Chereads / No Past and No Future / Chapter 12 - Pengikat Kontrak (2)

Chapter 12 - Pengikat Kontrak (2)

Pengikat kontrak adalah sebutan bagi orang-orang yang mengikat kontrak dengan iblis. Dengan mengikat kontrak, seseorang akan memiliki sedikit dari kekuatan iblis tersebut. Bayaran atas kekuatan yang didapat tersebut tidaklah jelas. Orang-orang hanya tahu di detik mereka membuat kontrak dengan iblis, maka jiwa mereka sudah terlepas dari Nirwana dan menjadi milik si iblis.

Tapi kemudian akan diapakan jiwa mereka oleh si iblis? Bisa apa saja. Entah hidupnya kemudian dipermainkan, diberi banyak kesengsaraan dan kesedihan, sampai tidak bisa perginya jiwa tersebut ke mana-mana setelah kematian.

Pengikat kontrak berbeda dengan pengendali iblis. Meski sama-sama membutuhkan "bayaran", pada dasarnya pengendali iblis tidak bisa seenaknya meminjam kekuatan iblis. Pengendali iblis seringnya hanya "meminta" agar si iblis pergi atau tidak membuat kekacauan–itulah sebabnya pengendali iblis dapat mengendalikan banyak iblis sekalipun, karena tidak ada yang dipertaruhkan.

Para iblis yang memiliki perjanjian dengan manusia ini kemudian akan mengikuti manusia ini ke mana saja. Mereka jadi tak terlihat, baik oleh sesama iblis maupun oleh manusia yang memiliki kekuatan suci yang besar sekalipun. Atau, setidaknya begitulah seharusnya.

"Sejak kapan Pangeran melihatnya?" tanya Duke Colton setelah mereka terdiam lama.

"Sejak saya kecil. Saya tidak ingat kapan lebih tepatnya, tapi… sepertinya hanya beberapa waktu sebelum… kudeta itu terjadi," jawab Axelle pelan.

"Dan selama itu kau diam saja?" tanya Chas geram.

"Chas," tegur Duke Colton.

"Saya paham jika dulu Pangeran diam saja. Tapi sekarang, setelah bertahun-tahun?"

"Maafkan saya," ucap Axelle sungguh-sungguh. "Saya tahu tindakan saya sungguh pengecut, tapi…"

Duke Colton mengembuskan napas panjang. "Dan seharusnya Pangeran membela diri dari ucapan kurang ajar anak saya yang bahkan tidak memiliki gelar apa pun ini," ucapnya tajam. "Anda adalah seorang pangeran, bagian dari keluarga Istana yang memimpin kerajaan Rexton. Maka bersikaplah seperti itu. Kuatkan dan tegarkan hati Anda, Pangeran Axelle. Di luar sana masih ada orang-orang yang menunggu kebenaran untuk dikuak. Jika itu terjadi, maka Anda yang akan naik takhta."

"Saya pun juga ingin mengetahui kebenarannya, Duke Colton. Itulah sebabnya saya mencari Putri Rheannon," kata Axelle. "Dia adalah satu-satunya pengendali iblis yang tersisa di kerajaan Rexton. Saya kira Putri Rheannon pasti mengetahui sesuatu…"

Duke Colton mengangguk kecil. "Karena tanah Whitley sudah habis tak bersisa, maka hanya Rheannon satu-satunya sumber pengetahuan dan informasi mengenai iblis yang akurat."

"Para bajingan itu," desis Chas. "Pantas saja Raja Rexton V menyuruh Marquis Hadrian membakar semuanya sampai tak bersisa."

"Ya, bisa saja begitu," kata Duke Colton. "Anehnya, Raja tidak membunuh Rheannon sampai bertahun-tahun kemudian."

"Mungkin ada hubungannya dengan sesuatu. Kalau memang benar Raja adalah seorang pengikat kontrak, bisa saja dia menginginkan sesuatu yang lebih."

"Pembatalan kontrak, mungkin?"

"Kontrak dengan iblis tidak bisa dibatalkan," kata Axelle.

"Saya akan mencari tahu," kata Duke Colton. "Informasi yang seperti itu mungkin masih bisa ditemukan di perpustakaan di Kuil Suci Beulah."

"Duke Colton akan ke sana?" tanya Axelle.

"Ya, tentu saja. Mengingat Pangeran tidak akan ke sana."

Axelle tertohok mendengarnya.

"Dengar, Pangeran. Bukannya saya tidak percaya pada Anda. Hanya saja terlalu banyak keraguan di hati Anda, dan itu membuat Anda menjadi penakut," kata Duke Colton. Dia berdiri, hendak pergi. "Saya juga bukannya bermaksud untuk melangkahi Anda. Tapi jika ada sesuatu yang bisa saya lakukan, saya akan melakukannya. Jangan ragu untuk menghubungi dan meminta bantuan pada saya. Lalu, untuk saat ini biar saya yang mengurus Rheannon."

"Ya, terima kasih," gumam Axelle.

"Tidak, Pangeran. Saya yang harusnya berterima kasih pada Anda."

Duke Colton menepuk pundak Axelle, lalu pergi dengan diikuti Chas. Axelle sendiri tidak berdiri untuk mengantar tamunya tersebut kembali.

Saat ini Axelle merasa dirinya…

tak berguna dan tak berdaya.

***

"Aku harap kita tidak terlalu keras terhadap Pangeran Axelle," ucap Duke Colton seraya kembali menuju tempat perburuan.

Chas melirik ayahnya. "Aku pun tidak menyangka Ayah akan berbicara seperti itu pada Pangeran Axelle," katanya. "Ayah menyayanginya lebih daripada menyayangiku."

"Dia butuh dorongan," desah Duke Colton. "Dia dulu pasti dibesarkan dengan gambaran hidup sebagai orang biasa. Tak pernah membayangkan jika dirinya akan menjadi satu-satunya penerus kerajaan yang sah. Dan sekalinya itu terjadi dia justru tak yakin dengan kemampuannya sendiri. Bukan berarti hal tersebut tidak bisa dimengerti…"

Chas mengangguk paham. "Karena mendiang Pangeran Hiero adalah orang yang sangat hebat. Seluruh rakyat mencintai dan membanggakannya. Sementara Pangeran Axelle waktu itu cuma bocah yang jarang menampakkan diri di perkumpulan sosial, mudah sakit, dan pemalu."

Sepasang ayah dan anak itu kemudian berhenti saat melintasi Aula Lukisan yang menjadi jalan pintas. Ada banyak lukisan para keluarga istana di sana. Keduanya berhenti tepat di lukisan keluarga Raja Rexton IV.

Pada lukisan itu duduklah Raja Rexton IV berdampingan dengan istrinya. Keduanya tampak tersenyum lembut dan tulus. Mereka berdua diapit oleh anak-anak mereka yang masih kecil. Hiero sang pangeran pertama di sisi ayahnya, tersenyum penuh kebanggaan. Axelle yang lebih kecil lagi berdiri seakan ingin bersembunyi di balik ibunya, tapi masih mencoba untuk tersenyum.

"Kita tidak pernah membuat yang seperti ini dengan Ibunda," celetuk Chas.

"Memang tidak sempat, kan?" sahut Duke Colton. "Tapi setidaknya kita punya satu lukisanku dengan ibumu, lalu satu lagi lukisan kita dengan Marioline."

"Kapan Marioline pulang, ya?"

"Kamu rindu pada adikmu?"

"Yah, di saat seperti ini, lebih baik dia tetap di sekolah saja."

Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka.

***

Mengingat Chas hanya berpura-pura berpartisipasi pada perburuan dan mengingat pula jika dia lebih banyak menghabiskan waktu di kastil Axelle, jelas dia kalah. Namun sebagai kamuflase, Chas memburu seekor rusa bertanduk emas, memenggal kepalanya, dan menghadiahkannya pada Luciell.

"Saya mempersembahkan tanduk rusa ini untuk Yang Mulia Putri Luciell. Semoga Putri senantiasa diberkati oleh Dewa."

Kedengarannya romantis sekali. Sayang Luciell tidak menyaksikan sendiri penyerahan kepala rusa bertanduk emas itu.

Lebih tepatnya, Luciell menyayangkan dirinya yang tidak dapat bertemu dengan Chas. Pasti ada maksud tersendiri di balik penyerahan kepala yang sengaja dipenggal itu.

"Setidaksukanya Chas pada sesuatu, dia akan tetap melakukan pekerjaannya dengan serius," kata Luciell sambil mengawasi orang-orang melakukan pengawetan terhadap kepala rusa tersebut. Nantinya, kepala rusa itu akan dia gantung di atas salah satu perapiannya.

Jika Luciell masih berminat.

"Rusa bertanduk emas sangat jarang ditemukan di sekitar sini, Putri," kata salah seorang dayang yang menemaninya. "Tuan Chas pasti kesulitan mencarinya."

Benarkan?

Tapi meski demikian, Luciell senang karena setidaknya Chas masih memikirkannya–walau mungkin bukan dalam artian baik.

"Selebihnya tidak ada hal khusus yang terjadi dalam perburuan kali ini," dayang Luciell melanjutkan laporannya. "Selain Putra Viscount Cutler dan ketidakhadiran Pangeran Axelle."

"Oh, sungguh?" tanya Luciell. "Sepupuku yang manis itu tidak terlihat di arena perburuan atau sekadar duduk-duduk dengan bangsawan lain?"

"Ya, Yang Mulia Putri. Tidak ada pula perwakilan dari kastil Pangeran Axelle."

"Tidak biasanya dia seperti itu." Luciell tersenyum. "Kuharap itu karena dia sedang mempersiapkan hadiah yang bagus untuk ulang tahunku."

***

Sementara itu di tempat lain, Hadrian mendengar berita serupa di kamarnya.

Tetapi ada satu tambahan informasi lain yang didapatkannya.

"Ada tamu yang berkunjung ke kastil Pangeran Axelle. Dua orang. Mereka datang secara terpisah, tapi yang satu datang bersama Pangeran Axelle entah dari mana. Saya kira, mereka adalah Duke Colton dan putranya."

"Sayang sekali saya tidak bisa mengetahui apa pembicaraan mereka. Tapi bagi Duke Colton untuk mengunjungi Pangeran Axelle secara diam-diam… Rasanya tidak mungkin sekali Duke Colton mementingkan dirinya sendiri."

"Keluarga Colton memang keluarga yang turun menurun mengabaikan keinginan mereka demi membersihkan kotoran kerajaan. Hanya saja, saat itu," Hadrian memejamkan matanya sesaat, "Duke Colton berani menolak perintah Raja Rexton V untuk mengeksekusi mendiang Raja dan Earl Whitley. Lagi pula, menurut pengakuan Yang Mulia Raja, Duke Colton sering mencari keponakannya. Entah itu karena Duke Colton tidak tega atau dia mempunyai prasangka."

"Akan sangat mengerikan jika Duke Colton mempunyai prasangka tersendiri…"

"Itu hanya dugaan–prasangka–saja," kata Hadrian tak yakin. "Karena kembali ke masalah semula kita: kenapa Duke Colton berkunjung ke kastil Pangeran Axelle? Di waktu yang sangat tepat ini…"

Mata Hadrian dan mata Ichabod bertemu.

"Demi Dewa," bisik Ichabod. "Tidak mungkin kan, apa yang selama ini Pangeran Axelle cari dan sembunyikan adalah Putri Whitley?"

"Hanya itu alasan yang masuk akal saat ini," kata Hadrian.

"Apa yang akan Marquis lakukan sekarang?"

Hadrian teringat janjinya pada Axelle. "Seperti yang kita berdua ketahui, ini semua baru dugaan saja. Belum ada bukti jika Pangeran Axelle telah membebaskan Putri Whitley dan Duke Colton tahu tentang hal tersebut," katanya. "Lebih baik kita cari bukti dulu–sekali lagi berkunjung ke kastil Pangeran Axelle. Juga dengan Duke Colton."

"Saya akan mengatur jadwalnya."

Sepeninggal Ichabod, Hadrian keluar ke beranda kamarnya. Setelah mendengar informasi barusan dan mengolahnya dia merasa butuh udara segar. Segala kemungkinan ini mengerikan. Putri Whitley itu, walau sekarang mungkin masih belasan tahun, adalah seorang tahanan berbahaya menurut Istana. Membebaskannya berarti kejahatan besar. Kenapa Axelle mau repot-repot membebaskannya?

"Apa tujuanmu?" tanya Hadrian pada pita ikat rambut yang sudah disucikan dan diberkati oleh Axelle. Berkat pita ikat rambut ini sekarang Hadrian jadi bisa berpikir lebih jernih, meski sesekali dia merasakan ada suatu pertentangan dalam dirinya.

Apakah sebenarnya Axelle berusaha mencelakainya?

"Marquis? Maaf karena sembarang masuk. Anda tidak menjawab panggilan saya."

Desmond muncul dari ambang pintu kamarnya. Maka Hadrian segera menemuinya.

Hadrian tersenyum tipis pada saudara jauhnya tersebut. Dia sudah meminta agar Desmond memanggilnya dengan sebutan "paman", tapi kelihatannya dia masih butuh waktu.

"Masuklah, Desmond," panggil Hadrian. "Ada apa malam-malam begini?"

Desmond terlihat ragu. Matanya memindai kamar Hadrian. Di saat begini, Hadrian tahu jika sebenarnya Desmond hanya ingin tahu bagaimana kabarnya. Desmond selalu ingin tahu bagaimana kabarnya.

Salahku juga karena tidak mempunyai waktu untuknya. Padahal aku sudah berjanji akan merawatnya dengan baik, batin Hadrian.

"Oh, itu pita merah yang Marquis bilang mendapat berkat dari Pangeran Axelle, ya?" celetuk Desmond tiba-tiba.

"Ini?" Hadrian menyerahkan pita ikat rambut merahnya pada Desmond. "Ya. Pangeran Axelle memiliki kemampuan suci yang hebat."

"Wah!" gumam Desmond kagum. "Pangeran Axelle pasti sangat hebat kalau begitu. Padahal sudah seminggu lebih, tapi kesucian dan berkatnya masih menempel pada pita ini."

"Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Bukankah semua benda suci memiliki cahaya aura tersendiri? Cahaya yang berpendar kebiruan pada pita ini adalah berkat dari Dewa," jelas Desmond. "Orang-orang yang memiliki kekuatan suci yang besar juga memiliki aura yang sama seperti ini."

Hadrian terdiam. Tidak, Desmond. Kurasa tidak semua orang bisa mengerti dan melihat apa maksudmu barusan.

Dia sudah akan bertanya lebih jauh pada Desmond, tapi seseorang menginterupsinya.

"Marquis!" Kesatrianya itu tampak tegang. "Istana menangkap Pangeran Axelle!"