusus untuk anak-anak mereka.

Sesampainya di depan pintu ruang kerja ayahnya, Luciell mempersiapkan diri. Suara tinggi dan tak sabaran ayahnya menandakan jika ayahnya memang benar sedang marah.

"Yang Mulia Raja Rexton V," sapa Luciell saat memasuki ruang kerjanya. "Ayahanda."

"Putri Luciell! Apa yang kamu lakukan di sini?" Adalah sambutan dari ayahnya. Luciell tidak kaget jika disambut dengan penuh amarah seperti itu. "Seharusnya kamu tahu di saat seperti ini kamu tidak boleh terlihat oleh anak pengendali iblis itu, kan?"

"Maafkan saya. Tetapi saya juga mengkhawatirkan keadaan Yang Mulia Raja," ucap Luciell tenang.

"Kembalilah ke kediamanmu sekarang–tidak. Sementara ini kamu tinggal dulu di salah satu ruangan dekat ruanganku. Kesatria dan pelayan, tolong siapkan ruangan untuk Putri Luciell," Raja Rexton memberi perintah dengan cepat. "Sampai semuanya jelas, aku akan menempatkanmu sedekat mungkin denganku. Ikutlah dengan mereka, Putri Luciell."

"Lalu bagaimana dengan perburuan? Saya masih harus menampakkan diri di hadapan peserta, kan?"

"Biar aku yang mengurusnya." Sang Raja menarik napas dalam-dalam. "Dengar, putriku. Aku tidak mau sesuatu terjadi padamu. Tidak terutama di hari ulang tahunmu."

Ayahnya memang sangat menyayanginya. "Saya tidak mengerti dengan kekhawatiran Ayahanda. Putri Whitley tidak seharusnya seberbahaya itu, kan?"

Tiba-tiba saja ekspresi wajah sang Raja mengeras. "Kamu tidak mengerti, Lucy. Dan kita semua tidak pasti apa yang mungkin saja sedang terjadi."

"Ayahanda tidak akan menjelaskannya?"

"Untuk saat ini, tidak."

Luciell memejamkan matanya sesaat. "Jika itu kehendak Ayahanda, baiklah. Saya percaya pada Ayahanda," ucapnya. "Tapi Ayahanda perlu tahu jika saya siap membantu."

Sang Raja mengangguk mengerti. Luciell pun keluar dari ruang kerja ayahnya.

Luciell bertemu dengan Hadrian begitu keluar dari ruang kerja ayahnya. Seperti apa kata rumor, keseluruhan penampilannya terlihat sakit.

"Yang Mulia Putri Luciell," sapa Hadrian sekenanya. Tidak ada basa-basi lagi.

Luciell berdiri mematung di tempatnya sementara Hadrian melewati dirinya.

Tidak seharusnya Hadrian hanya menyapa seperti barusan.

***

"Rheannon Whitley."

Nama itu terasa pahit di mulut Hadrian.

Pagi-pagi tadi dia mendapat panggilan dari Istana. Penting, katanya. Sesampainya di sana, mengertilah dia mengapa panggilan itu begitu penting: Rheannon Whitley yang merupakan tahanan istana telah kabur.

Sungguh sebuah kemustahilan. Banyak orang yang tidak percaya, termasuk Hadrian sendiri. Keamanan Istana tidak bisa dianggap remeh–tapi seorang wanita berusia 20 tahun baru saja kabur? Bahkan Pangeran Axelle pun sulit keluar dari istana.

Selain itu, hanya sedikit orang yang tahu di mana tepatnya Rheannon dipenjara. Hadrian yang menangkap gadis kecil itu pun juga tak tahu.

"Kecuali Keluarga Colton, mungkin," jawab Theseus, kesatria dengan emblem khusus yang asing di mata Hadrian. Dia baru mengenalnya saat kesatria itu menjemputnya tadi. "Tapi saya sendiri tidak yakin karena mereka adalah bangsawan hitam."

Hadrian mengangguk setuju. "Keluarga Colton dilatih dan hidup untuk bersumpah setia pada kerajaan apa pun yang terjadi," sahutnya. Mereka adalah orang-orang yang rela melakukan pekerjaan kotor demi kerajaan, tambahnya dalam hati.

"Tapi Rheannon adalah saudara dari keluarga Colton, keponakan dari Duke Colton saat ini. Lady Talisa istri Earl Whitley adalah adik dari Duke Colton," kata sang Raja. "Orang itu tidak pernah berhenti merengek untuk dipertemukan dengan keponakannya selama hampir sepuluh tahun ini."

Kenapa begitu? batin Hadrian diam-diam.

"Jadi menurut Paduka Raja, beliau yang telah membebaskannya?" tanya Theseus.

"Keluarga Colton itu seperti tikus, mereka pandai sekali menyusup," dengus sang Raja tak suka. Dia mengeteuk-ketukkan jarinya pada meja. "Lalu, tersangka kedua, menurutku, adalah Axelle."

Mendengar itu Hadrian langsung tersadar dari lamunannya. Dia menatap sang Raja dengan tenang, menunggu pertanyaan diajukan untuknya. Pahamlah sekarang mengapa dia ikut dipanggil dalam urusan kaburnya si tahanan ini.

"Bagaimana menurutmu, Marquis Hadrian?" tanya sang Raja tajam.

"Mata-mata saya tidak melaporkan kejanggalan sejauh ini, Yang Mulia," jawab Hadrian. "Pangeran Axelle memang sudah berhenti berkeliaran di istana lagi sejak beberapa waktu lalu. Tapi memang hanya itu saja. Saat saya berkunjung ke kastilnya pun, saya tidak menemukan hal aneh."

Hadrian memperhatikan Raja Rexton V yang tampak tengah menahan amarahnya. Tangannya terkepal kuat dan bibirnya mengatup rapat. Dia siap untuk menggebrak meja karena tahanannya yang berharga, seorang anak dari pengkhianat kerajaan, telah kabur entah bagaimana caranya.

"Saya masih optimis jika Putri Whitley belum jauh dari sekitar sini, Yang Mulia," celetuk Theseus. "Izinkan saya untuk memeriksa jantung Ibu Kota."

"Ya, lakukan," kata sang Raja. "Seharusnya dia memang tidak bisa pergi jauh dari sini."

"Baik, Paduka Raja. Saya permisi dulu."

Begitu kesatria itu keluar ruangan, Hadrian bertanya, "Apakah Sir Theseus tahu bagaimana rupa Putri Rheannon?"

Sang Raja mengibaskan tangannya, "Tentu saja dia tahu. Rambut merah dari keluarga Whitley dan mata keemasan dari keluarga Colton: perpaduan unik yang tidak dimiliki siapa pun di sepenjuru Rexton ini. Dengan rupa semencolok itu, dia pasti akan mudah dikenali. Marquis dulu bertetangga dengannya, kan?"

Bukan berarti Hadrian dulu sering melihat Rheannon. Lagi pula tanah mereka yang bertetangga, bukan kediaman mereka.

Kediaman keluarga Whitley berada di pinggiran tanah mereka, dekat danau besar yang dibagi dua dengan tanah Paiton karena letak geografis. Sementara itu kediaman keluarga Melchoir berada di tengah-tengah Paiton, tempat yang pas untuk melihat keseluruhan wilayah untuk mengawasi segala sesuatu, termasuk untuk mengawasi Pyrs.

Selain itu, daripada Rheannon, Hadrian lebih sering melihat mendiang Nyonya Talisa Whitley. Mendiang Nyonya Melchoir alias ibu Hadrian dan mendiang Nyonya Talisa sering mengunjungi satu sama lain sebagai sesama wanita bangsawan.

Kepala Hadrian mendadak merasa sakit mengingatnya. Orang yang sering ditemui mendiang ibunya dulu mati di tangannya. Kira-kira apa pendapat ibunya jika beliau masih hidup?

"Marquis?" tegur sang Raja. "Anda baik-baik saja? Saya dengar Anda sakit."

"Ah, maaf, Yang Mulia," kata Hadrian buru-buru. "Saya baik-baik saja."

"Marquis terlihat pucat sejak pertama kali mengunjungi saya di awal musim panas. Perjalanan dari Paiton ke Ibu Kota Ozera pasti melelahkan sekali, dan saya malah justru langsung memberi Anda banyak pekerjaan."

"Tidak, saya sudah terbiasa. Rasa lelah saya bukan datang dari perjalanan yang panjang atau pekerjaan."

"Calon anak angkat Anda membuat masalah?"

Hadrian tersenyum tipis. "Saya tidak menyangka jika Yang Mulia pun juga sudah tahu," ucapnya. "Tapi, tidak. Desmond hanyalah anak kecil yang baik hati dan polos."

"Desmond adalah nama yang indah." Sang Raja ikut tersenyum. "Pembela yang baik. Kelak dia akan menjadi pemimpin bagi Pyrs dan pembela bagi kerajaan Rexton yang baik."

"Itulah harapan saya."

"Tapi Marquis, sejujurnya saya kira Anda menyukai putri saya."

"Mohon maaf Yang Mulia Raja. Saya tidak tahu bagaimana rumor tersebut bisa terbentuk. Saya tidak sepantas itu untuk bisa menyimpan perasaan khusus pada Yang Mulia Putri Luciell."

Begitu menyelesaikan kalimatnya Hadrian langsung diserang sakit kepala yang lain. Raja Rexton V sampai menghampirinya. Beliau mengatakan sesuatu, tetapi Hadrian tidak bisa mendengarnya.

Sakit kepalanya tak tertahankan. Telinganya berdenging. Rasanya ada sesuatu yang memaksa untuk masuk dan mengatakan sesuatu di kepalanya.

Yang terakhir Hadrian ingat kemudian adalah kesatria istana dan Ichabod memapahnya ke kereta kuda.