"Ada ribut-ribut apa?" tanya Duke Colton.
"Oh, Duke Colton!" sapa Marquis Wynton yang datang bersamaan dengannya. Dia mendekat dan berbisik, "Saya dengar Marquis Hadrian pingsan saat berkunjung ke Istana."
Duke Colton mengernyitkan alisnya heran. "Sakit?"
"Kelihatannya begitu. Keadaannya memang tidak baik akhir-akhir ini. Bukankah putra Duke Colton sempat menolongnya tempo hari?"
Mendengar dirinya disebut, Chas menyahut, "Ya, tapi Marquis Hadrian tidak sampai pingsan. Sejujurnya, saya kira itu hanya kelelahan biasa."
"Hmmm. Tapi kalau kali ini sampai pingsan, itu artinya memang parah," gumam Duke Colton.
"Kelihatannya pertandingan berburu kali ini akan dengan mudah dimenangkan oleh Tuan Chas, ya?"
Chas memaksakan sebuah tawa. Tidak, dia sama sekali tidak berniat atau ingin menang dalam pertandingan berburu yang diadakan istana.
Mereka bertiga pun pergi menuju tempat berburu dengan didampingi seorang kesatria istana, sesuatu yang tampak janggal karena biasanya mereka hanya akan didampingi oleh seorang prajurit biasa.
Yah, wajar saja ini terjadi, batin Chas. Saat ini Istana pasti sedang kalang kabut karena kehilangan Rheannon. Mereka sedang berjaga-jaga, tidak ingin seorang pun bertemu dengan Rheannon terlebih dulu. Barangkali takut jika Rheannon mengatakan rahasia istana.
Pertandingan berburu pun dibuka tanpa kehadiran sang Putri. Dalam pembukaan tersebut tidak dikatakan apa-apa soal kehadirannya dan membuat pembicaraan soal Hadrian berganti menjadi pembicaraan soal sang Putri.
"Yah, baguslah dia tidak ada," gumam Chas selagi wasit membacakan peraturan berburu. Ini artinya dia tidak perlu repot-repot menghindari Luciell.
"Seperti biasa," lanjut wasit, "peserta dilarang mendekati hutan selatan istana. Dan demikianlah peraturan untuk pertandingan berburu dalam memperingati ulang tahun Putri Luciell kali ini. Dengan ini, pertandingan berburu dimulai!"
Di antara dia dan ayahnya, hanya Chas yang biasanya berpastisipasi. Duke Colton memilih untuk berbincang dengan bangsawan lain, sekaligus untuk mengumpulkan informasi dari gosip-gosip yang tengah beredar.
Tapi kali ini peran mereka sedikit berbeda. Chas akan pergi ke hutan selatan istana, Menara Bayangan yang menurut pengakuan Rheannon adalah tempat di mana dia dikurung selama ini. Sementara itu Duke Colton akan menyelinap pergi menuju kastil kecil Axelle untuk menjelaskan soal kepergian Rheannon.
Penyusupan tahap kedua, dimulai.
***
Dengan bantuan Rheannon yang hanya bisa bicara sekadarnya, Chas dan ayahnya mampu memastikan letak Menara Bayangan yang selama ini hanya dikenal sebagai dongeng belaka.
Di selatan hutan istana, jauh di dalam di antara pepohonan yang rapat dan rimbun. Cahaya hampir-hampir tidak bisa menembus rimbunnya pepohonan. Tempatnya terpencil, seperti bukan bagian dari wilayah istana. Rheannon juga mengatakan, sesekali di sana akan terdengar suara geraman hewan buas entah apa.
"Tempatnya sesulit itu ditemukan?" tanya Duke Colton saat itu.
Rheannon mengangguk. "Iblis."
"Itu adalah tempat yang dikuasai iblis?" ulang beliau. "Lalu… bagaimana kamu dan Pangeran Axelle…?"
Rheannon hanya tersenyum simpul saat itu.
Apa maksud senyumannya waktu itu? pikir Chas seraya dia menerobos hutan selatan istana. Makin ke dalam, langkahnya terasa makin berat.
Pada suatu titik, Chas menghentikan langkahnya. Hawanya sudah jauh berbeda sekarang. Berat dan menusuk. Tanda-tanda jika tempat ini memang benar dikuasai iblis.
Ini dia.
Chas melanjutkan langkahnya, mengabaikan hawa tak enak yang melingkupi. Terus berjalan, sampai akhirnya dia tersadar jika dari tadi dia hanya berputar-putar di satu tempat. Ilusi dari para iblis yang mempermainkannya. Mereka tidak akan membiarkan Chas mendekat ke Menara Bayangan dengan mudah.
"Sialan!" umpat Chas seiring dengan gema tawa iblis di hutan.
Bukannya Chas mengira ini akan mudah. Kemampuan yang dia pelajari dari bibinya, mendiang Nyonya Talisa Whitley, memang hanya untuk melihat, merasakan, dan melindungi diri dari serangan kecil iblis. Chas heran saja bagaimana cara para kesatria istana dan Axelle bisa masuk ke tempat ini dengan selamat.
"Masa aku harus bawa jima atau air suci?" gerutu Chas tak habis pikir.
Masalahnya Chas tidak yakin di mana dia bisa mendapatkan jimat saat ini. Mau meminta air suci ke istana atau Kuil Suci Beulah pun dia enggan, air suci sudah tak suci lagi sekarang. Di daratan kerajaan Rexton yang makmur ini, hanya sedikit kuil yang kesuciannya masih terjamin sejak Raja Rexton V menggulingkan raja sebelumnya. Salah satunya ada di Kota Suci Zion, tapi tempat itu sangat sulit diakses.
Terdengar suara langkah kaki ketika Chas kelewat sibuk berpikir. Dia pun buru-buru bersembunyi di balik pepohonan sambil mengawasi suara itu dan mencari asalnya.
Sebentuk bayangan terlihat. Tak lama, Chas dapat melihat sosoknya dengan jelas.
Rambut keperakan, mata biru, penampilan yang lembut…
"Pangeran Axelle?"
Orang itu terlonjak kaget. Dia menatap Chas tak yakin. "Eh. Anda…?"
"Chas Colton, Pangeran," decak Chas.
"Oh…"
Mereka berdua berdiri dan bertatapan dengan canggung.
***
"Jadi…" Axelle terdengar gugup dan tak yakin.
Chas gemas dibuatnya. Maksudnya, lelaki ini dulunya adalah calon kedua penerus kerajaan Rexton setelah kakaknya, Pangeran Hiero. Kenapa sikapnya seperti ini?
"Ehm. Pertama, sebaiknya kita pergi dulu dari sini," ajak Axelle. "Ayo."
Chas tidak memiliki pilihan selain mengikuti Axelle. Lagi pula, kelihatannya dia baru saja dari Menara Bayangan–memangnya apa lagi yang mungkin dilakukannya di hutan selatan yang berbahaya ini?
"Pangeran baru saja dari Menara Bayangan?" tanya Chas.
Axelle mendadak kaku. "Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Saya yang membawa pergi Rheannon semalam. Dia bercerita sedikit soal masa kurungannya."
"Oh, demi Dewa. Saya pikir Rheannon menghilang ke mana. Saya sudah khawatir sekali."
"Yah, tapi waktunya pas, kan?" kata Chas enteng. "Duke Colton harusnya sekarang sudah ada di kastil Pangeran, kalian duduk berdua sambil minum teh dan berbicara soal keadaan Rheannon. Tapi kau malah ada di sini."
Axelle tertawa menanggapinya. "Lalu bagaimana keadaan Putri Rheannon sekarang?"
"Dia baik-baik saja dan aman di townhouse kami."
"Baguslah. Saya senang akhirnya Rheannon bisa berkumpul kembali dengan keluarga yang masih dimilikinya."
Chas menghentikan langkahnya.
Dia tidak mengerti.
Punggung Axelle tampak lebih kecil dibanding punggungnya. Tingginya badannya sedikit lebih pendek. Keseluruhan tubuhnya cenderung kecil dan ramping untuk ukuran seorang lelaki, lebih-lebih untuk ukuran seorang pangeran. Chas bertaruh, genggaman tangan Axelle bahkan pasti lemah daripada genggaman tangan adiknya.
Kecil, rapuh, lemah. Tapi dengan semua itulah Axelle menyelamatkan Rheannon.
"Tuan Chas?" tegur Axelle.
Mungkin selama ini Chas sudah salah menilainya. Axelle mungkin tidak selemah itu. Bisa saja pria ini sebenarnya menyimpan kekuatan tersendiri.
"Ada yang banyak ingin saya bicarakan dengan Pangeran."
Axelle tersenyum lembut. "Ya, baiklah. Mari kita lakukan di kastil saya sambil minum teh."
***
Sesuai kata Chas, Duke Colton telah tiba di kastil kediaman Axelle. Beliau tengah duduk di salah satu ruang perjamuan sambil ditemani Elias dan tengah mengobrol ringan.
"Mohon maaf datang tanpa pemberitahuan, Pangeran Axelle," salam Duke Colton. Dia melirik sekilas ke arah Chas. "Saya lihat Pangeran datang bersama dengan putra saya."
"Iya." Axelle memberi isyarat pada Duke Colton dan Chas untuk duduk. Dia tersenyum pada Elias kemudian, memintanya untuk keluar. "Kebetulan kami bertemu di selatan hutan istana."
Duke Colton menatap putranya, meminta penjelasan.
"Menara Bayang tidak semudah itu dimasuki," tutur Chas. "Didekati saja susah. Seperti kata dongeng, tempat itu benar dikuasai iblis. Mereka mempermainkan saya yang hendak menuju Menara Bayangan. Di saat itulah saya bertemu dengan Pangeran Axelle yang kelihatannya baru saja dari sana."
Axelle berdeham kecil. "Sebenarnya saya tidak ingin mengatakan ini mengingat saya tidak memiliki hak apa-apa lagi atas Istana, tapi tolong kedepannya jangan sembarangan mendekati selatan hutan istana lagi," katanya. "Hutan itu dan Menara Bayangan bukan tempat yang bisa sembarangan dimasuki."
"Kenapa begitu? Dari apa yang saya lihat, Pangeran Axelle dan beberapa kesatria istana bisa memasuki tempat tersebut dengan mudah."
"Tempat yang dikuasai oleh iblis pada dasarnya tidak boleh didekati–apalagi dimasuki. Seperti apa yang terjadi pada Tuan Chas tadi, seseorang bisa saja tersesat, atau bahkan berhalusinasi sampai tak bisa kembali," jelas Axelle. "Tempat itu bisa saja memakan jiwa seseorang. Seperti… meminta ganjaran karena telah melanggar wilayah iblis."
Axelle melanjutkan, "Saya sendiri bisa masuk ke sana karena kemampuan yang pelajari selama menjalani pendidikan dulu. Sedangkan para kesatria khusus itu… saya tidak yakin. Tapi saya punya dugaan."
"Kesatria istana memang dilatih untuk mengembangkan kekuatan suci mereka seperlunya untuk keperluan mendesak," kata Duke Colton. "Namun saya rasa kekuatan suci mereka tidak sebanding dengan yang dimiliki Pangeran Axelle untuk mampu menembus wilayah yang dikuasai iblis."
"Apa ada hal lain yang bisa membuat seseorang memasuki wilayah tersebut? Dengan membawa jimat atau sesuatu?" tanya Chas.
"Ada…" jawab Axelle ragu. "Orang itu haruslah seorang pengendali iblis atau seorang pengikat kontrak."
"Pangeran mengatakan kalau ada pengikat kontrak di Rexton?"
Axelle membuang muka, dan Chas tahu mengapa.
Mengikat kontrak dengan iblis adalah hal yang dilarang keras di sepenjuru benua. Mengikat kontrak dengan iblis berarti menjual jiwa pada mereka dan mengabaikan Dewa sepenuhnya. Jelas perbuatan ini adalah perbuatan tercela. Para pengikat kontrak biasanya akan langsung dibunuh supaya jiwa mereka sampai ke Nirwana alih-alih menjadi konsumsi iblis.
Pada zaman dulu, orang-orang dengan sembarangan memfitnah seseorang adalah pengikat kontrak hanya karena dendam kecil, hanya supaya mereka mati. Pemfitnahan itu sempat menjadi tren dan akhirnya dibuat peraturan jika fitnah seperti itu juga dilarang dan pelakunya juga akan dijatuhi hukuman berat.
Perkataan Axelle barusan tidak ada buktinya. Dia bisa saja dijatuhi hukuman karena sudah memfitnah kesatria istana.
Tapi ini Axelle, kata Chas pada dirinya sendiri. Orang seperti Axelle tidak mungkin sembarangan memfitnah.
"Apa yang membuat Pangeran berpikir seperti itu?" tanya Duke Colton.
"Karena saya melihatnya," gumam Axelle. Dia memainkan jemarinya dengan gugup. "Saya bisa melihat iblis yang mengikuti pengikat kontrak."
"Bukankah itu mustahil? Bahkan uskup pemimpin Kuil Beulah pun tidak bisa melihatnya. Pengikat kontrak hanya bisa dideteksi oleh pengendali iblis pada tingkat tertentu."
"Saya tahu itu terdengar aneh," sahut Axelle buru-buru. "Maka dari itu, saya pun sering meragukan penglihatan saya sendiri. Tapi hanya itu yang bisa menjelaskan penglihatan saya terhadap mereka selama ini."
"Pangeran yakin itu bukan iblis yang hanya sedang memengaruhi mereka?"
Axelle menggeleng lemah.
Duke Colton menatap Axelle serius. "Mari kita anggap penglihatan Pangeran benar," katanya. "Lalu, siapa lagi yang diikuti oleh iblis yang mengikat kontrak?"
Chas memperhatikan Axelle menjadi jauh lebih gugup. Dia bahkan terlihat ketakutan.
"Beberapa kesatria yang lain–semua dengan emblem khusus yang tidak terdaftar dalam catatan resmi. Lalu… Yang Mulia Raja dan Tuan Putri Luciell."