"Oh, lihat! Itu ada tupai!" Axelle menunjuk ke salah satu dahan pohon. "Putri bisa melihatnya?"
Rheannon tidak menjawab, tapi matanya yang berbinar takjub menjelaskan semuanya. Axelle jadi tersenyum dibuatnya.
"Mau mendekat?" tawar Axelle.
Begitu mendapat anggukan dari Rheannon, Axelle segera mendorong kursi rodanya mendekat pada pohon.
Sudah seminggu ini Rheannon dalam perawatannya. Axelle yang tidak punya banyak pekerjaan memutuskan untuk merawatnya sendiri, tentu dengan bantuan beberapa pelayan yang tidak sedang sibuk. Sejauh ini, walau tidak signifikan, keadaan Rheannon membaik. Setidaknya, rona wajahnya sudah kembali.
"Bulan depan sudah musim panas. Ada summer white flower di taman belakang kamar saya. Kalau berkesempatan, kita bisa melihatnya bersama nanti," kata Axelle.
Kali ini Rheannon tidak memberikan tanggapan apa-apa. Alih-alih dia menatap mata biru Axelle dalam-dalam.
Dan seolah mengerti apa maksudnya, Axelle berkata, "Ada flax flower di taman istana utama dulu. Taman itu dibangun untuk saya. Sekarang entah bagaimana nasibnya." Axelle mengakhirnya dengan tawa canggung.
Genggaman lemah dari Rheannon kemudian Axelle anggap sebagai caranya menghibur.
Axelle sudah mulai menyusun rencana—meski di dalam hati saja—untuk Rheannon.
Wanita ini sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Memang ada Duke Colton, tapi walau bagaimanapun mereka adalah keluarga dengan nama yang berbeda. Selain itu belum ada jaminan jika keluarga Colton mau mengambil dan merawat Rheannon.
Apalagi pihak istana. Axelle yakin, Raja Rexton V lebih suka membunuh Rheannon sekalian ketika ada kesempatan.
Jadi biar Axelle saja yang merawatnya.
Dia sadar jika menyelamatkan tahanan seperti Rheannon itu artinya dia harus siap mengemban tanggung jawab baru. Axelle tidak keberatan harus merawat dan menjaga Rheannon. Jika waktunya sudah tiba nanti, biar Rheannon yang memilih jalannya: apakah ingin pergi keluar atau tetap tinggal di kastil kecil Axelle.
Yang penting saat ini, Axelle harus mampu membuat Rheannon kembali "hidup".
[Aku tidak apa-apa]. Demikian Rheannon menatap Axelle saat ini.
"Bahkan aku yang hanya melihatmu pun tahu kalau Putri tidak baik-baik saja," kata Axelle sambil mendorong kursi roda Rheannon menuju tempat yang lebih teduh. "Putri tidak perlu memaksakan diri untuk merasa baik."
[Pangeran Axelle adalah orang yang baik]. Begitulah kira-kira artinya genggaman lemah tangan Rheannon.
Memang orang baik itu seperti apa?
Apakah menyelamatkan Rheannon adalah sebuah kebaikan? Padahal pada saat bersamaan, Axelle membebaskan tahanan yang konon katanya berdosa dan membuat orang-orang kastilnya kerepotan.
Apakah diam saja dan menuruti apa kata istana adalah sebuah kebaikan? Sementara itu orang-orang yang masih setia pada mendiang Raja Rexton IV mengharapkan keadilan ditegakkan.
Apakah menghindari pertumpahan darah adalah sebuah kebaikan? Padahal Axelle tahu beberapa orang di luar sana mengharapkan pergerakan darinya.
Orang baik itu seperti apa?
Axelle merasakan ujung lengan bajunya ditarik Rheannon. Wanita itu meminta perhatian dan menatapnya dengan cara paling tulus yang pernah Axelle dapatkan.
"Saya juga tidak apa-apa," kata Axelle pada Rheannon.
Tiba-tiba saja muncul dua pelayan dengan tergopoh-gopoh. Satu di antaranya segera mengambil alih kursi roda Rheannaon.
"Pangeran! Marquis Hadrian berkunjung ke istana!"
Mendengar nama itu, Axelle langsung memucat.
***
Marquis Hadrian Melchoir, seorang bangsawan muda yang menggantikan posisi ayah dan kakaknya setelah keluarganya tewas dalam kudeta hampir sepuluh tahun yang lalu. Orang-orang menyebutnya sebagai "pahlawan muda" karena Hadrian lah yang kemudian membumihanguskan tanah Whitley. Hadrian beserta para kesatrianya pulalah yang kemudian membunuh para iblis yang tak terkendali setelah keluarga pengendali iblis punah.
Dengan cerita masa lalu yang seperti itu, rasanya tak berlebihan jika orang-orang kemudian begitu menghormatinya. Bagaimanapun, bisa dibilang, waktu itu Hadrian bekerja sendiri tanpa bimbingan ayah atau kakaknya. Sungguh prestasi besar yang bisa didapat seorang Marquis belia.
Meski dibilang muda, nyatanya sekarang Marquis Hadrian sudah berusia 35 tahun, pikir Axelle.
35 tahun, tanpa calon pendamping apalagi istri. Setelah segala kekacauan itu, sekarang Hadrian tengah menghadapi cakaran keluarganya yang mengincar posisinya.
Bukan berarti Hadrian bebas dari rumor percintaan. Ada beberapa bangsawan yang menawarkan anak gadisnya pada sang marquis. Namun kabarnya, Hadrian menyukai Putri Luciell, satu-satunya putri raja.
Axelle sendiri sangsi dengan hal tersebut karena banyak alasan…
"Putri Rheannon sudah berada di ruangannya saat ini," Elias muncul dan memberi laporan. "Seorang kesatria dan pelayan menemaninya di sana."
"Terima kasih, Elias," kata Axelle. "Kuharap Marquis Hadrian tidak berkunjung ke sini."
Karena banyak alasan. Dua alasan utamanya adalah (1) Hadrian adalah orang membunuh orangtua Rheannon dan (2) keberadaan Rheannon di kastil kecil Axelle masih dan akan terus dirahasiakan.
"Kenapa Marquis Hadrian jauh-jauh datang ke istana, ya?" tanya Axelle.
"Tentu saja karena sebentar lagi ulang tahun Putri Luciell, Pangeran," jawab Elias. "Beliau menyukainya, kan?"
Sebentar lagi itu padahal masih sekitar dua minggu lagi. "Ah, iya. Orang yang malang…" gumam Axelle tanpa sadar.
"Maaf, Pangeran?"
"Ah, maksudku," kata Axelle buru-buru, "sejauh pengamatanku, Putri Luciell menyukai Tuan Chas Colton. Hmm, tapi bisa saja aku salah. Maksudku, Putri Luciell juga menaruh perhatian lebih pada Marquis Hadrian."
"Putri Luciell memang menaruh banyak perhatian pada lelaki bangsawan di luar sana, Pangeran."
Axelle tertawa canggung menanggapi kata-kata tak pantas dari Elias.
Sampai tengah hari, Axelle tidak mendapat kabar apa-apa mengenai kunjungan Hadrian di istana. Sore tiba, dan tetap tidak ada kabar apa pun.
Sampai akhirnya menjelang malam, kucing yang sudah dilatih sebagai pembawa pesan rahasia, mengeong lembut menghampiri Axelle.
"Sen!" seru Axelle.
Pesan yang dibawa Sen sangat singkat.
[Marquis Hadrian dalam perjalanan ke kastil.]
"Aku tidak sedang ingin menerima tamu," erang Axelle.
"Saya pun demikian. Tapi Pengeran tidak boleh berkata begitu," tegur Elias. "Ayo, Pangeran. Anda harus mulai memberi instruksi pada yang lain."
Benar saja, Hadrian tiba di kastil kecil Axelle tak lama kemudian. Dia membawa daging hasil buruan, yang itu artinya koki kastil harus memasak dan Axelle serta Hadrian harus makan malam bersama.
Axelle sama sekali tidak memiliki agenda atau ingin makan malam bersama Hadrian.
"Saya melihat ada lukisan besar yang terlihat baru di foyer tadi," akhirnya Hadrian berkata setelah menit-menit penuh kecanggungan yang hening pada makan malam mereka. "Apakah Pangeran yang melukisnya?"
"Ah, iya. Saya yang melukisnya," kata Axelle. "Lukisan Sir Blaine, pemilik kastil ini dulu. Karena yang asli sudah usang, saya bermaksud memperbaharuinya."
"Itu adalah lukisan yang indah."
"Terima kasih. Saya hanya melukis dengan melihat contoh aslinya saja."
"Saya tidak menyangka Anda akan memajang lukisan potret orang lain di kastil Anda. Padahal Pangeran bisa memajang lukisan mendiang Raja dan Ratu."
"Lukisan yang seperti itu saya simpan untuk diri saya sendiri, ada di ruangan khusus," kata Axelle tenang. "Saya memiliki kemampuan menyucikan yang cukup baik, jadi barang-barang yang saya buat dengan kesungguhan hati cenderung menyimpan kekuatan suci. Termasuk di antaranya, lukisan mendiang Raja dan Ratu."
"Maksud Pangeran, lukisan Pangeran berubah menjadi benda suci atau jimat?"
"Tidak sampai bisa dijadikan jimat, tapi setidaknya mampu menyebarkan hawa positif di sekitar kuil dan terutama ruang kesenian saya."
"Apakah ruang kesenian Pangeran ada di dekat sini? Karena sejak memasuki kastil ini saya merasa… lebih tenang," ucap Hadrian lambat-lambat.
Axelle tidak menjawab, Hadrian pun kelihatannya tidak menanti jawaban darinya.
Diam-diam, Axelle mencuri pandang pada Hadrian.
Terakhir mereka bertemu, sekitar setahun atau dua tahun lalu, ada aura asing yang mengelilingi Hadrian. Kini aura itu tampak semakin pekat–bukan pertanda bagus.
Axelle pikir, orang sehebat Hadrian, yang mampu mengentaskan iblis tak terkendali, bisa mengenyahkan aura asing itu sendiri seiring dengan berjalannya waktu. Tapi kelihatannya, Hadrian perlahan justru dilahap oleh aura itu.
Atau, apakah Hadrian tak merasakan dan tak melihatnya?
"Jika Marquis berkenan, saya bisa memberikan kekuatan suci pada benda yang Marquis inginkan," tawar Axelle begitu mereka selesai makan malam. "Tapi benda ini harus benda berharga, benda yang sangat Anda jaga."
Butuh beberapa detik bagi Hadrian untuk kemudian melepas pita ikat rambut merahnyanya. Rambut Hadrian yang hitam panjang segera saja terurai indah karenanya.
Hadrian memberikan pita ikat rambut merahnya pada Axelle tanpa berkata-kata.
"Apakah ini adalah benda peninggalan?" tanya Axelle.
"Ya. Milik mendiang Ibunda," jawab Hadrian pelan.
Axelle memejamkan matanya, memanjatkan doa bagi mendiang Lady Melchoir, meminta ketenangan hati dan keselamatan bagi Hadrian, dan memohon pada Dewa agar berkenan memberkati pita ikat rambut merah tersebut.
"Efeknya hanya akan bertahan selama seminggu, setelah itu efeknya akan pudar secara perlahan," jelas Axelle sambil mengembalikan pita ikat rambut merah Hadrian. "Selanjutnya, jika Marquis Hadrian ingin meminta benda disucikan lagi, Anda bisa datang ke kuil terdekat dan meminta pada pendeta di sana."
"Terima kasih," ucap Hadrian tulus. Dia memandang lama pita ikat rambut merahnya. "Rasanya saya ke sini hanya untuk meminta makan malam dan benda suci."
"Saya sama sekali tidak keberatan."
"Sebenarnya saya ke sini untuk melihat bagaimana keadaan Pangeran. Sejak kembali dari akademi kuil, Pangeran hampir tidak pernah terlihat di lingkungan sosial mana pun."
"Ah, iya." Axelle berdeham. "Saya sibuk dengan kegiatan saya sendiri. Akhir-akhir ini saya belajar mengukir juga."
"Seminggu ini juga Pangeran tidak terlihat berkeliaran di istana."
"Eh?"
"Apakah Pangeran sudah menemukan apa yang Anda cari selama ini sehingga memilih untuk berdiam diri kastil Anda untuk melindungi apa yang telah Anda temukan itu?"