"Ini penghinaan! Kalian tidak bisa seenaknya menggeledah tanpa izin dari Yang Mulia Raja!"
"Izin tidak diperlukan untuk keadaan darurat. Apalagi kastil ini masih berada di dalam kawasan Istana, dan kami Kesatria Istana berhak memeriksanya kapan pun."
"Tengah malam begini? Mana sopan santun kalian pada Pangeran Axelle?!"
"Tidak ada gunanya menjaga sopan santun pada anak pengkhianat."
"Kalian…!"
"Sir Julius!" Axelle buru-buru menahan kesatrianya yang hendak menyerang kestaria istana. "Sudah, Sir. Tidak apa-apa."
"Pangeran!" desis Julius pada Axelle.
Julius tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi Axelle menggeleng, memberi isyarat agar dia diam. Aku tahu apa yang ingin kau katakan, tapi tolong tenanglah. Marah-marah tidak akan membuat mereka membatalkan niat mereka. Begitulah kira-kira maksud Axelle.
Axelle maju dan berkata pada para kesatria istana. "Saya tidak akan membiarkan kalian masuk kalau kalian tidak memberikan alasan yang jelas," ucapnya tegas. "Kastil ini memang berada dalam wilayah Istana, tapi kepemilikannya sudah berpindah padaku sejak aku memasuki usia dewasa–seperti janji Yang Mulia Raja dulu."
Para kesatria istana itu saling lirik, mereka terlihat ragu. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Kami mendapati salah seorang tahanan istana kabur." Axelle berusaha tenang ketika mendengarnya. Jelas siapa yang mereka maksud. "Dan kami sedang mencarinya."
"Sampai harus ke sini?"
"Ya, Pangeran Axelle. Tahanan ini adalah tahanan yang berbahaya. Kami harus menangkapnya secepat mungkin."
"Sungguh begitu? Kalian bukannya berpikir aku yang membebaskan tahanan ini, kan?"
"Pangeran mengakuinya kalau begitu?"
"Hei, Kau!" Julius maju, tapi ditahan Axelle.
Axelle menarik napas panjang. Dia sudah mereka kejadian seperti ini berkali-kali di pikirannya sejak dia membebaskan Rheannon. Jangan takut, ucapnya selalu dalam hati. Inilah resikonya.
"Masuk dan geledahlah," kata Axelle pasrah. "Tapi tolong jangan membuat keributan dan kekacauan."
Para kesatria istana itu pun segera menerobos masuk ke dalam kastil kecil Axelle.
"Tidak ada sopan santunnya sama sekali," decih Julius. Dia menatap Axelle khawatir kemudian. "Sekarang apa yang akan kita lakukan, Pangeran?'
Axelle menatap kosong pada para kesatria yang mulai berkeliaran di dalam kastilnya. "Aku akan menyerahkan diri," ucapnya pelan, membuat Julius memucat. "Bukan masalah besar. Aku tahu hal seperti ini akan terjadi suatu hari nanti."
"Pangeran!" tuntut Julius tak terima. "Lalu bagaimana dengan kami?!"
"Aku yakin kalian akan baik-baik saja."
Julius menatap Axelle tak percaya. "Pangeran mau mengabaikan kami begitu saja? Bagaimana dengan orang-orang yang masih–"
"Sir Julius, Ayahanda dan Ibunda sudah meninggal," bisik Axelle pedih.
"Tapi bukan berarti kita harus mengalah, Pangeran," kata Julius lemah. "Pangeran Axelle tidak lemah. Pasti masih ada sesuatu yang ingin Pangeran lakukan. Buktinya sampai sekarang Pangeran masih hidup dan bahkan mempertaruhkan nyawa sampai seperti ini."
Axelle terdiam mendengarnya.
"Jika ini bukan salah satu bentuk perjuangan Pangeran, lalu apa? Sebenarnya kenapa Pangeran Axelle melakukan ini?"
Kenapa Axelle melakukan ini?
Rasa tanggung jawab? Rasa bersalah? Demi kepuasan diri belaka?
Untuk balas dendam?
Tidak. Bukan.
Julius benar. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dengan menemukan Rheannon, Axelle berharap bisa mengetahui kebenaran dari peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Rheannon adalah korban sekaligus saksi mata yang sama dengannya. Dan sama seperti Axelle, Rheannon pasti tahu sebuah kebenaran di balik ini semua.
Sungguh, ini bukan niat untuk balas dendam. Axelle hanya ingin mengetahui yang sebenarnya terjadi. Alasan di balik semua ini.
"Pangeran Axelle." Elias muncul bersama dengan dua kesatria istana. Raut wajahnya tak bisa dibaca. "Penggeledahan telah selesai."
Susah payah Axelle menjernihkan ekspresi wajahnya. "Bagaimana dengan tahanan yang kabur?"
"Tidak ada di sini," jawab salah seorang kesatria istana. Axelle bisa menangkap setitik nada jengkel dalam kalimatnya. "Kami mohon maaf karena sudah mengganggu Anda tengah malam begini."
Para kesatria istana itu pun pergi meninggalkan kastil Axelle.
"Bagaimana bisa?" tanya Axelle pada Elias.
Elias menggelengkan kepala. "Sebaiknya Pangeran melihatnya sendiri." Dia menuntun Axelle menuju kamar Rheannon.
Kamar yang ditempati Rheannon itu bersih, tanpa jejak apa pun. Dingin, seperti tidak pernah ditinggali sebelumnya.
"Saya tidak tahu bagaimana caranya. Tapi sepertinya Putri Rheannon…"
"Kabur?" bisik Axelle tak percaya.
***
Aku harus segera mengirim pesan pada Pangeran Axelle supaya dia tidak khawatir, batin Rheannon sambil berpegangan pada Chas sekuat yang dia bisa.
"Kamu baik-baik saja, Rhea?" tanya Chas untuk yang kesekian kalinya.
Rheannon mengangguk, walau sebenarnya dia capek berpegangan pada gendongan Chas dan sedikit kedinginan.
Saat ini dia sedang berada dalam gendongan Chas. Kabur dari istana, berharap tidak tertangkap. Dan, semoga, tidak menimbulkan kekacauan di kastil kecil Axelle.
Meski Rheannon tidak yakin dengan hal tersebut.
***
Sungguh perjalanan yang melelahkan bagi Rheannon yang belum bisa dibilang pulih.
Sebenarnya jarak antara istana dengan townhouse keluarga Colton tidak seberapa jauh. Tapi karena Chas membawa Rheannon, mereka terpaksa harus memutar jalan dan sesekali berhenti untuk bersembunyi. Rheannon yakin, kalau Chas sendiri, sepupunya itu pasti bisa sampai dalam waktu cepat karena dia melompati atap-atap rumah dan berjalan-jalan di beranda toko yang sudah tutup. Dengan Rheannon di gendongannya? Nah, Chas justru sibuk menutupi Rheannon.
Aku juga kedinginan, pikir Rheannon di tengah-tengah perjalanan tadi.
Rheannon tidak akan pernah melakukan ini lagi. Rasanya lebih mudah untuk menghabisi orang-orang di istana daripada kabur begini. Tapi mengingat Axelle yang baik hati itu tidak akan suka, Rheannon tidak melakukannya.
Axelle sekarang sedang apa, ya? pikir Rheannon.
"Rhea, kamu di sini dulu, ya?" ucap Chas begitu mereka sampai di tujuan–mereka masuk lewat jendela. Dia mendudukkannya di dekat perapian. "Aku mau memberitahu Ayah dulu. Kamu… tidak apa-apa kutinggal sendiri, kan?"
Rheannon mengangguk.
Chas memeluknya. "Aku merindukanmu," bisiknya.
Rheannon langsung mengenali tempatnya berada sekarang. Sebuah kamar dengan banyak ornamen kayu, nuansa warna yang merah gelap, juga bau rempah-rempah. Jelas ini adalah kamar Chas di townhouse ini.
Sudah lama sekali sejak Rheannon merasakan kehadiran Chas dalam hidupnya.
Lama Rheannon menunggu sendiri, sampai akhirnya pintu diketuk pelan. Chas dan Duke Colton tampak di ambang pintu.
"Rhea? Demi Dewa…" Duke Colton memeluk Rheannon pelan, tapi penuh dengan kehangatan. Tangannya yang besar dan kasar mengusap-usap punggung Rheannon. Pelukan dari keluarga yang sudah lama tidak dia rasakan. "Paman sudah mencarimu ke mana-mana," ucapnya berkali-kali.
Seandainya saja bisa berbicara, Rheannon pun tidak tahu apa yang harus dikatakannya saat ini. Satu yang jelas, dia senang.
"Chas sudah menceritakannya padaku," kata Duke Colton begitu pelukan mereka lepas. "Ada banyak yang ingin Paman tanyakan, tapi sekarang makan dan beristirahatlah dengan nyaman dulu."
"Axelle?" tanya Rheannon. Bohong kalau dia tidak mengkhawatirkan pangeran itu sekarang.
"Tenang saja, kami ada mata-mata di sana untuk mengawasi keadaan."
"Istana?"
"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu, Rhea. Mulai dari sini Paman yang akan mengurusnya, termasuk jika sesuatu terjadi pada Pangeran Axelle. Paman berjanji, setidak-tidaknya kamu dan Pangeran Axelle tidak perlu merasakan penjara," janji Duke Colton. Rheannon mengangguk mengerti. "Paman sangat senang kamu sudah kembali. Aku sudah mencarimu ke mana-mana."
Setelah berbicara sesaat dan memastikan Rheannon makan, Duke Colton keluar. Ada banyak hal yang harus direncanakan begitu Rheannon datang. Chas menemaninya di kamar.
Mereka berdua tidur bersisian di ranjang Chas. Mereka berpelukan. Rheannon sampai bisa mendengar suara detak jantung Chas yang teratur.
Tanda-tanda manusia selain dirinya. Tanda-tanda kehidupan lain.
"Aku merindukanmu," bisik Chas pelan sekali di puncak kepala Rheannon. Bisikannya begitu lirih, seakan dia takut dunia mendengarnya. Chas hanya akan seperti ini jika dia ketakutan. "Aku merindukanmu. Aku janji tidak akan membiarkanmu ke mana-mana lagi."
Rheannon beringsut mendekat ke arah Chas, memberi isyarat jika dia pun juga tidak mau ke mana-mana.
Kastil Axelle memang nyaman dan semua orang memperlakukannya dengan baik. Tapi kastil itu masih ada dalam kawasan istana. Setiap malam Rheannon masih ketakutan kalau-kalau istana menemukannya di sana. Axelle dan orang-orangnya pasti celaka saat itu juga.
Ingatan selama terkurung di Menara Bayangan pun masih membayanginya. Sendirian dan ketakutan tanpa orang lain untuk diajak bicara. Kalau istana menemukannya di kastil Axelle, Rheannon pasti akan langsung dikirim kembali ke Menara Bayangan. Itu adalah seburuk-buruknya tempat.
Sedangkan di sini berbeda. Tempat ini cukup jauh dari istana. Keluarga Colton pun bisa membela diri dengan baik. Dan yang terpenting, ini adalah rumah keluarganya.
Di sini Rheannon merasa bisa menyerahkan dan mempercayakan dirinya.
***
Tak butuh waktu lama sampai akhirnya Rheannon tertidur. Caranya tidur membuat Chas sedikit waspada saking tenangnya.
Tarikan napas dan gerakan tubuhnya kelewat samar, Chas sampai harus memastikan apakah Rheannon masih hidup atau tidak.
"Apa yang kupikirkan?" tegur Chas pada dirinya sendiri.
Dia mengusap rambut pendek Rheannon, meminta pada Dewa agar segera memanjangkannya kembali. Saat tangannya beralih pada lengannya, dia meminta lagi agar Dewa memberikan kesehatan pada Rheannon agar tubuhnya bisa kembali berisi, dan bukannya tulang dan kulit begini.
"Tolong berikan juga keselamatan dan kebahagiaan juga padanya," tambah Chas.
Dia memang jarang berdoa dan kesalahan yang dibuatnya pun juga banyak. Jadi Chas pun menambahkan dalam hati,
mengatakan pada Dewa jika Dewa bisa menukar keselamatan dan kebahagiannya pada kesedihan dan kesengsaraan Rheannon.