"Kau masih tidak mau mengatakan apa pun kan, Axelle?"
Axelle menyipitkan matanya, berusaha merasakan sisa kesadaran dan indranya. Tepat di depannya, Raja Rexton V berdiri menjulang dengan ekspresi ingin mencekiknya sampai mati. Di sisinya, dua kesatria bertopeng mengawasinya.
"Aku ulangi sekali lagi." Sang Raja mendekatkan wajahnya pada Axelle. Dia kemudian berdesis, "Di mana kau menyembunyikan anak Whitley itu?"
"Saya tidak akan menjawabnya," balas Axelle, sama seperti sebelumnya.
Begitu mendapat jawaban yang tak memuaskan tersebut, kesatria bertopeng langsung menenggelamkan kepala Axelle pada sebaskom besar air. Setiap kali selalu lebih lama dari sebelumnya, juga lebih kasar.
Axelle belum juga bernapas lega saat kepalanya diangkat, tapi kemudian dia ditenggelamkan lagi. Syaraf di kelapanya yang terkejut tak sengaja menghirup air, dan itu membuat hidung serta tenggorokannya terasa panas. Kepalanya pening. Matanya panas.
Jelas Axelle tidak pernah dipersiapkan untuk merasakan ini semua.
"Padahal selama ini kau adalah anak baik yang penurut." Samar-samar Axelle mendengar Raja mengatakan sesuatu. Bayangan sang Raja semakin mendekat. Di detik berikutnya, dia sudah menyentakkan dagu Axelle agar mendongak menatapnya. "Tapi kenapa sekarang kau membangkan begini?"
"Saya… hanya ingin menolongnya dari tempat itu," ucapnya susah payah.
Sang Raja mendengus mengejek. "Begitu? Sungguh dramatis sekali anak pengkhianat kerajaan saling tolong menolong."
Axelle menyipitkan matanya tajam. Dia tidak suka sebutan barusan diucapkan oleh pengkhianat sesungguhnya.
"Hmm? Kenapa menatapku seperti itu, Pangeran?" desis sang Raja geram. Dia memberi gestur pada kesatria bertopeng untuk menenggelamkan kepala Axelle lagi. Begitu selesai, dia berkata, "Ternyata sebaik apa pun seseorang, tetap ada rasa benci di hatinya, ya? Benar begitu kan, Pangeran?" Sang Raja tersenyum mengejek. "Kau membenciku."
Apakah Axelle membenci orang di hadapannya ini? Pamannya sendiri?
Ya.
Atas kematian kedua orangtuanya. Atas kematian kakaknya. Atas kematian orang-orang Raja Rexton IV. Atas nasib malang bagi mereka yang masih bertahan hidup entah di mana. Atas keadaan Rheannon yang mengenaskan.
Atas keadaannya sendiri saat ini.
"Tapi meski kau membenciku, kau tidak bisa mengatakannya," lanjut sang Raja. "Kau tahu kenapa, Axelle? Karena kau tidak memiliki bukti atas alasanmu tersebut."
Namun daripada membenci paman yang telah merebut takhta dan segalanya ini, Axelle lebih membenci dirinya sendiri yang tidak bisa melakukan apa-apa ini.
Padahal Axelle bisa melihatnya dengan jelas sosok iblis yang menggelayuti Raja Rexton V; bukti jika beliau adalah seorang pengikat kontrak.
"Kita sudahi saja interogasinya. Pangeran Terbuang ini tidak akan mengatakan apa pun–setikdanya padaku." Sang Raja mengibaskan tangannya di udara. "Kurung dia di sel khusus yang ada di ujung. Jangan biarkan ada cahaya masuk setitik pun."
Axelle terkesiap. Matanya membulat. Tubuhnya otomatis bergetar. "Tidak…" ucapnya. Kedua kesatria bertopeng menariknya pergi. "Tidak! Tolong di mana saja asal aku bisa melihat sesuatu!"
Meski berusaha memberontak, usaha Axelle tetap sia-sia. Para kesatria kemudian melemparkannya ke dalam sel, mendorongnya dengan kasar sampai Axelle terjatuh.
"Jangan kurung aku di sini!" teriak Axelle.
Pintu selnya terbanting tertutup.
Kegelapan total menyelimutinya.
Sunyi senyap.
Axelle tidak dapat mendengar apa-apa, bahkan teriakannya sendiri.
***
Ceritanya sederhana saja.
"Nah, kalau begitu aku yang jaga. Kamu dan Luciell bersumbunyi, nanti aku akan mencari kalian. Kuhitung sampai 100, ya!"
Axelle 5 tahun sedang bermain dengan kakaknya, Pangeran Hiero, di kediaman Luciell dalam rangka kunjungan rutin keluarga. Itu adalah hari pertama Axelle keluar dari lingkungan Istana untuk pertama kali; sesuatu yang sudah sangat dinanti-nantinya.
"Ayo kita cari tempat sembunyi, Axelle!" ajak Luciell sambil menggenggam tangannya pergi.
Dan pertama kalinya pula bermain sesuatu yang disebut "petak umpet".
Axelle senang hari itu. Dia bisa pergi keluar bahkan bermain dengan kakaknya yang selalu sibuk, juga mengunjungi paman yang selalu disebut-sebut oleh ayahnya.
Atau setidaknya, begitulah awalnya.
"Sebaiknya kita bersembunyi di tempat yang berbeda," kata Luciell. Sepupunya yang lebih tua itu tersenyum. "Aku di pintu yang ini, kamu yang di sana. Jangan keluar sebelum ditemukan, oke?"
Axelle hanya mengangguk patuh saat Luciell kemudian memasukkannya ke dalam ruangan yang sangat gelap.
Sangat gelap dan dingin. Dan menyeramkan. Bahkan melebihi malam berbadai yang ditakuti Axelle kecil.
Namun bersembunyi di ruangan itu sudah sepantasnya membuat siapa pun ketakutan, begitulah pikir Axelle saat dia mulai ingin keluar dari ruangan. Gelap dan dingin ruangan itu sangat tidak manusiawi. Axelle tak dapat melihat atau merasakan apa pun. Kakinya terasa tak menjejak lantai. Suara napas dan detak jantungnya juga tak terdengar.
Itu adalah sunyi senyap yang menakutkan. Daripada bersembunyi, Axelle rasanya seperti sedang dikurung.
Tak tahan, Axelle memutuskan untuk keluar.
Pintu itu tak ada di sana.
Jantung Axelle mencelus. Matanya mulai berair. Dia berteriak, memanggil Hiero, ayah, dan ibunya, tapi suaranya tak keluar–atau dia yang tak dapat mendengar suaranya.
Maka Axelle pun berlari. Anehnya, sejauh apa pun dia berlari, tak ada sesuatu yang dia capai.
Rasanya seperti sendiri, tak memiliki apa pun, tak ada tujuan.
"Kakak!" panggil Axelle sekuat tenaga sambil menangis. "Ayah! Ibu!"
Axelle kecil terus berlari. Pada satu titik, dia tak sanggup lagi berlari. Maka dalam gelap kesendirian itu dia terus menangis dan berteriak.
Sama seperti saat ini.
***
Penjara bawah tanah Istana adalah tempat yang gelap dan dingin. Jelas bukan tempat yang nyaman. Hadrian sendiri sudah terbiasa dengan tempat tersebut dalam kunjungannya mengantar tahanan maupun untuk melakukan interogasi. Hanya saja dia tak yakin para penghuni maupun mantan penghuni penjara ini akan bisa terbiasa dengan tempat ini. Terlebih lagi seseorang seperti Axelle.
Sangat sulit dipercaya Raja Rexton V tega mengurung seorang pangeran di penjara ini.
"Interogasi sebelumnya tidak berjalan lancar?" tanya Hadrian pada Theseus yang turut ikut selain Ichabod.
"Iya," jawabnya. "Pangeran cukup keras kepala. Padahal waktu itu Yang Mulia Raja sendiri yang bertanya."
"Benarkah?" Hadrian terkejut mendengarnya. "Itu aneh sekali." Mungkin ini adalah pertama kalinya Axelle benar-benar bersikeras melakukan sesuatu.
Apa dia benar-benar hendak merebut takhta? pikir Hadrian.
"Apakah Marquis butuh privasi saat menginterogasi Pangeran?"
"Hanya jika diperkenankan."
"Tidak masalah, Marquis." Theseus menyerahkan sebuah kunci. "Selnya ada di paling ujung."
Hadrian menatap jauh ke lorong yang remang-remang. Samar-samar dia mendengar pukulan pada sesuatu.
"Saya akan memberi waktu sampai matahari terbit," tambah Theseus. "Semoga Anda berhasil."
Theseus pun pergi meninggalkan Hadrian dan Ichabod.
Mereka berdua saling melempar lirikan. Namun kemudian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Suara pukulan itu terdengar makin jelas; suara seseorang yang memukul pintu besi. Sesekali juga terdengar suara cakaran yang seketika membuat Hadrian ngilu. Dia bisa membayangkan apa yang ada di balik suara tersebut.
Sesampainya di depan pintu, Hadrian meminta Ichabod mundur.
Hadrian membuka pintu sel tahanan Axelle perlahan, yang langsung disambut dengan pelukan di kaki.
"Aku tidak bisa mengatakannya!" teriakan Axelle terdengar begitu keras, seakan dia sendiri berusaha untuk mendengar teriakannya sendiri. "Tolong jangan kurung aku di sana lagi! Kumohon!"
"Pangeran Axelle!" Hadrian buru-buru berlutut, berusaha menenangkan Axelle.
Axelle terus saja berteriak dan menangis histeris. Dia ketakutan, getaran pada pelukannya yang mengatakannya.
"Jangan kurung aku di tempat gelap itu lagi! Kalian bisa melakukan apa pun padaku, tapi jangan kurung aku di sana!" mohon Axelle. "Bunuh aku saja sekalian!"
"Demi Dewa, Pangeran Axelle," gumam Ichabod syok.
"Tenanglah, Pangeran," ucap Hadrian susah payah di tengah histeria Axelle. "Saya mohon tenanglah…"
Dengan keadaan Axelle yang seperti ini, mustahil untuk melakukan interogasi.
Tidak. Nurani Hadrian bahkan tidak tega meninggalkan Axelle sendirian sekarang.
"Sir Ichabod, tolong," pinta Hadrian.
Ichabod terlihat tak yakin. Tapi dalam hitungan detik, dia sudah membuat Axelle jatuh pingsan di pelukan Hadrian.
"Maaf," gumam Hadrian.
"Tidak, saya yang harusnya meminta maaf, Marquis." Ichabod memandang Axelle dengan penuh rasa kasihan.
Hadrian menyandarkan Axelle pada salah satu sisi dinding. Dia memperhatikan pangeran yang akhirnya tenang itu. Entah kenapa kepala dan bagian atas bajunya basah. Wajahnya tampak lelah dan bawah matanya bengkak memerah. Telapak tangannya memar di sana-sini dan kuku-kukunya bahkan berdarah.
Sudah berapa lama Pangeran berusaha keluar dari selnya? batin Hadrian pedih.
Secara naluriah dia berusaha mengobati luka-luka Axelle.
"Di mana orang-orang dari kastil Pangeran?" tanya Hadrian.
"DI sel terpisah," jawab Ichabod.
Ini bukan hal baik, batin Hadrian seraya mengembalikan Axelle ke dalam sel tahannya dengan penuh rasa kasihan.
Meski saat ini orang-orang Axelle ada di penjara, pendukung Axelle di luar istana pasti sudah mendengar berita ini. Tinggal menunggu waktu saja sampai kekacauan terjadi. Apalagi jika ada yang tahu bagaimana keadaan Pangeran sekarang.
"Saya benar-benar tidak habis pikir," gumam Hadrian.
Ichabod menatap tuannya ragu. "Anda berada di sisi Pangeran?"
Ya dan tidak. Raja Rexton V mempercayainya untuk mengawasi Axelle sejak dia resmi menjadi tahanan rumah. Hadrian sudah melakukan pekerjaannya dengan baik selama hampir sepuluh tahun ini. Semua kejanggalan dia laporkan, semua aktifitas dia cermati melalui orang-orang yang sudah Hadrian tempatkan secara khusus di Istana.
Setidaknya, sampai kunjungannya yang terakhir itu.
Hadrian pun bertanya-tanya mengapa mengapa dia menyembunyikan satu fakta pada Raja–untuk pertama kali dalam hidupnya. Perasaan bersalah? Perasaan ragu terhadap Raja?
"Saya yang membunuh orangtua Axelle."
"Marquis tidak melakukannya! Sudah berapa kali saya bilang jika Marquis–"
Suara Ichabod yang terputus dan gedebuk pelan di tanah membuat Hadrian terkesiap. Saat dia menoleh, Ichabod sudah pingsan. Lalu tak jauh darinya berdiri sesosok kecil yang bertudung gelap.
Hadrian memasang posisi siaga siap menyerang. Tangannya siap mencabut pedangnya.
Sosok itu mengangkat tangannya, meminta agar Hadrian tenang. Kemudian sosok itu menurunkan tudungnya, menampakkan wajahnya.
Rambut merah dan mata keemasan.
"Rheannon… Whitley?"
Sosok itu mengangguk kecil.