Cara Hadrian bertanya yang penuh dengan ketenangan itu justru membuat jantung Axelle tak keruan. Rasanya seperti orang di hadapannya ini siap menguliti Axelle sampai ke celah-celah sekalipun.
"Jangan salah, Pangeran Axelle. Saya mempunya mata-mata khusus untuk mengawasi Anda selama di istana. Tapi demi menghormati privasi Anda, saya meminta mata-mata ini untuk tidak mengikuti Anda sampai ke kediaman ini," lajut Hadrian.
Sungguh baik hati sekali, pikir Axelle.
Nah, sekarang apa yang bisa Axelle katakan pada Hadrian? Seperti apa kata pikirannya barusan, Hadrian sudah cukup berbaik hati padanya. Axelle pun tidak memiliki alasan khusus untuk membenci pria ini. Namun sayangnya, dia tetap harus menyimpan rahasia-rahasianya dari orang yang konon katanya disayang Yang Mulia Raja dan Putri.
"Apa pun yang akan saya katakan pada Marquis Hadrian akan terdengar seperti alasan, kan?" kata Axelle kemudian. Dia tersenyum minta maaf pada Hadrian. "Maafkan saya, Marquis. Saya tidak bisa mengatakan apa-apa pada Anda."
"Bahkan meski saya memaksa?" Entah kenapa pertanyaan itu terdengar seperti sebuah ancaman.
"Marquis, saya ini orang yang lemah–sekali lihat pun Anda pasti tahu. Pendidikan bela diri dan bersenjata terakhir yang saya dapat adalah saat saya berusia 15 tahun. Setelah itu saya hanya memegang pisau makan dan pisau ukir," kata Axelle tenang. "Tapi saya juga yakin jika Anda tahu saya tidak menyukai pertumpahan darah, termasuk di kastil kecil ini."
"Itu artinya, kalau pun saya menyeret Pangeran ke hadapan Yang Mulia Raja sekarang, Anda akan ikut dengan sukarela?"
"Ya."
"Kedengarannya Pangeran sangat menyayangi dan menjaga apa pun itu yang baru saja Anda temukan."
Axelle tersenyum tipis. "Dewa memiliki cinta kasih yang tak terbatas. Saya hanya mencoba untuk meneladaninya."
Kata-katanya barusan membuat Hadrian memicingkan matanya. "Seperti apa kata orang, Pangeran memiliki hati yang baik dan luas untuk mencintai dan memaafkan apa pun itu," katanya.
"Saya hanya berusaha menjadi orang baik, Marquis. Meski sebenarnya… saya sendiri tidak yakin dengan definisi orang baik. Menyembunyikan sesuatu dari Marquis bukanlah hal baik, tapi saya melakukannya demi kebaikan banyak orang juga."
"Sulit sekali berbicara dengan Pangeran," dengus Hadrian geli.
"Apakah itu artinya Marquis Hadrian akan menyeret saya ke hadapan Yang Mulia Raja?"
"Tidak," kata Hadrian. Sungguh jawaban yang melegakan hati. "Tapi saya akan tetap mencari tahu apa yang sebenarnya Pangeran cari dan temukan di istana."
"Saya harap Anda tidak menemukannya," sahut Axelle jujur.
Hadrian hanya menatap Axelle datar. "Saya pamit kalau begitu. Terima kasih atas makan malam dan benda sucinya."
Begitulah kunjungan mendadak Marquis Hadrian Melchoir dan makan malam Axelle dengannya.
Axelle tidak akan pernah mau makan malam dengan Hadrian lagi.
Serius.
***
Lama terkurung di tempat tinggi dan gelap membuat Rheannon melatih penglihatannya agar lebih tajam.
Meski dari lantai tiga kastil, di dalam kamar yang cahayanya diredupkan, Rheannon masih dapat melihat keluar jendelanya dengan jelas. Ya, di sana, di luar, Hadrian tengah diantar oleh Axelle serta seorang kesatria kastil. Mereka sedang berbicara, terkadang tegang terkadang akrab.
Atau, Axelle saja yang berusaha akrab. Pangeran satu itu kan terlalu baik hati.
Rheannon sungguh menghargai usaha Axelle dengan menyembunyikannya dari Hadrian. Tapi kalau boleh memilih, sebenarnya Rheannon lebih ingin bertemu dengan Hadrian. Rheannon ingin melihat dengan lebih jelas pembunuh orangtuanya itu; setiap garis wajahnya, helaian rambut panjangnya, dan matanya. Kemudian, dia akan mengajukan pertanyaan pada Hadrian, "Kenapa orang secerdas Marquis bisa diperdaya oleh raja bodoh itu?"
Namun agaknya, Rheannon tahu alasannya.
[Aura asing itu. Hihihi. Tidak salah lagi.]
Ya. Aura asing yang sangat pekat itu menandakan jika Hadrian saat ini tengah dipengaruhi oleh iblis yang kemungkinan dibawah kontrak dengan seseorang di Istana.
Siapa yang berani membuat kontrak dengan iblis?
***
Ada yang memperhatikan Hadrian di kasti tadi.
Sesuatu atau mungkin seseorang, dari salah satu lantai di kastil itu. Memperhatikan Hadrian dengan sebuah ketenangan dan diam yang mengerikan. Sulit sekali untuk mengabaikannya begitu saja. Di saat yang bersamaan, Hadrian juga gentar untuk memeriksanya.
Namun sebenarnya, apa yang membuat Hadrian gentar memeriksanya? Apa yang membuatnya tidak berani membalas tatapan asing itu?
"Apa itu adalah sesuatu yang Pangeran Axelle sembunyikan?" gumam Hadrian tak yakin. Aneh sekali jika seseorang seperti Axelle menyimpan sesuatu yang menggetarkan hati begitu.
"Marquis Hadrian." Seorang kesatria, Sir Ichabod, masuk ke dalam ruang kerja Hadrian di townhouse. Troli makanan didorong masuk bersamaan dengannya. "Saya membawa teh dan makanan ringan untuk ini," katanya.
Hadrian memandang Ichabod dan troli makanan itu bergantian, lalu mengembuskan napas panjang.
Biasanya Hadrian memang selalu meminta teh dan makanan ringan untuk menemaninya bekerja semalaman. Dia tidak suka bekerja sendiri, di sisi lain juga tak tega menyuruh orang-orangnya bekerja sampai subuh. Kudapan itu datang menggantikannya.
Yah, bukannya Hadrian mau bekerja sampai subuh. Masalahnya adalah, dialah yang tidak bisa tidur. Kalau bisa tidur, tentunya Hadrian akan lebih memilih tidur.
Namun kali ini… Hadrian merasa dirinya bisa tidur di jam normal dengan waktu yang normal pula. Malam ini dia merasa lebih tenang dan pikirannya lebih jernih.
"Ada apa?" tanya Ichabod. "Apakah makanan ringannya tidak sesuai dengan selera Marquis?"
"Tidak. Saya lupa bilang kalau malam ini saya tidak butuh teh dan makanan ringan," jawab Hadrian.
"Ya?"
"Malam ini kelihatannya saya bisa tidur lebih cepat."
"Hah?!"
"Tidak usah kaget begitu, Sir Ichabod."
"Tapi ini hal langka yang harus dirayakan!" kata Ichabod bersemangat. Dia kemudian buru-buru memanggil pelayan untuk mengenyahkan troli makanan itu dan meminta mereka untuk menyiapkan kamar Hadrian secepat mungkin. Dia bahkan membereskan meja Hadrian tanpa disuruh.
"Hei, saya belum mau tidur sekarang!" tegur Hadrian. Sayangnya Ichabod tidak atau pura-pura tidak mendengarnya.
Biarlah, pikir Hadrian. Toh, dia memang berniat tidur sebentar lagi.
Tak butuh waktu lama bagi Ichabod untuk mendepak Hadrian dari ruang kerjanya sendiri. Ichabod terlihat senang karena Hadrian yang tidur yang lebih awal sama artinya dengan para pelayan yang beristirahat lebih awal juga.
"Tidak biasanya, ya?" ucap Ichabod senang sambil bersiul-siul. "Sayang sekali Tuan Muda Desmond tidak sempat mengucapkan selamat tidur pada Anda."
"Ya, saya juga bertanya-tanya," ujar Hadrian jujur. Tanpa sadar dia menyentuh pita ikat rambut merahnya. "Mungkin ini karena Pangeran Axelle."
"Pangeran Axelle melakukan sesuatu pada Anda?"
"Tidak juga. Tadi Pangeran menawarkan untuk memberikan berkat pada benda yang saya bawa dan saya mengiyakannya. Terlepas dari itu, apa kau tidak merasakannya di kastil itu?"
"Yah… Harus saya akui kastil kecil itu memang terasa lebih–apa, ya?–nyaman?" kata Ichabod tak yakin. "Hawanya lebih menyenangkan dan menenangkan daripada Isatana. Lebih sejuk, lebih melegakan juga."
"Katanya itu karena Pangeran menyimpan banyak benda suci buatan sendiri."
"Kastil itu berubah menjadi setengah kuil?"
"Mungkin. Tapi hawanya memang seperti kuil, kan? Bahkan lebih nyaman dan menyejukkan daripada Kuil Beulah."
"Kekuatan suci Pangeran Axelle pasti sangat hebat."
Hadrian tidak berpikir sampai ke sana.
Axelle lulusan akademi kuil. Kemampuannya tidak pernah terlihat karena selulus pendidikan Axelle langsung mengurung diri di kastil. Tapi kalau memang kemampuannya sehebat itu, kenapa tidak bergabung dengan Kuil Suci Beulah saja?
Hadrian pun sampai di kamarnya dan segera berbaring kasurnya yang malam ini terasa lebih nyaman dan empuk.
Dalam remang kamarnya, Hadrian memandangi pita ikat rambut merahnya yang sudah diberi kekuatan suci oleh Axelle.
Pikirannya pun berkelana. Dari sang Pangeran Terbuang dan kesia-siaan kemampuan menyucikannya yang hebat, Istana dan Kuil Suci Beulah, sesuatu atau seseorang yang bersembunyi di kastil kecil Axelle… Bagaimana itu semua bisa berhubungan?
Namun berkat benda suci itu, Hadrian tidak dibiarkan untuk berpikir lama-lama. Dalam hitungan menit, Hadrian sudah terjatuh dalam tidur lelap yang menenangkan.