Chereads / No Past and No Future / Chapter 15 - Pengendali Iblis (3)

Chapter 15 - Pengendali Iblis (3)

Menyusup ke dalam Kuil Suci Beulah bukan perkara sulit, tapi jelas penyusupan hanya bisa dilakukan oleh profesional. Selayaknya tempat yang sering dijadikan pertemuan politik rahasia, Beulah juga dijaga ketat. Rakyat biasa yang hendak beribadah maupun berobat hanya bisa masuk sampai bagian tengah bangunan dan taman saja. Jika ingin masuk lebih dalam maka harus mendapatkan izin dari otoritas setempat.

Perpustakaan Beulah dibagi menjadi dua bagian. Bagian luar berisikan buku-buku dan segala catatan formal, terbuka untuk umum-terbatas. Bagian dalam berisikan buku-buku dan catatan terlarang gelap, termasuk di dalamnya catatan pekerjaan kotor keluarga Colton, hanya bisa dimasuki dengan izin dari kuil yang birokrasinya sungguh panjang.

Dan, ke perpustakaan bagian dalam itulah Chas pergi.

[Ringkasnya, Dewa tidak pernah sekalipun mengutuk umat-Nya. Mereka yang mampu melihat maupun mengendalikan iblis hanyalah manusia biasa dengan bakat suci yang tinggi. Hanya saja kemampuan suci mereka bukanlah untuk mendekatkan manusia dengan Dewa, tetapi untuk menjauhkan manusia dari godaan iblis.

Manusia-manusia ini adalah utusan Dewa untuk melindungi umat-Nya. Mereka tidak patut ditakuti.]

[Dewa Maha Baik, Dewa Maha Pelindung. Dia mencintai seluruh umat-Nya, seluruh makhluk cipataan-Nya tak terkecuali iblis. Untuk itulah pengendali iblis lahir di bumi Kita; agar manusia dan iblis mampu hidup berdampingan. Jikalau iblis berhasil mempengaruhi seseorang, hendaknya kita jadikan pelajaran. Sejatinya seluruh kemalangan di bumi Kita bukanlah datang dari iblis, ketidakmampuan dalam mengendalikan iblis, datang dari pengendali iblis, ataupun kemurkaan Dewa. Kemalangan di bumi Kita adalah sebuah pelajaran dan cobaan untuk memperkuat iman seseorang.]

[Dari beberapa sumber yang didapat, sejatinya tak pantas bagi kita takut pada para pengendali iblis. Mereka adalah salah satu utusan Dewa. Mereka ada untuk melindungi manusia.

Bukti jika mereka adalah utusan yang dicintai Dewa bisa kita lihat di kerajaan Pyrs. Dulu orang-orang Pyrs menganggap para pengendali iblis sebagai penyihir hitam yang berbabahaya. Kemudian mereka membumihanguskan seluruh pengendali iblis mereka. Setelahnya iblis merajalela di sana karena tak ada yang mampu mengendalikan mereka.

Itulah kemudian yang menyebabkan Pyrs ingin menginvansi Rexton, yakni untuk mendapatkan pengendali iblis.]

"Sekarang semuanya masuk akal," gumam Chas sambil menutup buku kesekian yang dibaacanya.

Raja memang benar-benar tidak bisa sembarangan membunuh Rheannon, maka dari itu dia diasingkan.

Tapi Rheannon satu-satunya pengendali iblis yang tersisa sekarang. Walau bagaimanapun, Rheannon hanyalah manusia biasa yang kelak akan mati.

Bagaimana kerajaan ini nantinya selepas kematian Rheannon?

***

[Matahari sudah terbit, Kecil. Ini sudah hari kedua.]

Rheannon membuka matanya perlahan. Dia tidak pernah bisa tidur nyenyak sejak dikurung di Menara Bayangan. Apalagi sekarang, ketika akhirnya dia kembali terpenjara di tempat sempit yang sama tidak nyamannya dengan Menara Bayangan.

[Pangeran itu keadaannya mulai memburuk. Sejak semalam dia terus terjaga. Bocah malang.]

Bertahanlah sebentar lagi, Axelle, batin Rheannon. Ini mungkin masih belum ada apa-apanya.

Setelah ini, jika semua berjalan sesuai rencana, mereka akan keluar dari Istana sebagai kriminal. Kehidupan di luar sana sebagai kriminal akan sulit, akan ada banyak penolakan dari masyarakat. Terutama untuk Axelle sendiri, penolakan itu akan datang dari rakyat yang seharusnya dipimpinnya, yang seharusnya mendukungnya tetapi mereka dibutakan oleh fakta. Pasti rasanya menyiksa. Hanya ada satu tempat yang akan benar-benar menerima Axelle apa adanya, tapi tempat itu sulit dijangkau.

Dan, tidak hanya itu saja. Jika Axelle berhasil keluar dari Istana, maka perebutan takhta tidak akan bisa terhindarkan. Faksi tersembunyi Axelle Rexton akan mulai bergerak untuk menjatuhkan Raja Rexton V dan menaikkan Axelle ke atas takhta. Pertumpahan darah yang dibenci Axelle akan terjadi.

Pintu sel Rheannon terbuka. Jam sarapan. Kali ini diantar oleh Hadrian sendiri. Raja sungguh baik pada Rheannon dalam penahanannya kali ini.

"Kemarin Duke Colton datang menemui Yang Mulia Raja. Beliau datang untuk memastikan rumor yang sedang merebak," beritahu Hadrian. Mereka saling bertatapan tajam. "Duke Colton terlihat ingin bertemu denganmu."

"Saya juga," aku Rheannon. "Temui Axelle."

"Kau menyuruhku menemui Pangeran?" tanya Hadrian memastikan. Rheannon mengangguk. "Kenapa?"

"Butuh teman." Rheannon berdeham, berusaha melegakan tenggorokannya. "Dia sendiri."

Rheannon perhatikan Hadrian melirik ke arah lain, seakan dia tidak ingin perasaannya terbaca.

Rheannon tersenyum miring. "Tidak berani?" dengusnya. "Merasa bersalah?"

Hadrian dengan cepat menetralkan ekspresinya. "Saya hanya ditugaskan untuk menemui Anda," katanya.

Dasar anjing Raja, batin Rheannon. Dia pun memilih untuk makan.

"Kalau Anda mau mengatakan semua kebenarannya pada saya, saya akan menemui dan berbicara dengan Pangeran Axelle," tambah Hadrian dengan nada sedikit membujuk.

"Lupakan," kata Rheannon. Dalam hati dia meminta maaf pada Axelle.

"Anda benar-benar peduli pada Pangeran, ya?" tanya Hadrian. "Apa karena Pangeran telah menyelamatkan Anda?"

"Pangeran baik," kata Rheannon.

"Kalau kalian terus saling melindungi begini, kalian berdua akan sama-sama mati. Semua akan menjadi sia-sia."

[Sampaikan pada Raja: dia yang akan mati kalau mencoba membunuhku dan Axelle.]

***

Hadrian menutup sel tahanan Rheannon. Dia kemudian beralih pada sel tahanan Axelle yang tampak sunyi.

Perasaan bersalah menggelanyutinya.

Selama ini Axelle adalah orang baik. Dia menerima semua kunjungan Hadrian ke kastilnya dengan ramah meski kentara sekali jika para pelayan dan kesatria Axelle tidak menyukainya. Axelle juga sudah menyembuhkannya dari segala kemelut pikiran yang membuat pundaknya terasa berat; pita ikat rambut merah yang diberkatinya sungguh manjur.

Kalau Axelle sampai mati Hadrian akan membawa seluruh perasaan bersalah ini ke liang lahatnya.

Tapi…

"Tidak akan, ya?" Hadrian mengulang kata-kata Rheannon.

Wanita itu terdengar percaya diri sekali saat mengatakannya. Dia bahkan sempat-sempatnya mengancam Raja.

Apakah karena kemampuan yang dimilikinya? pikir Hadrian sambil mengetuk sel tahanan Axelle yang benar-benar tertutup tanpa celah sedikit pun. Tidak mendapat sahutan apa pun dari dalam, maka dia membukanya perlahan.

Axelle tengah terduduk di lantai, menyamping dari hadapan Hadrian. Kepalanya tegak menatap dinding tanpa berusaha menoleh sedikit pun.

Dada Hadrian terasa nyeri.

***

Pesta ulang tahun yang sudah jauh-jauh hari dipersiapkan itu terpaksa dibatalkan mengingat tidak kondusifnya situasi. Luciell tidak mengeluh karena mengerti bagaimana kekhawatiran ayahnya.

Kerajaan makmur yang sejahtera ini akan menjadi milik Luciell nantinya. Raja Rexton V ingin memastikan jika kerajaan ini masih akan sama makmur dan sejahteranya saat menjadi milik Luciell nanti. Luciell sendiri juga tidak mau diserahi kerajaan yang sudah babak belur nantinya–sama seperti kebanyakan orang, dia ingin memegang dan menikmati kekuasaan dengan tenang.

Dan, sialnya, kunci dari kemakmuran kerajaan ini ada pada Putri Whitley itu.

"Harusnya aku memang tahu kalau Ayahanda sedikit terburu-buru menghabisi mereka," gumam Luciell sambil memetik dedaunan.

Kalau Rheannon sampai sembarangan kabur, dia bisa saja melepas iblis yang dikendalikannya untuk menghancurkan Rexton. Tapi kalau terus mengurungnya seperti sekarang, dengan rakyat yang mengetahui keberadaan dan kurungannya, bisa-bisa Rheannon dituntut hukuman mati.

Dia harus hidup, tapi tidak bisa seenaknya, pikir Luciell. Tapi bagaimana caranya?

[Kau menyesal, Gadis Kecil?]

"Enyah kau," desis Luciell.

[Oh! Sungguh kata-kata yang tidak pantas diucapkan seorang Putri Raja!]

Luciell menggeram kesal menahan amarah.

"Ini semua salahmu, Axelle," gerutu Luciell kesal. Dia tak menyangka akan datang hari bagi sepupu manisnya itu akan bertindak nekat. Apa pula maunya sampai membebaskan Putri Whitley itu? Axelle sama sekali tidak tertarik dengan takhta.

Atau, setidaknya begitulah menurut Raja Rexton V yang diketahuinya dari Hadrian.

Marquis Hadrian tidak mungkin berbohong, pikir Luciell. Tapi di pertemuan terakhir mereka dia tampak aneh. Kekuatan iblis Luciell seakan tidak mempan pada Hadrian…

"Yang Mulia Putri?" Salah seorang dayang Luciell menghampirinya di taman. Duke Ithel Colton dan Tuan Chas Colton berkunjung ke Istana. Tuan Chas ingin bertemu dengan Anda."

Pikiran Luciell segera teralih. "Ada apa?"

"Hari ini ulang tahun Yang Mulia Putri. Tuan Chas ingin menyerahkan hadiah untuk Putri."

Luciell tersenyum lebar. "Bantu aku berganti pakaian, cepat! Yang lainnya siapkan jamuannya!"

Entah apa motif Chas karena meminta bertemu tanpa pemberitahuan sebelumnya. Luciell tak peduli. Yang penting mereka bertemu.

Duchy of Colton sangat dekat dengan Ibu Kota Ozera, dan Duke Colton sendiri pun sering berkunjung ke Istana untuk melaksanakan pekerjaan sampingan keluarganya. Hanya saja Chas–demi Dewa–susah sekali untuk ditemui!

"Putri Luciell Rexton," sapa Chas. Lelaki itu membungkuk hormat padanya. "Chas Colton datang untuk menemui Anda," katanya. Dia mengecup tangan Luciell setelahnya.

Pria sejati sampai akhir, batin Lucielle. "Terima kasih atas kunjungannya, Tuan Chas," ucapnya. "Silakan duduk. Anda mau suguhan manis? Kami punya banyak sekali suguhan manis saat ini, mengingat pesta ulang tahun saya terpaksa dibatalkan."

"Saya turut menyesal mendengarnya, Putri," komentar Chas hampir-hampir datar.

Luciell tersenyum tipis. "Padahal saya sudah menantikan waktu untuk berdansa dengan Anda."

Mereka saling melempar tatapan penuh arti.

"Mohon maaf atas kunjungan mendadak saya. Saya kemari untuk menyerahkan hadiah ulang tahun Putri," kata Chas.

Chas memberi gestur pada pelayan yang dibawanya untuk mendekat. Pelayannya itu menyerahkan sesuatu pada Chas. Sebuah kota perhiasan. Chas mengambilnya dan membukanya di hadapan Luciell. Tampaklah sebuah bros dengan ukiran kobaran api yang rumit dengan batu permata berwarna biru cerah

"Maafkan saya jika hadiah ini tidak berkenan di hati Putri Luciell," ucap Chas tenang. "Saya sendiri yang membuatnya."

Luciell tersenyum. "Bagaimana saya tidak menyukainya jika saya tahu jika Tuan Chas sendiri yang membuatnya?" sindirnya. "Saya terima hadiah dari Anda, Tuan Chas. Terima kasih atas hadiah yang… sangat bermakna ini."

"Terima kasih kembali." Chas balas tersenyum. Bukan senyum senang yang tulus. "Saya senang Putri Luciell mau menerima hadiah dari saya."

"Jadi inikah yang Tuan Chas selama ini lakukan?" tanya Luciell. Jemari lentiknya menelusuri ukiran brosnya. "Membuat karya seni alih-alih mengemban tugas selayaknya pria bangsawan lain?"

"Dengan segala hormat, Putri Luciell, saya hanyalah putra seorang duke yang tidak memiliki gelar apa-apa. Saya tidak memiliki hak atas apa pun yang Ayahanda dan Kerajaan Rexton miliki," jelas Chas.

"Padahal Anda bisa mendapatkan gelar Duke Muda. Setidak-tidaknya, Anda juga bisa menjadi kesatria. Atau…" Luciell menyesap tehnya sambil melirik Chas. "Anda tidak menginginkannya?"

Chas tertawa kecil. "Saya tersanjung karena Putri Luciell begitu memperhatikan saya yang bukan siapa-siapa ini."

Luciell balas tertawa kecil. "Tuan Chas tentunya tahu apa alasannya."

"Sekarang Anda membuat saya malu, Putri Luciell."

Sialan, batin Luciell. Reaksi Chas selalu seperti ini saja. Dia bilang dia tersanjung, senang, dan malu, tetapi ekspresi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan itu semua.

Apa yang salah? Apa yang kurang?

Apa yang direncanakan oleh Chas? Tidak mungkin dia sekadar iseng mempermainkan Luciell.

"Terima kasih atas jamuannya, Putri Luciell. Saya rasa, saya harus undur diri sekarang. Ayahanda pasti sudah menunggu saya saat ini," pamit Chas.

"Dan, kenapa Duke Ithel Colton tidak menemuiku?" tanya Luciell.

Chas berdiri dan menatap Luciell dengan muak terang-terangan. Luciell tersenyum senang melihat ekspresi itu.

"Untuk mencari tahanan Istana yang kabur, tentu saja," kata Chas, lalu pergi berlalu.

"Menarik," gumam Luciell. Dia menyesap tehnya sendirian.