Chereads / No Past and No Future / Chapter 7 - Telah Ditemukan (5)

Chapter 7 - Telah Ditemukan (5)

[Orang malang yang bodoh. Bisa-bisanya terpedaya oleh iblis macam itu. Padahal penampilan luarnya bengis begitu. Hahaha! Tapi, yah, memang sejak dulu tidak ada yang bagus dengan yang namanya cinta.

[Omong-omong Pangeran itu hebat juga karena tidak terpedaya oleh iblis itu. Dia sering bertemu dengannya, kan? Alih-alih terpedaya, dia malah berhasil membuat orang lain kebal pada iblis itu. Hmmm, apa aku harus takut pada Pangeran Terbuang itu?]

Seperti hari-hari sebelumnya, Rheannon mengabaikan suara itu. Pikiran dan matanya hanya tertuju pada apa yang ada di hadapannya saat ini.

Axelle dengan peralatannya sedang mengukir segelondong kayu.

Dia terlihat fokus sekali.

[Hei, gadis kecil! Kau sengaja mengabaikanku, ya?! Sebaiknya kau mengatakan sesuatu padaku tentang pangeran itu!]

Saking fokusnya, Axelle bahkan tak merasakan kehadiran Rheannon. Dia baru menyadarinya saat Rheannon terjatuh dan membuat suara karena tak sengaja menjatuhkan sesuatu.

"Putri!" seru Axelle kaget. Segera saja dia meninggalkan pekerjaannya. "Kenapa tidak membuat suara untuk memanggilku?"

Setelah berhasil bangun dan didudukkan, Rheannon menunjuk-nunjuk pekerjaan Axelle dan berkata dengan terpatah-patah, "Se-ri-us."

Axelle segera paham apa maksudnya. "Aku tidak masalah diganggu saat sedang serius," katanya sungguh-sungguh. "Tolong jangan berjalan-jalan sendiri. Putri Rheannon kan baru saja bisa lancar berjalan sendiri tiga hari lalu. Tubuh Putri juga masih belum kuat berjalan jauh."

Diceramahi seperti itu membuat Rheannon merengut. Axelle mendengus geli dibuatnya.

"Jadi kenapa Putri ke sini?" tanya Axelle kemudian.

Rheannon tidak menjawab dan malah melihat ke sekelilingnya.

Dari ceritanya sendiri, Rheannon tahu jika Axelle senang melakukan kegiatan seni rupa. Waktu luangnya banyak, jadi Axelle sering menghabiskannya dengan melukis dan mengukir, sesekali juga menulis. Meski demikian, Axelle tidak pernah mengikuti kursus khusus, sehingga karyanya kebanyakan terlihat amatiran–begitu katanya. Tapi menurut pandangan Rheannon karya-karya Axelle terbilang bagus.

Ditambah dengan kekuatan sucinya itu, karya Axelle memiliki "nilai lebih" tersendiri. Kalau suatu saat nanti Istana berhenti memberi Axelle tunjangan hidup, Rheannon pikir, Axelle masih tetap bisa mendapatkan uang dengan berjualan benda suci.

"Kalau Putri sudah cukup sehat, aku akan mengajarimu melukis dan mengukir," janji Axelle. "Sekarang ini sebaiknya kita keluar dulu dari sini. Debu kayunya tidak baik untuk pernapasan Putri."

[Ya, ya. Benar. Ayo keluar dari tempat ini. Hawanya mencekik sekali. Seperti kuil saja.]

Rheannon sependapat dengan hal itu. Hawa di ruangan seni Axelle memang terasa seperti kuil. Kalau keseluruhan kastil kecilnya terasa seperti kuil, maka ruangan seni ini sudah seperti ruangan suci untuk menghadap Dewa.

"Ku-il?" tanya Rheannon sambil menunjuk-nunjuk Axelle.

"Kenapa aku tidak bergabung dengan kuil?" tanya Axelle memastikan. Rheannon mengangguk. "Karena kuil… tidak terasa seperti kuil lagi."

Alis Rheannon berkerut dalam mendengarnya. Dia menuntut penjelasan pada Axelle.

Maka Axelle mejelaskannya, "Selulus dari akademi kuil dulu, sebenarnya aku memang berniat untuk bergabung dengan salah satu kuil. Mengabdi di Kota Suci Zion rasanya bagus untukku yang sudah terbuang ini. Tapi Istana menolak ide tersebut." Axelle diam sebentar. "Sebagai gantinya, mereka menawarkanku untuk mengabdi pada Kuil Suci Beulah… Tapi tempat itu…"

Suara Axelle mengambang di udara dan menghilang. Entah kenapa dia tidak melanjutkan penjelasannya.

Rheannon pun tidak meminta penjelasan lebih lanjut. Dia hanya tersenyum maklum pada Axelle.

[Sungguh langkah yang cerdas. Pangeran ini memang orang yang hebat. Dia bahkan tahu kalau ada sesuatu yang salah dengan Kuil Suci Beulah. Ha! Memang sejak awal kuil itu penuh dengan orang-orang busuk.

[Oh, sungguh menyedihkan tempat yang diagung-agungkan orang sok suci itu menjadi sarang iblis. Hahaha!]

"Ah, bukannya aku mau membicarakan keburukan Istana dan Kuil Suci Beulah," kata Axelle buru-buru.

Rheannon memegang tangan Axelle untuk menenangkannya.

Axelle mengembuskan napas panjang. "Maaf, Putri. Itu memang benar. Sejak kejadian sepuluh tahun yang lalu, ada banyak yang berubah. Aku… sampai tak percaya dan yakin lagi dengan apa pun itu di luar kastilku. Bahkan dengan tempat yang konon merupakan Rumah Dewa."

"Ti-dak," kata Rheannon. Dia menggenggam tangan Axelle.

Tidak apa-apa. Tidak ada yang salah dengan mencurigai Istana dan Kuil Suci Beulah saat ini.

***

Musim panas artinya ulang tahun Putri Luciell Rexton. Ulang tahun Putri Luciell Rexton artinya musim panas.

Sebagai kerajaan yang memiliki musim panas yang terbilang sejuk, Rexton hampir-hampir tak pernah mendapat masalah apa pun saat musim panas tiba. Oleh sebab itu, sejak Raja Rexton V naik takhta, awal musim panas akan disambut dengan meriah. Ini adalah ulang tahun putrinya. Festival rakyat! Kembang api! Pesta di istana selama seminggu!

Orang-orang bergembira menyambut musim panas!

Terutama di ibu kota, jalanan sudah berhias diri. Para pedagang musiman muncul. Anak-anak berlarian dengan riang. Tawa terdengar di mana-mana. Semua orang berbahagia kecuali salah seorang anak lelaki yang berbalut pakaian serba hitam yang berdiri dengan canggung di tengah keramaian itu.

"Hei, bocah." Seseorang menarik bajunya mundur, tepat pada saat sebuah kereta kuda melintas dengan cepat. "Jangan melamun di sembarang tempat. Mana orangtuamu?" tanya orang penolongnya itu.

Orang itu juga berpakaian serba hitam. Tapi dia tahu pasti dia memakainya sebagai identitas keluarga, bukan karena sedang berkabung.

"Tidak ada," jawabnya bergumam kemudian.

"Hah?"

"Sudah tidak ada." Anak lelaki itu meremas-remas ujung bajunya. "Sudah meninggal."

Di luar dugaan, orang itu sama sekali tidak menunjukkan kepedulian atau setitik rasa kasihan padanya. Sesuatu yang mengejutkan anak lelaki itu karena hampir semua orang justru merasa kasihan padanya.

"Lalu kau ke sini dengan siapa? Walimu?"

"Dengan pamanku."

"Siapa?" tanyanya lagi. "Kau tersesat, kan? Ayo kuantar ke rumahmu," ajaknya, seolah mengantar pulang orang-orang yang tersesat adalah pekerjaannya.

"Aku tidak tersesat," kata anak lelaki itu.

Orang berpakaian serba hitam itu menaikkan sebelah alisnya. "Kau kabur?" tebaknya. Dia berdecak kemudian. "Nak, hidup di luar itu lebih kejam daripada apa pun yang sedang menimpamu saat ini. Jangan merajuk." Dia meraih tangan anak lelaki itu dan setengah menyeretnya agar berjalan. "Kalau tidak mau kuantar pulang, aku akan membawamu ke pos keamanan."

Mereka baru saja berjalan sebentar sampai seseorang berseru ke arah mereka.

"Desmond!"

Anak lelaki itu otomatis mengerut. Dia buru-buru bersembunyi di belakang orang serba hitam itu.

"Hah? Apa-apaan?" Lagi-lagi orang itu berdecak. "Jadi paman yang kau maksud itu Marquis Hadrian?" Desmond mengangguk membenarkan. "Hei, Pak. Kalau mengajak pergi anak kecil tolong lebih berhati-hati," ucapnya kemudian pada Hadrian.

"Tuan Chas Colton, terima kasih," balas Hadrian sungguh-sungguh. Dia beralih pada Desmond. "Desmond, kemarilah. Saya tidak akan marah."

"Ya, memang seharusnya Marquis tidak marah karena ini salahmu," gerutu Chas. "Kenapa kau membawa anak kecil ke tengah keramaian begini, sih?

Hadrian menepuk puncak kepala Desmond sekali. "Ini akan menjadi debutnya di lingkungan sosial."

Chas menatapnya tak percaya. "Dia masih bocah begitu! Apalagi kelihatannya dia sedang berkabung. Kau juga bukan orangtuanya."

"Tak lama lagi Desmond akan menjadi anak saya. Surat-suratnya sedang saya siapkan."

"Apa?"

"Ceritanya panjang, Tuan Chas. Bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan berdiri di pinggir jalan begini."

"Bukan begitu maksudku. Kupikir–tunggu–kupikir suatu saat nanti Marquis akan melamar Putri Luciell, menikah, dan punya anak!"

Tepat pada saat itu, Hadrian memegang sebelah kepalanya. Dia merintih. Dia terlihat kesakitan.

"Paman!"

"Marquis Hadrian!" Chas langsung panik. "Hei, kau tidak apa-apa?! Kalau sakit harusnya jangan keluar, dong!"

Sementara itu Desmond sudah berkaca-kaca menahan tangis. "Paman…"

"Saya tidak apa-apa," ucap Hadrian susah payah. "Tuan Chas, kalau tidak keberatan, bisa tolong panggilkan kereta kuda untuk kami?"

"Ya ampun!" Meski berdecak begitu, Chas tetap pergi memanggilkan kereta kuda untuknya.

Desmond sendiri beringsut mundur. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada pamannya. Aura asing yang tampak pekat itu mengelilinginya, bertarung ingin masuk, tapi sesuatu mencegahnya. Tubuh Hadrian seolah menolaknya sehingga dia tersiksa dibuatnya.

Apa yang bisa Desmond lakukan? DIa tidak berani mengucapkan apa-apa pada pamannya itu. Bagaimana kalau pamannya tidak percaya padanya?

"Hei, harusnya kau tidak jauh-jauh dari pamanmu, kan?" tegur Chas, lalu segera membantu Hadrian duduk di salah satu bangku dan memberinya ruang untuk bernapas.

Chas kembali pada Desmond. "Kau tidak perlu takut, Nak. Malahan keberadaanmu dibutuhkan olehnya," katanya.

Mata Desmond membulat. "Tuan juga bisa melihatnya?"

Chas tersenyum miring. "Tentu saja. Aku meminjam kekuatan dari seseorang."

"Apakah seseorang ini bisa membantu keadaan Paman supaya lebih baik?"

Entah kenapa, Chas menjadi sedih.

"Orang yang meminjamiku kekuatan saat ini juga sudah tidak ada. Tapi kuharap, aku masih bisa bertemu dengannya."

Ya. Tak lama lagi.